Selasa, 01 Desember 2015

Berhenti Mengatakan AKU!

Hilangkan Keakuan
 
Berhenti mengatakan AKU! Karena kata itu hanya menunjukan bahwa kita hanya sendiri, anda tidak memiliki dia, anda tidak memiliki kita dan anda tidak memiliki kami, anda hanya sendiri.

Meski mau tidak mau manusia adalah makhluk individu yang bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, namun tidaklah perlu manusia menunjukan sikap keakuan pada dirinya dan orang lain.. Cukuplah pujian serta sanjungan dari Allah satu-satunya zat yang memiliki hak paten untuk itu.
Memang warna buram dalam kehidupan dapat mengecohkan kita, secara tidak sadar kita mempertahankan sikap keakuan yang bertengger diatas kata karakter. Kebanyakan dari kawan kita mengatakan  “ini adalah karakter saya”
Seseorang memang dituntut untuk memiliki karakter, namun karakter bukanlah pelarian untuk mempertahankan dan membenarkan sikap negatif pada diri kita. Misalkan egois, pemarah, lembek, pelit. Memang nampak sama antara pemarah dengan tegas, antara lembek dengan santun dan orang pelit akan mengatakan dirinya hemat. Bahkan mereka sudah mengklaim bahwa sikap negatif yang nyaman bersemanyam dalam pikiran mereka sebagai karakter.
Seorang muslim yang berkarakter tentunya tidak akan lepas dari figur Rasulullah. Karena rasulullah sendiri adalah sebaik-baiknya karakter. Jadi dalam hal ini, tidak akan ada masalah jika kita menemukan karakter kita pada diri orang lain. Sebaik-baik manusia, kita tetap memerlukan sebuah figur yang sesuai dengan kondisi lingkungan kita, menjadi individu yang dibutuhkan oleh masyarakat, agar kita mampu beradaptasi untuk menyelesaikan segala masalah yang terkandung didalamnya.
Jika kita masih berfikir, hanya orang yang tidak berprinsip sajalah yang merubah-rubah dirinya sesuai dengan keadaan, mari kita simak cerita di bawah,
Disatu tempat, hiduplah elemen-elemen bumi yang jumlahnya berjuta-juta, namun yang menarik adalah kisah air dan batu.  pada suatu hari terjdi perdepatan antara air dan batu.  Pasalnya si air tersinggung atas perkataan batu tentang dirinya yang tidak memiliki karakter.
“hei air, lihatlah dirimu, ketika di sungai kau mengalir mengikuti jalan, jika di danau kau hanya diam, jika di antara karang dan berbatuan kau bagi kuda yang menerjang, di pantai kau menjadi buih-buih, dan ketika di kutup kau malah mengeras bagaikan batu. Jika dimasukan kedalam botol kau akan menjadi botol, dimasukan ke dalam ember kau akan berubah menjadi ember. Kau memang tidak memiliki karakter. Lihat aku, badanku keras, dimanapun dan seperti apapun kondisinya aku akan tetap keras, tidak akan pernah lumer meski dipanggang di atas bara api. Karena aku adalah makluk  yang berkarakter.” Kata batu.
Sang air hanya diam sebentar dan bersikap sangat tenang, jika tidak ia akan mengatakan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan kawannya ini.
“Bukankah dengan begitu aku akan lebih mudah digunakan oleh manusia, aku bisa digunakan untuk mandi, mudah dimasukan kedalam benda lain agar mereka lebih mudah mengangkutku. Karena aku yakin mereka akan menggunakan aku untuk keperluan yang baik. Bahkan mereka menggunakan kekuatan arusku untuk membangkitkan tenaga listrik, memanfaatkan kerasnya tubuhku saat di kutub untuk jalur perjalanan. Jadi bukankah dengan begitu aku akan memberi manfaat yang lebih besar.” Jawab air.
Batu tidak tersadar dengan sikap kasarnya, ia tidak  bergegas meminta maaf, justru membenci air karena merasa dihina.
Suatu hari, datanglah manusia dengan membawa peralatan keras ditempat batu. Ketika diangkat si batu amat senang, karena sekarang air bisa tahu siapa yang paling bermanfaat, batu atau air. meski ia harus kesakitan karena diangkat dengan kasar menggunakan besi. Dipukul-pukul agar mudah dianggkut. Untuk pertama kali ia harus menangis, namun langsung ia seka air matanya karena ia mendengar, ia akan dijadikan bangunan yang bermanfaat bagi ratusan orang.
