Kisah Muslim Kutahan Amarahku Suamiku
Lalu sang sahabat berkata….
Ketika kemarahan itu
sudah sampai diubun- ubun, lalu aku masih menahannya dan mencoba tetap
mendidik diriku untuk tetap menginga, betapa jasanya yang dalam himpitan
kesusahan, lelah dan penat, dia berusaha mencukupi nafkah untuk aku dan
keluargaku. Dan tidak jarang pula, akhirnya dia melupakan perawatan
atas dirinya sendiri.
Aku seperti halnya
kamu, adalah seorang wanita yang diciptakan lebih lemah dari pada
lelaki. Dan saat kelemahanku itu hadir dan mengusik mereka, seribu satu
kemakluman beliau hadirkan untuk tetap mengerti kekuranganku sebagai
wanita.
Terkadang keegoisan
kami sama- sama datang, namun naluri mengalahnya atas perempuan manja
yaitu aku, akan segera dimunculkan olehnya. Direngkuhnya aku dan
terucaplah perkataan maaf. Dan, dari disanalah perdamaian kami tercipta.
Dan kamipun semakin bertambah mesra.
Tapi….
Tidak jarang pula,
ketika rasa “keunggulannya” sebagai lelaki hadir dan membuatnya sedikit
terbawa dalam ego, hal itu memang membuatku sedikit sakit hati, yah aku
kan hanya manusia. Namun kesempatan itu tidak aku sia- siakan, aku tata
batinku sedemikian rupa sehingga aku terlihat menyenangkannya dalam
luasnya hatiku menerimanya. Aku yakin, Allah yang Maha melihat akan
lebih ridho kepadaku saat itu.
Saat tiada teman
berbagi, dialah yang menyediakan pundaknya yang kuat untukku menangis.
Kekuatan pikiran dalam logisnya dia berpikir, yang jelas- jelas memang
lebih kuat dari pada aku, akhirnya memberi ruang bagiku sejenak untuk
merasa nyaman dan terlindungi. Sekuat- kuatnya wanita didunia ini, tapi
sesuai dengan fitrahnya, wanita tetap dan pasti akan merasa butuh
diayomi oleh laki- laki.
Rasanya tiada teman
yang paling pantas aku akrabi selain suamiku. Dan memang sebagai manusia
biasa, dia tidak akan lepas dari kekurangan, seperti halnya aku. Lalu
setelah semua itu aku sadari, untuk alasan apalagi aku harus menuntutnya
menjadi sempurna? Dan dalam keterbatasan serta kekurangannya sebagai
manusia, masih pantaskah aku menuntutnya untuk harus selalu berlaku dan
memberi lebih kepadaku?
Dan bukan berarti
aku merendahkan diriku sendiri atasnya, namun… dengan kalimatku ini, aku
mencoba sadar diri, betapa aku mempunyai banyak kekurangan sebagai
wanita. Dan dia tetap memilih aku, dan memutuskan untuk menghabiskan
sisa waktu hidupnya denganku, membimbing, mengayomi, dan menafkahi aku.
Lalu… berilah aku satu alasan, dari celah mana aku bisa tetap beralasan
untuk tidak bisa menahan lidahku atas suamiku?
Dengan menahan
kemarahanku padanya, insyaAllah akan memberi gambaran jelas tentang
diriku, istrinya, yang sebenar- benarnya. Jika aku selama ini belum
dapat membuatnya bangga, mungkin saat inilah yang tepat bagiku mengukir
kenangan yang dapat membanggakannya. Membuatnya bangga bahwa aku adalah
istri yang dapat tetap mengertinya, bahkan dalam keadaan marah
sekalipun. Setelah itu, aku yakin dia akan berkata pada hatinya, bahwa
dia bersyukur telah meletakkan pilihan atas separoh hidupnya kepadaku.
Dan apakah kau tahu,
bahwa suamiku adalah ladang amal yang InsyaAllah akan membawa ku kepada
surga Allah yang abadi. Keridhoannya adalah kunci pembuka pintunya, dan
mengalah sedikit bukan berarti menjadi budaknya, namun sikap sabar itu
yang justru akan memuliakan kita dihadapannya.
Maka, aku belajar
untuk tidak merelakan hidup dan hatiku diatur oleh rasa. Rasa amarah,
rasa benci, dan apapun yang justru akan membelokkan fokusku dari
menghimpun pahala dari sang maha kuasa. Maka dari itu pula, aku ingin
mencintai suamiku karena Allah. Hanya karena Allah saja. Jadi setiap
kali aku marah kepadanya, aku akan kembali mengingat Allah dan
mengingatnya hanya sebatas manusia yang penuh dengan kekurangan, seperti
halnya aku. Hal itu yang menjauhkanku dari penghakiman apapun atas
suamiku. Setelah itu, betapa hanya keteduhan yang akhirnya memenuhi
hatiku, dan hilanglah amarahku.
Semoga bermanfaat dan menjadi hikmah..Sampaikan Meski Hanya Satu Ayat..Semoga menjadi Amal Jariyah tuk Kita semua. Aamiin..
0 komentar:
Posting Komentar