Mendukung Fatwa MUI Mengenai Arah Kiblat
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di tengah sebagian kalangan baru-baru ini terlihat perdebatan
mengenai masalah kiblat. Terutama ketika Majelis Ulama Indonesia pada
bulan Februari 2010 mengeluarkan fatwa mengenai arah kiblat bahwa
arahnya cukup ke barat saja tanpa mesti serong ke utara beberapa
derajat. Melihat fatwa ini beberapa kalangan melakukan protes, tanda
tidak setuju dengan fatwa tersebut. “Arah kiblat kita sekarang tidak
menghadap persis ke ka’bah, malah sebenarnya ke arah Brasil”, ujar
mereka yang menantang fatwa tersebut.
Pada tulisan Buletin At Tauhid kali ini, kami ingin mengutarakan
bagaimanakah pendapat para pakar fikih mengenai masalah ini. Tentu saja
pendapat yang mereka bangun adalah berdasarkan dalil, bukan hanya
sekedar akal-akalan atau nafsu belaka. Semoga penjelasan kali ini dapat
memberikan sedikit titik terang dari polemik yang ada. Hanya Allah yang
beri taufik.
Menghadap Kiblat Merupakan Syarat Sah Shalat
Menghadap kiblat merupakan syarat sah kiblat berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama[1]. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah.”[2]
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalatnya,
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912). An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Hadits ini mengandung faedah yang amat banyak. Perlu diketahui bahwa
hadits ini menerangkan mengenai kewajiban-kewajiban dalam shalat dan
bukanlah sunnah.” Beliau melanjutkan, “Hadits ini menunjukkan tentang
wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan
membaca Al Fatihah.”[3]
Yang Mendapat Udzur (Keringanan) Tidak Menghadap Kiblat
Kita sudah ketahui bersama bahwa menghadap kiblat adalah di antara
syarat sah shalat. Namun ada beberapa keadaan yang dibolehkan seseorang
tidak menghadap kiblat.
Pertama: Tidak mampu
menghadap kiblat, seperti orang sakit sehingga tidak mampu mengarahkan
badannya ke arah kiblat. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghobun: 16)
Kedua: Orang yang
samar baginya arah kiblat, ia sudah berusaha mencarinya, namun ia shalat
menghadap ke arah lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu
‘Umar, beliau berkata,
بَيْنَا
النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ
اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ
فَاسْتَقْبِلُوهَا ، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ ،
فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
“Ketika orang-orang shalat subuh di Quba’, tiba-tiba datang
seorang laki-laki dan berkata, “Sungguh, tadi malam telah turun ayat
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau diperintahkan
untuk menghadap ke arah Ka’bah. Maka orang-orang yang sedang shalat
berputar menghadap Ka’bah, padahal pada saat itu wajah-wajah mereka
sedang menghadap negeri Syam. Mereka kemudian berputar ke arah Ka’bah.”
(HR. Bukhari no. 403 dan Muslim no. 526). Riwayat ini menunjukkan bahwa
ketika di pertengahan shalat sudah diketahui arah kiblat sebenarnya,
maka hendaklah ketika itu ia menghadap ke arah tersebut.
Ketiga: Keadaan sangat takut ketika menghadapi musuh atau semacamnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”
(QS. Al Baqarah: 239). Yaitu jika seseorang tidak mampu shalat dengan
sempurna karena takut dan semacamnya, maka shalatlah dengan cara yang
mudah bagi kalian, bisa dengan berjalan atau dengan menaiki kendaraan.
Ibnu Umar mengatakan,
فَإِنْ كَانَ
خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالاً ، قِيَامًا عَلَى
أَقْدَامِهِمْ ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ
مُسْتَقْبِلِيهَا
“Apabila rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau pun tidak.” (HR. Bukhari no. 1098)
Keempat: Bagi
musafir yang melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan boleh baginya
tidak menghadap kiblat ketika ada udzur saat itu. Ibnu ‘Umar berkata,
وَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ
قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ
يُصَلِّى عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan
shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju
kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau
tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652)
Cara Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah Secara Langsung
Menghadap kiblat ada dua keadaan: [1] ketika melihat ka’bah secara langsung, [2] ketika tidak melihat ka’bah secara langsung.
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara
langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia
berijtihad untuk menghadap ke arah lain.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Jika
seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap persi ke arah
ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan ulama mengenai hal
ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan,”Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah”.”[4]
Lalu Bagaimanakah Jika Kita Tidak Melihat Ka’bah Secara Langsung?
Jika melihat ka’bah secara langsung, para ulama sepakat untuk
menghadap persis ke ka’bah dan tidak boleh melenceng. Lalu bagaimana
dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti kaum muslimin yang berada
di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri (Indonesia)?
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa
para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah
secara langsung karena tempat yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka
perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah secara
langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah ataukah menghadap ke
arahnya saja.[5]
Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab
Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i
(sebagaimana dinukil dari Al Muzaniy), mereka mengatakan bahwa bagi
orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah
ka’bah (tidak mesti persis). Jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di
situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti
persis).
Dalil dari pendapat pertama ini adalah ayat,
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144). Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro”
dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang
dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya, yaitu
cukup menghadap ke arah barat sudah dikatakan menghadap kiblat.
Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah no. 1011 dan Tirmidzi no. 342. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih[6]).
Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara
langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di Indonesia
berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia
menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa
melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa yang diwajibkan adalah
menghadap ke arah ka’bah persis dan tidak cukup menghadap ke arahnya
saja. Jadi kalau arah ka’bah misalnya adalah di arah barat dan bergeser
10 derajat ke utara, maka kita harus menghadap ke arah tersebut. Inilah
pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari
Malikiyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob
dari Hanabilah.
Menurut pendapat kedua ini, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud ayat,
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke ka’bah.”
(QS. Al Baqarah: 144), yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ka’bah.
Jadi seseorang harus menghadap ke ka’bah persis. Dan tafsiran mereka ini
dikuatkan dengan hadits muttafaqun ‘alaih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua raka’at di depan ka’bah, lalu beliau bersabda,
هَذِهِ الْقِبْلَةُ
“Inilah arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 398 dan Muslim no.
1330). Karena dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini menunjukkan pembatasan, sehingga
tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka dari itu, menurut pendapat
kedua ini mereka katakan bahwa yang dimaksud dengan surat Al Baqarah di
atas adalah perintah menghadap persis ke arah ka’bah. Bahkan menurut
ulama-ulama tersebut, yang namanya perintah menghadap ke arah kiblat
berarti adalah menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan
kaedah bahasa Arab.[7]
Jadi, intinya jika seseorang tidak melihat ka’bah secara langsung, di
sini ada perselisihan pendapat di antara ulama. Padahal jika kita lihat
dalil masing-masing kubu adalah sama. Namun, pemahamannya saja yang
berbeda karena berargumen dengan hadits yang mereka pegang.
Pendapat yang Lebih Kuat
Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat pertama
yaitu pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa bagi yang
tidak melihat ka’bah secara langsung, maka cukup bagi mereka untuk
menghadap arahnya saja. Jadi kalau di negeri kita, cukup menghadap arah
di antara utara dan selatan.
Sedangkan pendapat kedua yang dipilih oleh Syafi’iyah, sebenarnya
hadits yang mereka gunakan adalah hadits yang bisa dikompromikan dengan
hadits yang digunakan oleh kelompok pertama.
Yaitu maksudnya, hadits
yang digunakan pendapat kedua adalah untuk orang yang melihat ka’bah
secara langsung sehingga dia harus menghadap persis ke ka’bah.
Sehingga dapat kita katakan:
- Jika kita melihat ka’bah secara langsung, maka kita punya
kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh
melenceng.
- Namun jika kita berada jauh dari Ka’bah, maka kita cukup menghadap ke arahnya saja, yaitu di negeri kita cukup menghadap ke arah barat yaitu antara arah utara dan selatan.