Hingga batu dibawa ke sebuah tempat yang bising, banyak ditemukan pekerja dengan peralatannya. Pasir dan semen yang diaduk menjadi satu. Dengan cekatan pekerja menata batu menjadi susunan rapi nan kokoh. Setelah selesai, dimana sang batu harus tercepit diantaranya, barulah mereka semua menyadari bahwa mereka dijadikan bendungan penahan air sungai. Yang digunakan untuk irigrasi sawah dan pembangkit listrik.
Dalam hati sang batu sangat senang, karena nanti ia dapat menunjukan kepada air bahwa dirinya telah berguna dari pada air. bahkan air harus mengakui bahwa batu ternyata barmanfaat untuk dirinya. 
Namun sayang, harapan tinggal harapan. Karena pada khodratnya manusia adalah makhluk salah dan bersalah terhadap lingkungan. Banyaknya masyarakat yang membuang sampah di sungai yang membuat saluran bendungan tersumbat. Kondisi ini diperparah dengan ketidakperduliaan dan ketikdanpekaan manusia terhadap lingkungannya. Menyebabakan banyak sampah berserakan diatas air, menjadikan air tercemar dan tidak bisa dimanfaatkan, banyak ditumbuhi jentik-jentik nyamuk dan menjadi sumber penyakit. Kondisi berlangsung sangat lama. Kepedihan tidak hanya dialami oleh air, batupun merasa bersalah, ialah yang secara langasung menghalangi si air, namun jika ia roboh, maka banjirpun akan menyengsarakan manusia. Ia sangat menyesal, ia baru menyadari bahwa sikapnya yang keras hanya mendatangkan masalah saja. Masalah yang menambah beban hidupnya. Debit air semakin bertambah, arus semakin deras, padahal batu semakin tua dan berlumut. Akhirnya kekuatan bendungan tidak bisa ditahan hingga roboh dan menyebabkan banjir bandang.
Semua kecewa, manusia kecewa, air kecewa dan batupun juga kecewa. Saudaraku, hidup itu bagaikan roda yang berputar, dimana terdapat banyak posisi yang akan kita tempati, suasana yang berbeda dan keadaan yang berbeda, dimana kita memerlukan kebijakan hati untuk menjadi yang terbaik. Bukan berati menjadi manusia yang ingin dipuji, dengan menjadi manusia munafik yang tidak menyesuaikan kata hati, tetapi juga tidak menjadi manusia otoriter dan militer. 
Kita bisa memilah dan memilih, kapan anda menjadi sekeras batu, kapan anda selembut dan seringan kapas, kapan anda akan menjadi air yang mengalir, kapan anda harus diam dan tenang dan kapan anda harus menerjang karang sekeras kuda liar. 
Ketika berdiskusi dengan beberapa teman, penulis sering mendegar keluhan dari sahabat yang lain. Mereka sungkan dan enggan untuk berubah kearah yang lebih poisif (misal:menjadi muslimah, kalem, tegas) dengan alasan inilah karakter saya, inilah aku. Aku bukan kamu, aku adalah aku. Maka penulis mengatakan hal semacam inilah yang disebut keakuan. 
Kita sadari atau tidak berkataan ini adalah salah satu perwakilan angkuh kita, kita sangat menyadari bahwa sikap kita yang kita pertahankan hanya perwakilan dari rasa egois yang kita balut dengan kata karakter.
Muslim yang baik adalah yang bisa membahagiakan muslim yang lain. Hal ini tidak akan berpengaruh dengan filosofi lilin, dimana semakin menyinari maka ia akan semakin mati. Karena Allah akan menolong hambanya yang berbuat kebaikan. Satu hal yang kita lupa bahwa, hidup itu hanya berbuah balasan, kita berbuat kebaikan maka Allah akan menggantinya dengan kebaikan yang lebih besar. 

Jika kita melakukan keburukan maka Allah akan membalasnya dengan keburukan yang sama besar. Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain tidak akan pernah mati atau padam jika hanya mengharap balasan dari Allah, namun memungkinkan mati karena kita mengharapkan balasan dari manusia. Karena sangat kita pahami bahwa Allah yang akan memberikan balasan bai buruk, neraka atau surga, sayang antau siksaan. Bukan manusia, yang sama lemahnya dengan kita dan sama-sama berharap kepadaNYA.
Untuk apa kita harus berbuat baik? Kita berbuat baik sebagai balas budi, atau kita berbuat baik kepada orang yang memungkinkan akan berbuat baik juga kepada kita. Lantas kapan kita akan berbuat baik kepada orang berbuat jahat kepada kita. Satu-satunya alasan kita adalah keegoisan kita, keanggkuhan kita dan sikap keAkuan kita.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution