Hilangkan Keakuan
Berhenti
mengatakan AKU! Karena kata itu hanya menunjukan bahwa kita hanya sendiri, anda
tidak memiliki dia, anda tidak memiliki kita dan anda tidak memiliki kami, anda
hanya sendiri.
Meski
mau tidak mau manusia adalah makhluk individu yang bertanggung jawab atas diri
mereka sendiri, namun tidaklah perlu manusia menunjukan sikap keakuan pada
dirinya dan orang lain.. Cukuplah pujian serta sanjungan dari Allah
satu-satunya zat yang memiliki hak paten untuk itu.
Memang
warna buram dalam kehidupan dapat mengecohkan kita, secara tidak sadar kita
mempertahankan sikap keakuan yang bertengger diatas kata karakter. Kebanyakan
dari kawan kita mengatakan “ini adalah
karakter saya”
Seseorang
memang dituntut untuk memiliki karakter, namun karakter bukanlah pelarian untuk
mempertahankan dan membenarkan sikap negatif pada diri kita. Misalkan egois,
pemarah, lembek, pelit. Memang nampak sama antara pemarah dengan tegas, antara
lembek dengan santun dan orang pelit akan mengatakan dirinya hemat. Bahkan
mereka sudah mengklaim bahwa sikap negatif yang nyaman bersemanyam dalam
pikiran mereka sebagai karakter.
Seorang
muslim yang berkarakter tentunya tidak akan lepas dari figur Rasulullah. Karena
rasulullah sendiri adalah sebaik-baiknya karakter. Jadi dalam hal ini, tidak
akan ada masalah jika kita menemukan karakter kita pada diri orang lain.
Sebaik-baik manusia, kita tetap memerlukan sebuah figur yang sesuai dengan
kondisi lingkungan kita, menjadi individu yang dibutuhkan oleh masyarakat, agar
kita mampu beradaptasi untuk menyelesaikan segala masalah yang terkandung
didalamnya.
Jika
kita masih berfikir, hanya orang yang tidak berprinsip sajalah yang
merubah-rubah dirinya sesuai dengan keadaan, mari kita simak cerita di bawah,
Disatu
tempat, hiduplah elemen-elemen bumi yang jumlahnya berjuta-juta, namun yang menarik
adalah kisah air dan batu. pada suatu
hari terjdi perdepatan antara air dan batu.
Pasalnya si air tersinggung atas perkataan batu tentang dirinya yang
tidak memiliki karakter.
“hei
air, lihatlah dirimu, ketika di sungai kau mengalir mengikuti jalan, jika di
danau kau hanya diam, jika di antara karang dan berbatuan kau bagi kuda yang
menerjang, di pantai kau menjadi buih-buih, dan ketika di kutup kau malah
mengeras bagaikan batu. Jika dimasukan kedalam botol kau akan menjadi botol,
dimasukan ke dalam ember kau akan berubah menjadi ember. Kau memang tidak
memiliki karakter. Lihat aku, badanku keras, dimanapun dan seperti apapun
kondisinya aku akan tetap keras, tidak akan pernah lumer meski dipanggang di
atas bara api. Karena aku adalah makluk
yang berkarakter.” Kata batu.
Sang
air hanya diam sebentar dan bersikap sangat tenang, jika tidak ia akan
mengatakan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan kawannya ini.
“Bukankah
dengan begitu aku akan lebih mudah digunakan oleh manusia, aku bisa digunakan untuk
mandi, mudah dimasukan kedalam benda lain agar mereka lebih mudah mengangkutku.
Karena aku yakin mereka akan menggunakan aku untuk keperluan yang baik. Bahkan
mereka menggunakan kekuatan arusku untuk membangkitkan tenaga listrik,
memanfaatkan kerasnya tubuhku saat di kutub untuk jalur perjalanan. Jadi
bukankah dengan begitu aku akan memberi manfaat yang lebih besar.” Jawab air.
Batu
tidak tersadar dengan sikap kasarnya, ia tidak
bergegas meminta maaf, justru membenci air karena merasa dihina.
Suatu
hari, datanglah manusia dengan membawa peralatan keras ditempat batu. Ketika
diangkat si batu amat senang, karena sekarang air bisa tahu siapa yang paling
bermanfaat, batu atau air. meski ia harus kesakitan karena diangkat dengan
kasar menggunakan besi. Dipukul-pukul agar mudah dianggkut. Untuk pertama kali
ia harus menangis, namun langsung ia seka air matanya karena ia mendengar, ia
akan dijadikan bangunan yang bermanfaat bagi ratusan orang.
Hingga
batu dibawa ke sebuah tempat yang bising, banyak ditemukan pekerja dengan
peralatannya. Pasir dan semen yang diaduk menjadi satu. Dengan cekatan pekerja
menata batu menjadi susunan rapi nan kokoh. Setelah selesai, dimana sang batu
harus tercepit diantaranya, barulah mereka semua menyadari bahwa mereka
dijadikan bendungan penahan air sungai. Yang digunakan untuk irigrasi sawah dan
pembangkit listrik.
Dalam
hati sang batu sangat senang, karena nanti ia dapat menunjukan kepada air bahwa
dirinya telah berguna dari pada air. bahkan air harus mengakui bahwa batu
ternyata barmanfaat untuk dirinya.
Namun
sayang, harapan tinggal harapan. Karena pada khodratnya manusia adalah makhluk
salah dan bersalah terhadap lingkungan. Banyaknya masyarakat yang membuang
sampah di sungai yang membuat saluran bendungan tersumbat. Kondisi ini
diperparah dengan ketidakperduliaan dan ketikdanpekaan manusia terhadap
lingkungannya. Menyebabakan banyak sampah berserakan diatas air, menjadikan air
tercemar dan tidak bisa dimanfaatkan, banyak ditumbuhi jentik-jentik nyamuk dan
menjadi sumber penyakit. Kondisi berlangsung sangat lama. Kepedihan tidak hanya
dialami oleh air, batupun merasa bersalah, ialah yang secara langasung
menghalangi si air, namun jika ia roboh, maka banjirpun akan menyengsarakan
manusia. Ia sangat menyesal, ia baru menyadari bahwa sikapnya yang keras hanya
mendatangkan masalah saja. Masalah yang menambah beban hidupnya. Debit air
semakin bertambah, arus semakin deras, padahal batu semakin tua dan berlumut.
Akhirnya kekuatan bendungan tidak bisa ditahan hingga roboh dan menyebabkan
banjir bandang.
Semua
kecewa, manusia kecewa, air kecewa dan batupun juga kecewa. Saudaraku, hidup
itu bagaikan roda yang berputar, dimana terdapat banyak posisi yang akan kita
tempati, suasana yang berbeda dan keadaan yang berbeda, dimana kita memerlukan
kebijakan hati untuk menjadi yang terbaik. Bukan berati menjadi manusia yang
ingin dipuji, dengan menjadi manusia munafik yang tidak menyesuaikan kata hati,
tetapi juga tidak menjadi manusia otoriter dan militer.
Kita
bisa memilah dan memilih, kapan anda menjadi sekeras batu, kapan anda selembut
dan seringan kapas, kapan anda akan menjadi air yang mengalir, kapan anda harus
diam dan tenang dan kapan anda harus menerjang karang sekeras kuda liar.
Ketika
berdiskusi dengan beberapa teman, penulis sering mendegar keluhan dari sahabat
yang lain. Mereka sungkan dan enggan untuk berubah kearah yang lebih poisif
(misal:menjadi muslimah, kalem, tegas) dengan alasan inilah karakter saya,
inilah aku. Aku bukan kamu, aku adalah aku. Maka penulis mengatakan hal semacam
inilah yang disebut keakuan.
Kita
sadari atau tidak berkataan ini adalah salah satu perwakilan angkuh kita, kita
sangat menyadari bahwa sikap kita yang kita pertahankan hanya perwakilan dari
rasa egois yang kita balut dengan kata karakter.
Muslim
yang baik adalah yang bisa membahagiakan muslim yang lain. Hal ini tidak akan
berpengaruh dengan filosofi lilin, dimana semakin menyinari maka ia akan
semakin mati. Karena Allah akan menolong hambanya yang berbuat kebaikan. Satu
hal yang kita lupa bahwa, hidup itu hanya berbuah balasan, kita berbuat
kebaikan maka Allah akan menggantinya dengan kebaikan yang lebih besar.
Jika kita melakukan keburukan maka Allah akan membalasnya dengan keburukan yang sama besar. Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain tidak akan pernah mati atau padam jika hanya mengharap balasan dari Allah, namun memungkinkan mati karena kita mengharapkan balasan dari manusia. Karena sangat kita pahami bahwa Allah yang akan memberikan balasan bai buruk, neraka atau surga, sayang antau siksaan. Bukan manusia, yang sama lemahnya dengan kita dan sama-sama berharap kepadaNYA.
Jika kita melakukan keburukan maka Allah akan membalasnya dengan keburukan yang sama besar. Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain tidak akan pernah mati atau padam jika hanya mengharap balasan dari Allah, namun memungkinkan mati karena kita mengharapkan balasan dari manusia. Karena sangat kita pahami bahwa Allah yang akan memberikan balasan bai buruk, neraka atau surga, sayang antau siksaan. Bukan manusia, yang sama lemahnya dengan kita dan sama-sama berharap kepadaNYA.
Untuk
apa kita harus berbuat baik? Kita berbuat baik sebagai balas budi, atau kita
berbuat baik kepada orang yang memungkinkan akan berbuat baik juga kepada kita.
Lantas kapan kita akan berbuat baik kepada orang berbuat jahat kepada kita.
Satu-satunya alasan kita adalah keegoisan kita, keanggkuhan kita dan sikap
keAkuan kita.
Oleh Dedik Widianto
0 komentar:
Posting Komentar