Kamis, 28 Mei 2015

Ikhlas Dapat Dipelajari

Agar Tumbuh Keikhlasan

Allah ta’ala adalah Al Khaliq. Dialah satu satunya Zat yang menciptakan. Dia ada sebelum segala sesuatu ada. Tidak diciptakan, tidak juga butuh terhadap ciptaannya. Dia maha Esa, tidak ada sesuatu yang seperti Dia. Tidak beranak, tidak pula diperanakan. Segala sesuatu tunduk patuh kepada Nya.
Dia kekal abadi disaat semua makhluk fana. Dia Maha Kuasa, tidak ada sesuatupun di alam dunia ini kecuali dibawah kekuasaan Nya. Dia Maha bijaksana, tidak ada ciptaan Nya yang sia sia. Dia maha kaya, tidak butuh terhadap makhluk Nya. Sedang setiap makhluk membutuhkan Nya. Karena hanya milik Dia semua sifat kesempurnaan dan keagungan.

Allah ta’ala telah menjelaskan kepada manusia akan keagungan diri Nya dan kefakiran mereka kepada Allah. Allah pun telah menetapkan akan tujuan penciptaan mereka, yaitu peribadahan dan penghambaan. Namun Dia menetapkan bahwa Dia tidak butuh untuk dipersekutukan, dengan sesuatu apapun. Tidak jin, manusia, atau malaikat sekalipun. Dan memang Dia tidak layak untuk dipersekutukan. Maka setiap amal yang ditujukan kepada Nya, namun juga berharap dari selain Nya akan menjadi sia sia. Ibarat jasad tanpa ruh, seperti itulah nilai suatu amalan tanpa keikhlasan. Dia ada, namun mati, membusuk, dan tidak berharga.

Lalu apa pula yang diharapkan dari selain Nya, sedang segala sesuatu adalah milik Nya?! Kebodohan macam apa dalam pengharapan kepada manusia, sedang syurga milik sang pencipta? Apa jua manfaat pujian, kekaguman, dan penghargaan dari mereka yang tidak memiliki apa apa?

Namun dalam kenyataannya, jarang kita temukan orang orang yang ikhlas dalam beramal. Kejahilan terhadap Sang Pencipta, menjadikan kebanyakan orang lebih berharap kepada manusia daripada balasan dari Allah ta’ala. Dan ternyata memang, pada prakteknya pentingnya keikhlasan tidak menjadikan dia mudah untuk diterapkan. Bukan hanya bagi orang awam seperti kita, namun para ulama dahulu pun merasakannya.

Seperti Sufyan At Tsauri rahimahullah yang berkata, “tidak ada sesuatu yang lebih berat bagiku melebihi masalah niatku, karena ia mudah berbolak balik”. Atau Yusuf bin Husain rahimahullah yang mengatakan, “sesuatu yang paling susah bagiku di dunia ini adalah keikhlasan, berapa kali aku bersungguh sungguh untuk menghilangkannya dari hatiku, namun seakan akan dia tumbuh kembali dengan corak yang lain”.

Meskipun begitu halnya, bukan berarti ikhlas tidak bisa diusahakan. Bermujahadah, menggerakan semua daya dan upaya untuk mendapatkannya tetap menjadi keharusan. Bukankah pahala itu sesuai dengan kesusahan dalam beramal? Yang karenanya semakin susah pahala semakin besar? Dan begitulah nilai keikhlasan. Ia sungguh menentukan, hingga diterimanya suatu amalan pun tergantung dengan keberadaannya. Bahkan suatu amal kecil bisa menjadi besar dengannya. Dan sebaliknya, amalan besar bisa menjadi kecil dengan ketiadaannya. Bukankah disebutkan seorang pelacur yang masuk syurga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan? Sedang siapa diantara kita yang tidak sanggup melakukannya. Namun lihatlah tiga golongan pertama penghuni neraka. Justru mereka adalah orang orang yang beramal besar; seorang berilmu, pejuang, dan dermawan!! Disinilah niat menjadi pembeda.

Maka, hal pertama yang harus dilakukan adalah senantiasa menghadirkan kebesaran Allah ta’ala. Bahwa dialah satu satunya Dzat yang maha kuasa dan maha mengetahui. Tidak ada yang dapat menolak manfaat jika Dia hendak memberi manfaat. Pun tidak ada yang dapat memberi mudharat jika dia berkehendak.

Kemudian hal selanjutnya adalah meminta kepada Allah agar diberikan keikhlasan. Karena sesungguhnya semua kebaikan seorang hamba merupakan taufik dari Allah ta’ala. Manusia tidaklah memiliki daya dan upaya untuk beramal kecuali jika disertai dengan taufik dari Allah ta’ala. Yang karenanya mengandalkan kemampuan diri dan hanya bersandar kepada usaha tanpa meminta bantuan dari sang pencipta merupakan sebuah keteledoran. Dan sungguh benar apa yang dikatakan Ibnul Qoyyim rahimahullah, bahwa kehinaan adalah ketika Allah meninggalkan seorang hamba dengan dirinya sendiri.

