Jual Beli Kucing, Haramkah?
Beberapa kawan bingung ketika mendapati hadits yang melarang jual-beli kucing berikut ini :
سَأَلْتُ جَابِرًا رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ فَقَال : زَجَرَ عَنْ
ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
Aku bertanya kepada Jabi bin
Abdullah tentang jual beli sinnaur (kucing liar) dan anjing. Lalu beliau
menjawab: Nabi SAW melarang itu. (HR. Muslim)
Padahal para sahabat banyak yang mencintai kucing, bahkan ada shahabat
yang digelari 'bapaknya kucing', yaitu Abu Hurairah. Padahal nama
aslinya Abdul-Rahman bin Shakhr al-Dausi (57 H). Namun digelari seperti
itu lantaran beliau sering dikelilingi kucing.
Ada juga riwayat shahih dari Nabi SAW bahwa beliau memasukkan kucing
dalam kategori hewan yang suci, dan mengatakan bahwa ia adalah hewan
yang sering ada di sekeliling kita.
Tapi di sisi lain ditemukan juga bahwa ada hadits di atas yang secara
terjemahan lahiriyahnya melarang kita untuk menjual kucing itu sendiri.
Apalagi derajat hadits itu juga shahih karena terdapat di dalam kitab
Shahih Muslim.
Lalu, bagaimana sebenarnya hukum jual beli kucing? Kalau haram, kenapa boleh dipelihara?
Kalau haram dijual dengan alasan haram makan dagingnya, keledai juga
diharamkan makan dagingnya, tapi jual belinya tidak dilarang?
Bagaimana cara kita memahami hadits ini?
Ulama Empat Madzhab
Ulama Empat madzhab yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah,
Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah sepakat atas kebolehan jual-beli
kucing. Dibolehkan karena memang kucing adalah hewan yang suci bukan
najis, karena suci maka tidak ada larangan untuk memperjual belikannya.
Pernyataan ini tertulis dalam kitab-kitab mereka, seperti Bada’i
al-Shana’i 5/142 (Al-Hanafiyah) karangan Imam al-Kasani (587 H),
Hasyiyah al-Dusuqi 3/11 (Al-Malikiyah) karangan Imam al-Dusuqi (1230 H),
Al-Majmu’ 9/230 (al-Syafi’iyyah) karangan Imam an-Nawawi (676 H),
Al-Mughni 4/193 (Al-Hanabilah) karangan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy
(620 H).
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa kucing itu hewan suci, karena suci
maka bisa dimanfaatkan. Dan dalam praktek jual-beli kucing, tidak ada
syarat jual-beli yang cacat, semuanya terpenuhi. Sah jual belinya
sebagaimana juga sah jual beli kuda atau juga baghl atau keledai.
Setelah sebelumnya beliau mengutip pernyataan Imam Ibnu al-Mundzir
yang mengatakan bahwa mmemelihara kucing itu dibolehkan secara ijma’
ulama. Jadi jual belinya pun menjadi tidak terlarang. (Al-Majmu’ 9/230)
Pendapat Menyendiri (Madzhab Zahiri)
Pendapat berbeda dikeluarkan oleh madzhabnya Imam Daud Abu Sulaiman
al-Zohiri, bahwa jual-beli kucing itu hukumnya haram. Ini dijelaskan
oleh ulamanya sendiri, yaitu Imam Ibn Hazm (456 H) dalam kitabnya
Al-Muhalla (9/13).
Tapi hukumnya bisa menjadi wajib jika memang kucing itu dibutuhkan untuk ‘menakut-nakuti tikus’. Dalam kitabnya dituliskan:
وَلاَ يَحِلُّ بَيْعُ الْهِرِّ فَمَنْ اُضْطُرَّ إلَيْهِ لأَذَى الْفَأْرِ فَوَاجِبٌ
Tidak dihalalkan jual beli kucing,
(tapi) barang siapa yang terdesak karena gangguan tikus (di rumahnya)
maka hukumnya menjadi wajib.
Artinya, walaupun madzhab ini mengharamkan, tapi keharamannya tidak
mutlak. Ada kondisi dimana jual beli kucing menjadi boleh bahkan menjadi
wajib hukumnya.
Alasan madzhab ini mengharamkan jual beli kucing, karena memang ada
hadits yang melarangnya. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa
Abu Zubair pernah bertanya kepada sahabt Jabir bin Abdullah:
سَأَلْتُ جَابِرًا رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ فَقَال : زَجَرَ عَنْ
ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
Aku bertanya kepada Jabi bin
Abdullah tentang jual beli sinnaur (kucing liar) dan anjing. Lalu beliau
menjawab: Nabi shallallhu a’alaih wa sallam melarang itu. (HR. Muslim)
Menurut Imam Ibnu Hazm, kata “Jazar”[جزر] dalam bahasa itu punya
arti jauh lebih berat dibandingkan kata “Nahyu” [نهى] yang berarti
melarang.
Imam Nawawi Menjawab Hadits
Ketika menjelaskan pendapat madzhabnya tentang kebolehan jual-beli
kucing, Imam Nawawi juga memaparkan pendapat yang melarang beserta dalil
dari hadits yang dipakainya. Beliau menjawab bahwa haditsnya memang
shahih tapi maksudnya bukan larangan secara mutlak.
Dalam kitabnya (al-Majmu’ 9/230) beliau menyanggah dalil ini dengan argumen:
جَوَابُ أَبِي العباس بن
العاص وَأَبِي سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيِّ وَالْقَفَّالِ وَغَيْرِهِمْ
أَنَّ الْمُرَادَ الهرة الوحشية فلا يصح بيعها لِعَدَمِ الِانْتِفَاعِ
بِهَا
Jawaban Abu al-Abbas bin al-‘Ash
dan juga Abu Sulaiman al-Khaththabiy serta al-Qaffal dan selainnya bahwa
yang dimaksud [sinnaur] di situ adalah kucing liar atau hutan
[al-wahsyi]. Terlarang jual belinya karena tidak ada manfaat.
Jawaban yang sama juga beliau katakan dalam kitabnya yang lain,
yaitu Syarah Shahih Muslim (10/234) ketika menjelaskan hadits yang
sedang kita bahas ini.
Jadi memang yang dilarang itu bukan kucing [الهرة], akan tetapi kucing liar atau hutan yang disebut dengan istilah sinnaur [سنور].
Sinnaur juga terlarang untuk dimakan karena termasuk dalam kategori
hewan bertaring yang menyerang manusia. Dalam madzhab Asy-Syafi’iyyah
juga yang terlarang itu jika kucing liar, kalau kucing peliharaan itu
tidak terlarang jual belinya.
Toh kalau pun terlarang, pasti Rasululah SAW akan mengatakan dengan
istilah al-hirrah juga, tidak dengan lafadz sinnaur. Pembedaan istilah
ini juga menunjukkan bahwa kucing tidak satu jenis, dan perbedaan jenis,
beda juga hukumnya. Karena memang secara bahasa sinnaur dan hirrah
punya makna beda; liar dan tidak liar, buas dan tidak buas.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar