Mengingat Kehidupan Akhirat
“Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak
beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang
pedih” (Al Israa’, 17:10)
Untuk mengingat kehidupan akhirat, kini layaklah kita simak
kisah-kisah perjalanan ruhani para sahabat yang mudah-mudahan dapat
menjadi teladan bagi kehidupan kita. Kisahnya, suatu saat terjadi dialog
antara Rasulullah SAW dengan Hudzaifah Ra. Rasulullah Saw bertanya
kepada Hudzaifah. Ya Hudzaifah, bagaimana keadaanmu saat ini ? Jawab
Hudzaifah: “Saat ini saya sudah benar-benar beriman, ya Rasulullah”.
Rasul kemudian mengatakan, “Setiap kebenaran itu ada hakikatnya, maka
apa hakikat keimananmu, wahai Hudzaifah ?” Jawab Hudzaifah: Ada "dua",
ya Rasulullah.
Pertama, saya sudah hilangkan unsur dunia dari
kehidupan saya, sehingga bagi saya debu dan emas itu sama saja. Dalam
pengertian, saya akan cari kenikmatan dunia, lantas andaikata saya
dapatkan maka saya akan menikmatinya dan bersyukur kepada Allah SWT.
Tapi, kalau suatu saat kenikmatan dunia itu hilang dari tangan saya,
maka saya tinggal bersabar sebab dunia bukanlah tujuan. Bila ia datang
maka Alhamdulillah, dan bila ia pergi maka, Innalillaahi wa inna ilaihi raji'un..
Yang kedua, Hudzaifah mengatakan, “setiap saya ingin
melakukan sesuatu, saya bayangkan seakan-akan surga dan neraka itu ada
di depan saya. Lantas saya bayangkan bagaimana ahli surga itu menikmati
kenikmatan surga, dan sebaliknya bagaimana pula ahli neraka itu
merasakan azab neraka jahannam. Sehingga terdoronglah saya untuk
melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya”.
Mendengar jawaban Hudzaifah ini, Rasul langsung saja memeluk
Hudzaifah dan menepuk punggungnya sambil berkata, "pegang erat-erat
prinsip keimananmu itu, ya Hudzaifah, kamu pasti akan selamat dunia
akhirat". Bila kita cermati dialog tersebut, paling tidak, ada "dua"
hikmah yang bisa kita petik. Pertama, iman kepada Allah, dengan
mencintai Allah itu di atas cinta kepada selain Allah. Dan yang kedua,
selalu membayangkan akibat dari setiap perbuatan yang dilakukan di dunia
bagi kehidupan yang abadi di akhirat nanti.
Di dalam beberapa ayat, Allah SWT menjelaskan tentang sifat-sifat
orang-orang yang muttaqin, mereka di antaranya adalah yang meyakini akan
adanya kehidupan akhirat. Orang yang beriman akan adanya kehidupan
akhirat, akan membuat dia mampu mengendalikan kecenderungan hawa
nafsunya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak meyakini akan adanya
kehidupan akhirat, "Mereka tidak pernah takut dengan hisab Kami, dan
mereka telah mendustai ayat-ayat Allah dengan dusta yang nyata" (An
Naba', 78 : 27-28).
Di dalam Al Quran, Allah SWT mengkisahkan dialog sesama muslim di
akhirat yakni antara muslim yang ahli surga dengan muslim berdosa yang
masuk dalam neraka jahannam. Muslim yang langsung masuk surga bertanya
kepada muslim berdosa yang masuk ke dalam neraka. “Apa yang
menyebabkan kamu masuk ke dalam neraka ? Mereka menjawab: “Kami dahulu
tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak
(pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami mendustakan hari
pembalasan hingga datang kepada kami kematian”(Al Muddatstsir, 74 :
42-46).
Menurut Al Qur'an, kebanyakan orang-orang yang kufur adalah mereka
yang akhir hidupnya penuh dengan kemaksiatan. Ini terjadi karena mereka
tidak mengimani bahwa kehidupan mereka akan berakhir di alam akhirat dan
mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh aspek kehidupan mereka
selama di dunia. Demikian pula, Allah SWT mengkisahkan kesombongan
Fir'aun dan orang-orang yang menyembahnya, "Sombonglah Fir'aun itu
dengan seluruh pengikutnya di muka bumi tentu dengan alasan yang tidak
benar. Dan mereka mengira, bahwa mereka tidak akan pernah kembali kepada
Kami" (Al Qashash, 28 : 39).
Kesombongan Fir'aun berakhir saat sakaratul maut. Saat dia menyadari
bahwa dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ketika
rombongan malaikat yang bengis-bengis itu mendatanginya saat dia sedang
berada di tengah laut, yang dikisahkan para malaikat itu langsung
memukul wajah dan punggung mereka. Allah SWT berfirman: “..Alangkah
dahsyatnya sekiranya kamu melihat pada waktu orang-orang zalim (berada)
dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul
dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Pada hari
ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu
selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan
(karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya”(Al
An'aam, 6 : 93)
Pada saat sakaratul maut itu, Fir'aun menyatakan:
“Sekarang saya benar-benar beriman dengan Tuhannya Nabi Musa dan Harun”.
Namun saat sakaratul maut pintu taubat sudah ditutup. Karena sudah
tidak ada lagi ujian keimanan, sebab yang ghaib termasuk alam dan
makhluk ghaib sudah terlihat nyata. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan
daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari
itu amat tajam” (Qaaf, 50 : 22).
