Rumah Jati Diri
Seekor kura-kura tampak tenang ketika merayap di antara kerumunan
penghuni hutan lain. Pelan tapi pasti, ia menggerakkan keempat tapak
kakinya yang melangkah sangat lamban: “Plak…plak…plak…!”
Tingkah kura-kura itu pun mengundang reaksi hewan lain. Ada yang
mencibir, tertawa, dan mengejek. “Hei, kura-kura! Kamu jalan apa tidur!”
ucap kelinci yang terlebih dulu berkomentar miring. Spontan, yang lain
pun tertawa riuh.
“Hei, kura-kura!” suara tupai ikut berkomentar. “Kalau jalan jangan
bawa-bawa rumah. Berat tahu!” Sontak, hampir tak satu pun hewan yang tak
terbahak. “Ha..ha..ha..ha! Dasar kura-kura lamban!” komentar
hewan-hewan lain kian marak.
Namun, yang diejek tetap saja tenang. Kaki-kakinya terus melangkah
mantap. Sesekali, kura-kura menoleh ke kiri dan kanan menyambangi wajah
rekan-rekannya sesama penghuni hutan. Ia pun tersenyum. “Apa kabar
rekan-rekan?” ucap si kura-kura ramah.
“Teman, tidakkah sebaiknya kau simpan rumahmu selagi kamu jalan. Kamu
jadi begitu lambat,” ucap kancil lebih sopan. Ucapan kancil itulah yang
akhirnya menghentikan langkah kura-kura. Ia seperti ingin mengucapkan
sesuatu.
“Tak mungkin aku melepas rumahku,” suara kura-kura begitu tenang.
“Inilah jatidiriku. Melepas rumah, berarti melepas jatidiri. Inilah aku.
Aku akan tetap bangga sebagai kura-kura, di mana pun dan kapan pun!”
jelas si kura-kura begitu percaya diri.
Menangkap makna hidup sebagai sebuah pertarungan, memberikan sebuah
kesimpulan bahwa merasa tanpa musuh pun kita sebenarnya sedang
bertarung. Karena musuh dalam hidup bisa berbentuk apa pun: godaan
nafsu, bisikan setan, dan berbagai stigma negatif. Inilah pertarungan
yang merongrong keaslian jatidiri: sebagai muslim, aktivis, dan dai.
Pertarungan tanpa kekerasan ini bisa berakibat fatal dibanding
terbunuh sekali pun. Karena orang-orang yang kalah dalam pertarungan
jatidiri bisa lebih dulu mati sebelum benar-benar mati. Ia menjadi
mayat-mayat yang berjalan.
Bagian terhebat dari pertarungan jatidiri ini adalah orang tidak
merasa kalah ketika sebenarnya ia sudah mati: mati keberanian, mati
kepekaan, mati spiritual, mati kebijaksanaan, dan mati identitas.
Karena itu, tidak heran jika kura-kura begitu gigih mempertahankan
rumah yang membebaninya sepanjang hidup. Walaupun karena itu, ia tampak
lamban. Walaupun ia diserang ejekan. Kura-kura punya satu prinsip yang
terus ia perjuangkan: inilah aku! Isyhaduu biannaa muslimiin.
0 komentar:
Posting Komentar