Keikhlasan juga perlu untuk dipelajari. Tentang makna, hakekat, serta hal hal yang dapat menodai keikhlasan, untuk kemudian berusaha mempraktekannya. Karena bagaimana seseorang akan bisa ikhlas jika tidak tau makna keikhlasan?1 Ah, seandainya saja ada sekelompok dari para ulama yang tidak mengajari manusia kecuali keikhlasan.2

Hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah senantiasa mengingat besarnya pahala keikhlasan. Serta akibat dari amalan yang tidak disertai dengan keikhlasan. Bahwa ikhlas merupakan satu satunya jalan menuju syurga. Ikhlas juga merupakan pintu keselamatan dari godaan syaitan. Sebaliknya, tanpa keikhlasan suatu amal tidak akan diterima, dan tanpanya juga seorang hamba akan terjerumus ke dalam neraka.

Juga selalu mengevaluasi diri dan bersungguh sungguh. Baik sebelum, ketika, dan setelah beramal. Sebelum memulai, berhentilah sejenak, tanyakan kepada jiwa kita, apa yang kita ingingkan dengan amalan ini? Jika yang diinginkannya adalah ridha Allah, atau pahala dari Allah ta’ala, maka hendaklah seseorang meneruskan amalannya. Namun sebaliknya, jika ternyata yang diinginkan hal lain selain Allah ta’ala, maka hendaknya seseorang tidak melanjutkan amalannya sampai meluruskan niatnya. Ketika sedang beramalpun tetaplah melihat hati kita, jangan sampai berubah niatnya, jika kemudian muncul niat lain selain Allah, maka segera palingkan kepada Allah ta’ala. Begitu juga setelah beramal. Jangan sampai muncul keinginan untuk diketahui oleh manusia, hingga kemudian menceritakan amalannya sambil berharap pujian dari mereka.

Memperbanyak ketaatan juga merupakan salah satu cara menghasilkan ikhlas. Karena syaitan akan selalu berusaha agar seorang hamba meninggalkan ketaatan atau berusaha merusak amalan yang dilakukan oleh seorang hamba. Jika kemudian syaitan melihat seorang hamba senantia berada dalam ketaatan, dan tidak menghiraukan ajakan syaitan, bahkan setiap kali syaitan membisiki seorang hamba namun justru hamba tadi bertambah ketaatan dan keikhlasannya, syaitan pun akan putus asa dan berhenti dari menggoda hamba tadi, agar tidak menambah pahalanya. Namun jika seorang hamba terkadang taat namun terkadang juga berbuat maksiat dengan menyambut ajaran syaitan, maka syaitan akan semakin bersemangat menggoda hamba tadi, begitu kata hasan Al Bashri.

Kemudian juga seorang hamba hendaklah tidak bangga dengan amalannya. Tidak takjub dengan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya ketika seseorang merasa takjub dengan dirinya sendiri, ketika itu dia sedang menyekutukan Allah dengan dirinya sendiri. Seakan akan dia telah berjasa kepada Allah dengan amalannya. Padahal, hakekatnya justru sebaliknya. Seorang bisa beramal merupakan taufik dari Allah ta’ala. Ujub kepada diri sendiri sebagaimana halnya syirik dapat menghapus amalan, sebagaimana yang disampaikan Imam Nawawi Rahimahullah.

Dan hal terakhir hendaknya seorang hamba selalu bergaul dan berkumpul dengan orang orang yang ikhlas. Dengan harapan bisa berqudwah dan mengikuti mereka dalam keikhlasan. Dan bukankah seseorang akan berada dalam agama teman dekatnya? Hingga jika kita ingin melihat agama seseorang cukup dengan melihat agama teman dekatnya, Sebagaimana wasiat Sang baginda Shallallahu ‘Alaih Wasallam?.3 Maka pilihlah kawan yang baik, maka kita pun akan menjadi baik dengan Izin Allah ta’ala.

Mudah mudahan Allah ta’ala memberikan rahmat dan taufik Nya kepada kita semua agar senantiasa diberikan keikhlasan dalam beramal. Karena sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan keikhlasan.


Wallahu ‘Alam bis Showab

Catatan kaki
1 Perkataan Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Mukhtasor Minhajul Qosidin.
2 Perkataan Abdullah bin Hamzah rahimahullah.

3 HR. Ahmad (8212)
Disarikan dari kitab Qoo’idatul Inthilaq Wa Qooribun Najah, Faishol bin Ali Al Bu’daani Hafidzohullah.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution