Hak Seorang Ibu terhadap Anak Laki-lakinya
MEMBANGUN keluarga sakinah merupakan dambaan kita semua. Dasarnya
adalah masing-masing anggota keluarga tersebut harus bertaqwa. Salah
satu manifestasi taqwa ialah berbuat baik kepada orang tua (birrul
walidain). Perlu disadari, bahwa pernikahan itu bukan hanya ikatan 2
orang anak manusia, tetapi mengikat 2 keluarga besar.
Jadi pernikahan itu merupakan risalah agung membentuk ukhuwah yang
luas yang dasarnya saling kenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum),
dan saling menolong (tafakul) antara suami-istri, keluarga suami dan
keluarga istri. Bila masing-masing pihak ridha, maka nilai pernikahan
yang sakinah serta diridhai orang tua akan terwujud.
Sebelum menikah, seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai kewajiban yang besar kepada kedua orang tuanya, terutama
kepada ibundanya. Bila seorang anak laki-laki yang telah menikah, maka
kewajiban berbakti kepada ibu ini tidak hilang, jadi suami adalah hak
ibunda.
Bagaimana dengan anak perempuan yang telah menikah? Nah, bagi anak
perempuan yang telah menikah, maka haknya suami. Jadi istri berkewajiban
berbakti pada suami. Karena setelah Ijab kabul, berpindahlah hak dan
kewajiban seorang ayah kepada suami dari anak wanitanya. Begitu besar
kewajiban berbakti pada suami, sampai rasul pernah bersabda, “Bila boleh
sesama manusia mengabdi (menyembah), maka aku akan menyuruh seorang
istri mengabdi pada suaminya.”
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ada seseorang yang datang menghadap
Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih
berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah, “Ibumu.” Ia bertanya lagi,
“Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?”
Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.”
(Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah)
Ada seseorang yang datang, disebutkan namanya Muawiyah bin Haydah
r.a., bertanya: “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan
kebaikanku?” Jawab Rasulullah saw: “Ibumu.” Dengan diulang tiga kali
pertanyaan dan jawaban ini.
Pengulangan kata “ibu” sampai tiga kali menunjukkan bahwa ibu lebih
berhak atas anaknya dengan bagian yang lebih lengkap, seperti al-bir
(kebajikan), ihsan (pelayanan). Ibnu Al-Baththal mengatakan:
“Bahwa ibu memiliki tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya.
Karena kata ‘ayah’ dalam hadits disebutkan sekali sedangkan kata ‘ibu’
diulang sampai tiga kali. Hal ini bisa dipahami dari kerepotan ketika
hamil, melahirkan, menyusui. Tiga hal ini hanya bisa dikerjakan oleh
ibu, dengan berbagai penderitaannya, kemudian ayah menyertainya dalam
tarbiyah, pembinaan, dan pengasuhan.
Hal itu diisyaratkan pula dalam firman Allah swt., “Dan kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun –selambat-lambat waktu menyapih
ialah setelah anak berumur dua tahun–, bersyukurlah kepadaKu dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14)
Allah swt. menyamakan keduanya dalam berwasiat, namun mengkhususkan ibu dengan tiga hal yang telah disebutkan di atas.
Imam Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad, demikian juga Ibnu Majah, Al Hakim, dan menshahihkannya dari Al-Miqdam bin Ma’di Kariba, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesunguhnya Allah swt. telah berwasiat kepada kalian tentang ibu
kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat
tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ayah kalian, kemudian
berwasiat tentang kerabat dari yang terdekat.”
Hal ini memberikan kesan untuk memprioritaskan kerabat yang
didekatkan dari sisi kedua orang tua daripada yang didekatkan dengan
satu sisi saja. Memprioritaskan kerabat yang ada hubungan mahram
daripada yang tidak ada hubungan mahram, kemudian hubungan pernikahan.
Ibnu Baththal menunjukkan bahwa urutan itu tidak memungkinkan memberikan
kebaikan sekaligus kepada keseluruhan kerabat.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang ibu yang lebih
diprioritaskan dalam berbuat kebaikan dari pada ayah. Hal ini dikuatkan
oleh hadits Imam Ahmad, An-Nasa’i, Al-Hakim yang menshahihkannya, dari
Aisyah r.a. berkata:
“Aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw., siapakah manusia yang paling
berhak atas seorang wanita?” Jawabnya, “Suaminya.” “Kalau atas
laki-laki?” Jawabnya, “Ibunya.”
Demikian juga yang diriwayatkan Al-Hakim dan Abu Daud dari Amr bin
Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang
bertanya:
“Ya Rasulallah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah
menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku
pernah menjadi pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan
hendak mencabutnya dariku.” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu lebih berhak
daripada ayahnya, selama kamu belum menikah.”
Maksudnya menikah dengan lelaki lain, bukan ayahnya, maka wanita itu
yang meneruskan pengasuhannya, karena ialah yang lebih spesifik dengan
anaknya, lebih berhak baginya karena kekhususannya ketika hamil,
melahirkan dan menyusui.
0 komentar:
Posting Komentar