Untuk Apa Jadi Pejabat? Pemimpin dalam Perspektif Islam
Maknanya : ”Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah, memimpin adalah menderita.”
Saat ini jabatan-jabatan politik menjadi idaman banyak orang. Apakah itu anggota DPRD, DPR, Bupati, Gubernur atau Presiden. Orang sanggup mengeluarkan uang bermilyar-milyar untuk merebut jabatan itu. Mereka
memimpikan bahwa jabatan politik yang tinggi itu akan menaikkan status
sosialnya, wibawa kehormatannya, menjamin kebutuhan hidup keluarga dan
anak cucunya serta berbagai kenikmatan materi lainnya.
Mimpi-mimpi yang tinggi ini, menjadikan
mereka seringkali begadang semalaman untuk lobi-lobi politik.
Mengeluarkan uang bermilyar-milyar untuk iklan dirinya (satu orang saja
untuk iklan mencitrakan diri sebagai presiden bisa sampai 300 milyar)
dan melakukan retorika-retorika yang seringkali tidak jujur untuk
meningkatkan tingkat elektabilitasnya.
Jarang orang yang memimpikan jabatan-jabatan politik, kemudian berpikir tentang amanah berat yang akan mereka emban. Tanggungjawab nanti yang harus mereka penuhi kepada rakyat. Apalagi
berpikir tentang beratnya beban yang harus dipikul untuk nanti
dipertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta, di alam akherat. Hanya
kenikmatan-kenikmatan material dan puja-puji para ‘punggawa’ sajalah
yang seringkali menjadi impian.
Para
ulama dan pemimpin-pemimpin Islam dalam sejarah, telah memberikan
nasehat yang berharga tentang masalah ini. Diantaranya adalah nasihat
khalifah keempat yang mulia Ali bin Abi Thalib kepada gubernur Mesir
Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655 M (diterbitkan BMI dan GIP). Menurut Profesor A Korkut Özal
dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata nasehat khalifah Ali
ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak
pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat ia mampu melintasi Eropa
di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di
Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris
untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya
yang disebut Rhetoric.
Sayyidina
Ali menasehatkan agar Gubernur Mesir itu hati-hati dengan jabatan yang
baru diemban. Kata Ali r.a.: "Sesungguhnya orang-orang akan melihat
segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin
sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang
tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan
pandangan yang tajam."
Ali melanjutkan: ”Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana kau bicara tentang mereka. Sesungguhnya
rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik
pada mereka… Karenanya, harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau
dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan-keinginanmu agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang terlarang. Dengan sikap yang waspada itu, kau akan mampu membuat keputusan di antara sesuatu yang baik atau yang tidak baik untuk rakyatmu.
Kembangkanlah sifat kasih dan cintailah rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan berkah bagi mereka. Jangan bersikap kasar dan jangan memiliki sesuatu yang menjadi milik dan hak mereka. Jangan
katakan:"Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa
memerintahkan dan harus ditaati", karena hal itu akan merusak hatimu
sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan
dalam negerimu. Bila kau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah
merasakan semacam gejala rasa bangga dan ketakaburan, maka pandanglah
kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama
sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisimu, mengekang
kesewenang-wenangan dan mengembalikan pemikiranmu yang terlalu jauh.
Sesungguhnya tiang agama, kekuatan kaum Muslimin dan senjata untuk menghadapi musuh adalah rakyat jelata. Karena itu, jagalah hubungan baik dengan mereka dan perhatikan kesejahteraan mereka.” Sayyidina
Ali juga menasehatkan agar pemimpin itu memperhatikan rakyat jelata,
bersikap dermawan, menjauhi sikap pelit dan rakus. Selain
itu ia juga menasehatkan agar pemimpin itu mengangkat ”penasehat dari
orang-orang yang dikaruniai dengan kecerdasan dan pandangan yang jauh ke
depan, yang tidak bergelimang dosa, dan yang tidak pernah membantu
seorang tiran dengan tiraninya, membantu penjahat dengan kejahatannya.” Selain
nasihat Sayyidina Ali ra, menarik juga menyimak surat wasiat Sultan
Muhammad al Fatih (831 H) kepada anaknya. Al Fatih oleh para ulama dan
sejarawan Islam disebut sebagai penakluk Konstatinopel. Ia adalah laki-laki yang disebut Rasulullah saw sebagai : "Konstatinopel
akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki . Maka orang yang
memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah
sebaik-baik tentara." (HR Ahmad)
Dr.
Ali Muhammad as Shalabi mengemukakan sifat-sifat mulia Muhammad al
Fatih ini sehingga menjadi pemimpin besar dalam sejarah Islam.
Sifat-sifat itu adalah: perhatian yang tinggi terhadap universitas dan sekolah, kepeduliannya yang besar terhadap para ulama, perhatiannya
terhadap penyair dan sastrawan, kepeduliannya terhadap penerjemahan
buku-buku, perhatiannya terhadap pembangunan dan rumah sakit,
kepeduliannya terhadap perdagangan dan industri,
perhatiannya terhadap masalah administrasi, kepeduliannya terhadap
tentara dan armada laut dan komitmennya pada keadilan.
Berikut cuplikan nasehat al Fatih sang penakluk Konstatinopel (Turki) itu:
"Tak
lama lagi aku akan menghadap Allah SWT. Namun aku sama sekali tidak
merasa menyesal, sebab aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Maka jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyatmu tanpa perbedaan. Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan lain apapun. Janganlah kamu lemah dan lengah dalam menegakkan agama. Janganlah kamu sekali-kali memakai orang-orang yang tidak peduli agama menjadi pembantumu. Jangan
pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar
dan larut dalam kekejian... Jagalah harta baitul mal jangan sampai
dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali engkau mengulurkan tanganmu pada harta rakyatmu kecuali itu sesuai dengan aturan Islam. Himpunlah kekuatan orang-orang yang lemah dan fakir, dan berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.
Oleh sebab ulama itu laksana kekuatan yang harus ada di dalam raga negeri, maka hormatilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia agar datang ke negeri ini dan berilah dia harta kekayaan. Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan jangan pula dengan banyaknya tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintu-pintu istanamu. Janganlah kamu sekali-kali melakukan satu hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj (pedoman) hidup kita dan dengan agama kita menang.
Ambillah
pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil,
lalu Allah karuniakan kepadaku nikmat yang demikian besar ini. Maka
berjalanlah seperti apa yang aku lakukan. Bekerjalah kamu untuk meninggikan agama Allah dan hormatilah ahlinya. Janganlah
kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan
senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran."
Salah satu ciri sifat dan keberhasilan pemimpin dalam Islam adalah hidup sederhana dan tidak bermewah-mewah. Seorang
presiden atau pejabat-pejabat politik di Indonesia misalnya, idealnya
melihat kemiskinan di negeri ini, bukan meminta kenaikan gaji, tapi
minta penurunan gaji. Seorang pemimpin sejati tidak akan tidur nyenyak
sementara rakyatnya lebih dari 40 juta kelaparan. Rasulullah saw berpesan: ”Bukan termasuk umatku, mereka yang makan kenyang sementara tetangganya kelaparan.” Terhadap tetangga saja, Rasulullah saw mengecam orang yang tidak memperhatikan kebutuhannya, apalagi kepada rakyatnya.
Godaan
untuk para pemimpin itu banyak. Sebagai manusia, ia terkadang digoda
nafsu harta yang bermewah-mewah, nafsu wanita (seks yang tidak
terkendali) dan terkadang nafsu tahta, nafsu jabatan yang lebih
tinggi-tinggi lagi. Dan bila ia tidak bisa mengendalikan, maka ia akan
terperosok menjadi manusia atau pemimpin yang hina. Hanya kembali kepada
ajaran a-Qur’an, ajaran Ilahi lah maka pemimpin akan sanggup menghadapi
godaan-godaan itu.
Karena itu
falsafah jabatan dalam Islam bukan sebagai sumber kenikmatan, tapi ia
adalah sumber tanggungjawab dan sumber pengorbanan. Jabatan
yang ia nikmati bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyat, tapi
juga dan terutama dipertanggungjawabkan dengan sedetil-detilnya kepada
Allah SWT di hari setelah kematian nanti.
Menjadi
pemimpin berarti menjadi teladan. Bila ia tidak siap dan tidak mampu
menjadi teladan bagi rakyat, lebih baik menjadi pengikut. Karena
bila pemimpin mempunyai akhlak yang buruk, maka orang-orang
sekelilingnya dan rakyatnya akan mencontoh perilaku yang buruk. Dan itulah sumber kehancuran bagi sebuah bangsa, organisasi atau partai. Pepatah yang terkenal ”Ikan busuk dari kepalanya”.
Banyak keteladanan yang bisa kita ambil dari para khalifah atau pemimpin-pemimpin Islam yang melegenda. Juga
dari para tokoh-tokoh politik Islam terdahulu, misalnya dari
tokoh-tokoh Masyumi (NU, Muhammadiyah, Persis, al Irsyad dll). Atau
tokoh-tokoh di masa kemerdekaan dulu, seperti Pangeran Diponegoro, Imam
Bonjol dll.
Maka suatu hari di tahun 1925, Mohammad Roem diajak ngaji oleh Kasman Singodimedjo dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim. Jalan
ke rumah Agus Salim itu becek bila kena hujan, dan saat Kasman datang,
Agus Salim berkomentar: ”Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin
peranan manusia dan sepeda terbalik.” Kasman menjelaskan ke Roem bahwa
kemarin ia ditunggangi sepeda bukan ia menunggangi sepeda. Maka Kasman
menjawab ke Agus Salim : ”Een leidersweg is een lijdensweg, Leiden is lijden.”
0 komentar:
Posting Komentar