Sekarang masalahnya, apakah boleh kita –yang berada di Indonesia-
menghadap ke barat lalu bergeser sedikit ke arah utara? Jawabannya,
selama itu tidak menyusahkan diri, maka itu tidak mengapa. Karena arah
tadi juga arah kiblat. Bahkan kami katakan agar terlepas dari
perselisihan ulama, cara tersebut mungkin lebih baik selama kita mampu
melakukannya dan tidak menyusah-nyusahkan diri.
Namun jika merasa kesulitan mengubah posisi kiblat, karena masjid
agak terlalu jauh untuk dimiringkan dan sangat sulit bahkan kondisi
masjid malah menjadi sempit, selama itu masih antara arah utara dan
selatan, maka posisi kiblat tersebut dianggap sah. Akan tetapi, jika
mungkin kita mampu mengubah arah kiblat seperti pada masjid yang baru
dibangun atau untuk tempat shalat kita di rumah, selama itu tidak ada
kesulitan, maka lebih utama kita merubahnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ،
فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ
وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang
membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan.
Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan
menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka
lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal
yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi
dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir
malam.” (HR. Bukhari no. 39)
Jika ada yang mengatakan, “Kami tetap ngotot, untuk meluruskan arah kiblat walaupun dengan penuh kesulitan.”
Maka cukup kami kemukakan perkataan Ash Shon’aniy, “Ada yang mengatakan
bahwa kami akan pas-pasin arah kiblat persis ke ka’bah. Maka kami
katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada
dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh
para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini. Jadi
yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di
daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah
secara langsung).”[8]
Jadi intinya, jika memang penuh kesulitan untuk mengepas-ngepasin
arah kiblat agar persis ke Ka’bah maka janganlah menyusahkan diri.
Namun, jika memang memiliki kemudahan, ya silakan. Tetapi ingatlah bertakwalah kepada Allah semampu kalian.
Diperkuat Lagi dengan Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait arah kiblat
sebagai konsekuensi dari pergeseran lempeng bumi. Dalam konferensi pers
di Jakarta, Senin (22/3), MUI menegaskan pergeseran tersebut tak
mempengaruhi arah kiblat. Untuk itu, MUI mengingatkan umat Islam agar
tak perlu bingung dengan arah kiblat. Terlebih, dengan mengubah bahkan
membongkar masjid atau musala agar mengarah ke kiblat.
Konferensi pers tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Drs. H. Nazri
Adlani, didampingi Sekretaris MUI Dr. H Amrullah Ahmad, Wakil Ketua
Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA, dan Wakil
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Drs. H. Aminudin Yakub, MA. Diktum Fatwa
Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat
disebutkan, pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum
tersebut disebutkan bahwa: (1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat
melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah). (2)
Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah
Ka’bah (jihat al-Ka’bah). (3). Letak georafis Indonesia yang berada di
bagian timur Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah
menghadap kea rah barat.
Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan
masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap kea rah
barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya.[9]
Fatwa MUI ini menindaklanjuti beredarnya informasi di tangah
masyarakat mengenai adanya ketidakakuratan arah kiblat di sebagian
masjid atau musala di Indonesia, berdasarkan temuan hasil penelitian dan
pengukuran dengan menggunakan metode ukur satelit. Atas informasi
tersebut masyarakat resah dan mempertanyakan hukum arah kiblat.
Sehingga komisi fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang
arah kiblat untuk dijadikan pedoman bagi masayrakat, demikian tercantum
dalam Fatwa yang ditanda tangani oleh Ketua Muhammad Anwar Ibrahim dan
sekretaris Hasanudin itu.[10]
Demikian penjelasan singkat mengenai arah kiblat.
Wallahu a’lam bish showab.
“Aku
tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/303, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] Al Mughni, Ibnu Qudamah, 1/490, Darul Fikr, 1405.
[3] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/107, Dar Ihya’ At Turots, 1392
[4] Al Mughni, 1/490.
[5] Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816, Asy Syamilah.
[6] Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/1119.
[8] Subulus Salam Syarh Bulughul Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/397, Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, 1427.
[9] Sumber: http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=147:fatwa-tentang-arah-kiblat&catid=1:berita-singkat&Itemid=50
[10] Sumber: http://www.sulut.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=2277
0 komentar:
Posting Komentar