Agar Tumbuh Keikhlasan
Allah ta’ala adalah Al Khaliq.
Dialah satu satunya Zat yang menciptakan. Dia ada sebelum segala sesuatu
ada. Tidak diciptakan, tidak juga butuh terhadap ciptaannya. Dia maha
Esa, tidak ada sesuatu yang seperti Dia. Tidak beranak, tidak pula
diperanakan. Segala sesuatu tunduk patuh kepada Nya.
Dia kekal abadi
disaat semua makhluk fana. Dia Maha Kuasa, tidak ada sesuatupun di alam
dunia ini kecuali dibawah kekuasaan Nya. Dia Maha bijaksana, tidak ada
ciptaan Nya yang sia sia. Dia maha kaya, tidak butuh terhadap makhluk
Nya. Sedang setiap makhluk membutuhkan Nya. Karena hanya milik Dia semua
sifat kesempurnaan dan keagungan.
Allah ta’ala telah menjelaskan kepada
manusia akan keagungan diri Nya dan kefakiran mereka kepada Allah. Allah
pun telah menetapkan akan tujuan penciptaan mereka, yaitu peribadahan
dan penghambaan. Namun Dia menetapkan bahwa Dia tidak butuh untuk
dipersekutukan, dengan sesuatu apapun. Tidak jin, manusia, atau malaikat
sekalipun. Dan memang Dia tidak layak untuk dipersekutukan. Maka setiap
amal yang ditujukan kepada Nya, namun juga berharap dari selain Nya
akan menjadi sia sia. Ibarat jasad tanpa ruh, seperti itulah nilai suatu
amalan tanpa keikhlasan. Dia ada, namun mati, membusuk, dan tidak
berharga.
Lalu apa pula yang diharapkan dari selain Nya, sedang
segala sesuatu adalah milik Nya?! Kebodohan macam apa dalam pengharapan
kepada manusia, sedang syurga milik sang pencipta? Apa jua manfaat
pujian, kekaguman, dan penghargaan dari mereka yang tidak memiliki apa
apa?
Namun dalam kenyataannya, jarang kita temukan orang
orang yang ikhlas dalam beramal. Kejahilan terhadap Sang Pencipta,
menjadikan kebanyakan orang lebih berharap kepada manusia daripada
balasan dari Allah ta’ala. Dan ternyata memang, pada prakteknya
pentingnya keikhlasan tidak menjadikan dia mudah untuk diterapkan. Bukan
hanya bagi orang awam seperti kita, namun para ulama dahulu pun
merasakannya.
Seperti Sufyan At Tsauri rahimahullah yang
berkata, “tidak ada sesuatu yang lebih berat bagiku melebihi masalah
niatku, karena ia mudah berbolak balik”. Atau Yusuf bin Husain rahimahullah
yang mengatakan, “sesuatu yang paling susah bagiku di dunia ini adalah
keikhlasan, berapa kali aku bersungguh sungguh untuk menghilangkannya
dari hatiku, namun seakan akan dia tumbuh kembali dengan corak yang
lain”.
Meskipun begitu halnya, bukan berarti ikhlas tidak
bisa diusahakan. Bermujahadah, menggerakan semua daya dan upaya untuk
mendapatkannya tetap menjadi keharusan. Bukankah pahala itu sesuai
dengan kesusahan dalam beramal? Yang karenanya semakin susah pahala
semakin besar? Dan begitulah nilai keikhlasan. Ia sungguh menentukan,
hingga diterimanya suatu amalan pun tergantung dengan keberadaannya.
Bahkan suatu amal kecil bisa menjadi besar dengannya. Dan sebaliknya,
amalan besar bisa menjadi kecil dengan ketiadaannya. Bukankah disebutkan
seorang pelacur yang masuk syurga karena memberi minum seekor anjing
yang kehausan? Sedang siapa diantara kita yang tidak sanggup
melakukannya. Namun lihatlah tiga golongan pertama penghuni neraka.
Justru mereka adalah orang orang yang beramal besar; seorang berilmu,
pejuang, dan dermawan!! Disinilah niat menjadi pembeda.
Maka, hal pertama yang harus dilakukan adalah senantiasa menghadirkan kebesaran Allah ta’ala.
Bahwa dialah satu satunya Dzat yang maha kuasa dan maha mengetahui.
Tidak ada yang dapat menolak manfaat jika Dia hendak memberi manfaat.
Pun tidak ada yang dapat memberi mudharat jika dia berkehendak.
Kemudian hal selanjutnya adalah meminta kepada Allah
agar diberikan keikhlasan. Karena sesungguhnya semua kebaikan seorang
hamba merupakan taufik dari Allah ta’ala. Manusia tidaklah memiliki daya dan upaya untuk beramal kecuali jika disertai dengan taufik dari Allah ta’ala.