Orang yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari pembalasan /
akhirat, yang diharapkan dapat mengendalikan kecenderungan hawa
nafsunya untuk hanya mencintai yang dicintai Allah dan membenci yang
dibenci Allah, yang hanya mencintai sesuatu di dunia jika yang
dicintainya itu dicintai Allah SWT.
Dalam sebuah hadits dikisahkan, suatu ketika pada siang hari,
Sayidana Umar ra. berkunjung ke rumah Rasulullah Saw. di mana saat itu
Rasul sedang tidur beristirahat, dengan dada telanjang. Ketika beliau
bangun tampaklah pada punggungnya garis-garis merah karena kasarnya alas
tidur beliau yang dibuat dari pelepah kurma. Melihat pemandangan ini,
Sayidina Umar menangis. Beliau yang terkenal keras saat itu luluh
hatinya ketika melihat Rasulullah dalam kondisi seperti itu. Rasul
bertanya: “Apa yang membuat kamu menangis wahai Sayidina Umar ? “Umar
berkata:” saya malu ya Rasulullah, engkau adalah pemimpin kami, engkau
adalah Rasul Allah, manusia pilihan, manusia yang dimuliakan-Nya. Engkau
adalah pemimpin ummat, namun engkau tidur di atas alas yang kasar
seperti ini, sementara kami yang engkau pimpin tidur di atas alas yang
empuk. Saya malu ya Rasusulullah, selayaknya Engkau mengambil alas tidur
yang lebih dari ini”.
Rasul menjawab: “Apa urusan saya dengan dunia ini ? Tidak ada !
Urusan diri saya dengan dunia ini kecuali seperti orang yang sedang
mengembara dalam musim panas menempuh sebuah perjalanan yang cukup
panjang, lalu sekejap mencoba bernaung di bawah sebuah pohon yang
rindang untuk sekejap melepas lelah. Setelah itu dia pun kemudian pergi
meninggalkan tempat peristirahatannya”. Kata Rasul: haruskah saya
korbankan kehidupan yang abadi hanya untuk bernaung sejenak menikmati
itu ? (HR. Ahmad, Ibnu Habban, Baihaqi).
Selain kisah di atas, ada kisah lain yang layak kita renungkan di
mana suatu ketika Khalifah Umar kedatangan putranya, Abdullah, yang
meminta dibelikan baju baru. Secara spontan saja Sayidina Umar langsung
marah sambil mengatakan: “Apakah karena kamu seorang anak Amirul
Mu’minin lantas kamu ingin bajumu selalu lebih baik dari anak-anak yang
lain ? Jawab Abdullah: Tidak! Saya khawatir malah kondisi saya ini akan
menjadi fitnah, menjadi bahan cemoohan orang lain di mana anak Amirul
mu’minin pakaiannya tidak pernah ganti-ganti, sebab Beliau hanya
memiliki dua baju, di mana bila yang satu dipakai maka yang satu dicuci
dan seterusnya.
Sayidina Umar berkata: “Baiklah Nak, saya ingin belikan kamu baju
baru hanya saja ayah saat ini tidak punya uang. Untuk itu kamu saya utus
menemui “Khoolin Baitul Maal’ (bendahara negara), sampaikan kepada
beliau salam dari ayah dan katakan pula bahwa ayah bermaksud mengambil
gajinya bulan depan untuk membelikan kamu baju baru. Abdullah langsung
menemui bendaharawan negara dengan mengatakan: “Ada salam dari ayah.
Dan, ayah minta supaya gaji bulan depan bisa diserahkan saat ini untuk
membelikan saya baju baru”.
Bendaharawan tersebut mengatakan: “Nak, sampaikan kembali salamku
kepada ayahmu, dan katakan bahwa aku tidak bersedia mengeluarkan uang
itu”. Tanyakan kepada ayahmu, apakah ayahmu yakin sampai bulan depan
beliau masih menjabat Amirul Mu’minin, sehingga berani mengambil uang
gajinya bulan depan sekarang ? Andaikata dia yakin sampai bulan depan
dia masih Amirul Mu’inin, yakinkah sampai besok dia masih hidup,
bagaimana kalau besok ia meninggal dunia padahal gajinya bulan depan
sudah dikeluarkan. Mendengar jawaban bendahara negara yang demikian itu,
pulanglah Abudullah segera menemui ayahnya sambil menyampaikan pesan
dari bendaharawan tersebut.
Mendengar penuturan anaknya, Umar langsung menggandeng tangan anaknya
sambil mengatakan, antarkan saya menemui bendaharawan tadi. Begitu
sampai di hadapan bendaharawan tersebut, Sayidina Umar langsung
memeluknya, sambil mengatakan, terima kasih, saudara telah mengingatkan
saya terhadap satu keputusan yang nyaris saja salah. Demikianlah kisah
Sayidina Umar dan masih banyak lagi kisah lain dari perjalanan hidup
para sahabat yang patut kita teladani untuk menghadapi dinamika
kehidupan yang terus berkembang mengikuti perputaran zaman.
Allah SWT telah mengingatkan tentang bahayanya manusia-manusia yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan hidupnya, “Maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya” (An Naazi’aat, 79 : 39).
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari
peringatan Kami dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah
sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang
paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah
yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (An Najm, 53 :
29-30)
Akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat yang
sedemikian mulianya bisa terwujud tiada lain karena adanya benteng
keimanan yang sangat kuat dan kokoh. Semoga kita bisa meneladani apa
yang menjadi perilaku Rasul dan para sahabatnya. Amin!
Wallahu a’lam bish-shawab
0 komentar:
Posting Komentar