Yang karenanya mengandalkan kemampuan diri dan hanya bersandar kepada
usaha tanpa meminta bantuan dari sang pencipta merupakan sebuah
keteledoran. Dan sungguh benar apa yang dikatakan Ibnul Qoyyim rahimahullah, bahwa kehinaan adalah ketika Allah meninggalkan seorang hamba dengan dirinya sendiri.
Keikhlasan juga perlu untuk dipelajari. Tentang
makna, hakekat, serta hal hal yang dapat menodai keikhlasan, untuk
kemudian berusaha mempraktekannya. Karena bagaimana seseorang akan bisa
ikhlas jika tidak tau makna keikhlasan?1 Ah, seandainya saja ada sekelompok dari para ulama yang tidak mengajari manusia kecuali keikhlasan.2
Hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah
senantiasa mengingat besarnya pahala keikhlasan. Serta akibat dari
amalan yang tidak disertai dengan keikhlasan. Bahwa ikhlas merupakan
satu satunya jalan menuju syurga. Ikhlas juga merupakan pintu
keselamatan dari godaan syaitan. Sebaliknya, tanpa keikhlasan suatu amal
tidak akan diterima, dan tanpanya juga seorang hamba akan terjerumus ke
dalam neraka.
Juga selalu mengevaluasi diri dan bersungguh sungguh.
Baik sebelum, ketika, dan setelah beramal. Sebelum memulai, berhentilah
sejenak, tanyakan kepada jiwa kita, apa yang kita ingingkan dengan
amalan ini? Jika yang diinginkannya adalah ridha Allah, atau pahala dari
Allah ta’ala, maka hendaklah seseorang meneruskan amalannya. Namun sebaliknya, jika ternyata yang diinginkan hal lain selain Allah ta’ala,
maka hendaknya seseorang tidak melanjutkan amalannya sampai meluruskan
niatnya. Ketika sedang beramalpun tetaplah melihat hati kita, jangan
sampai berubah niatnya, jika kemudian muncul niat lain selain Allah,
maka segera palingkan kepada Allah ta’ala. Begitu juga setelah beramal.
Jangan sampai muncul keinginan untuk diketahui oleh manusia, hingga
kemudian menceritakan amalannya sambil berharap pujian dari mereka.
Memperbanyak ketaatan juga merupakan salah satu cara
menghasilkan ikhlas. Karena syaitan akan selalu berusaha agar seorang
hamba meninggalkan ketaatan atau berusaha merusak amalan yang dilakukan
oleh seorang hamba. Jika kemudian syaitan melihat seorang hamba senantia
berada dalam ketaatan, dan tidak menghiraukan ajakan syaitan, bahkan
setiap kali syaitan membisiki seorang hamba namun justru hamba tadi
bertambah ketaatan dan keikhlasannya, syaitan pun akan putus asa dan
berhenti dari menggoda hamba tadi, agar tidak menambah pahalanya. Namun
jika seorang hamba terkadang taat namun terkadang juga berbuat maksiat
dengan menyambut ajaran syaitan, maka syaitan akan semakin bersemangat
menggoda hamba tadi, begitu kata hasan Al Bashri.
Kemudian juga seorang hamba hendaklah tidak bangga
dengan amalannya. Tidak takjub dengan dirinya sendiri. Karena
sesungguhnya ketika seseorang merasa takjub dengan dirinya sendiri,
ketika itu dia sedang menyekutukan Allah dengan dirinya sendiri. Seakan
akan dia telah berjasa kepada Allah dengan amalannya. Padahal,
hakekatnya justru sebaliknya. Seorang bisa beramal merupakan taufik dari
Allah ta’ala. Ujub kepada diri sendiri sebagaimana halnya syirik dapat
menghapus amalan, sebagaimana yang disampaikan Imam Nawawi Rahimahullah.
Dan hal terakhir hendaknya seorang hamba selalu
bergaul dan berkumpul dengan orang orang yang ikhlas. Dengan harapan
bisa berqudwah dan mengikuti mereka dalam keikhlasan. Dan bukankah
seseorang akan berada dalam agama teman dekatnya? Hingga jika kita ingin
melihat agama seseorang cukup dengan melihat agama teman dekatnya,
Sebagaimana wasiat Sang baginda Shallallahu ‘Alaih Wasallam?.3 Maka pilihlah kawan yang baik, maka kita pun akan menjadi baik dengan Izin Allah ta’ala.
Mudah mudahan Allah ta’ala memberikan rahmat dan
taufik Nya kepada kita semua agar senantiasa diberikan keikhlasan dalam
beramal. Karena sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan
keikhlasan.
Wallahu ‘Alam bis Showab
Catatan kaki
1 Perkataan Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Mukhtasor Minhajul Qosidin.
2 Perkataan Abdullah bin Hamzah rahimahullah.
3 HR. Ahmad (8212)
Disarikan dari kitab Qoo’idatul Inthilaq Wa Qooribun Najah, Faishol bin Ali Al Bu’daani Hafidzohullah.
0 komentar:
Posting Komentar