Kezhaliman Kepada Manusia
Sedangkan kezhaliman kepada manusia, di dalamnya juga
terdapat kemaksiatan dan pelanggaran terhadap hak Allah SWT.
Karena Allah SWT juga melarang melakukan kezhaliman kepada
manusia. Yang berkaitan dengan hak Allah SWT dapat
dihapuskan dengan penyesalan, merasakan kerugian, serta
tidak akan melakukan perbuatan semacama itu lagi nantinya.
Kemudian ia mengerjakan kebaikan yang menjadi lawan
keburukan itu. Tindakan aniaya yang ia lakukan terhadap
manusia dihapus dengan berbuatan baik kepada mereka. Dan
tindakan mengambil harta mereka dihapuskan dengan bersadaqah
dengan hartanya yang halal. Ghibah dan celaan yang ia
lontarkan atas mereka diganti dengan memuji mereka. Serta
menampilkan kebaikan mereka dan orang-orang semacamnya.
Membunuh manusia ditebus dengan membebaskan budak, karena
itu adalah suatu bentuk penghidupan. Karena hamba yang
menjadi budak adalah: ia hilang bagi dirinya sendiri dan ada
bagi tuannya. Pembebasan budak adalah suatu pengadaan yang
dapat dilakukan oleh manusia, dan ia tidak dapat melakukan
yang lebih dari itu. Pelenyapan ditebus dengan pengadaan
yang telah ditentukan.
Dari ini diketahui, cara penghapusan dosa dengan
melakukan kebalikannya itu, mempunyai landasan syari'atnya.
Yaitu syari'at memerintahkan menghapus dosa membunuh dengan
membebaskan budak. Kemudian jika ia telah melakukan itu
semua, tetap tidak mencukupi untuk menebus dosanya jika ia
belum mengeluarkan hak orang lain yang ada padanya akibat
kezaliman yang ia lakukan. Kezaliman terhadap orang lain itu
dapat berupa jiwa, harta, kehormatan diri, dan hati,
maksudnya tindakan aniaya.
Sedangkan jiwa, jika ia melakukan pembunuhan dengan tidak
sengaja, maka taubatnya itu adalah dengan memberikan diyat
[Dosa ini juga mempunyai cara penghapusan yang lain, yaitu
membebaskan hamba sahaya yang mu'min, dan jika ia tidak
menemukan hamba itu maka ia dapat pula melakukan puasa
sebanyak dua bulan berturut-turut.], dan menyampaikan diyat
itu kepada orang yang berhak. Diyat itu dikeluarkan darinya
atau dari keluarganya. Dan ia masih belum bebas selama diyat
itu belum sampai kepada yang berhak. Namun jika pembunuhan
itu dilakukan dengan sengaja dan mengharuskan ia diqishash
maka penebusan itu adalah dengan qisas. Jika ia tidak
diketahui, maka ia harus mengakuinya kepada keluarganya, dan
meminta agar mereka menghukumnya. Jika mereka mau maka
mereka memaafkannya, dan jika mereka mau dapat pula mereka
membunuhnya. Dan tanggungannya itu tidak jatuh kecuali
dengan cara itu, dan ia tidak boleh menyembunyikan diri.
Tidak demikian halnya jika ia berzina, atau minum minuman
keras, mencuri, merampok, atau melakukan tindakan yang
mewajibkannya menanggung had Allah SWT. Dalam hal seperti
ini, ketika ia ingin taubat, ia tidak harus membuka rahasia
pribadinya itu, kemudian meminta kepada pihak yang berwenang
untuk menunaikan hak Allah SWT. Namun sebaliknya, ia harus
menutupi dirinya itu, dan melakukan hukum Allah atas dirinya
sendiri dengan berbagai macam mujahadah dan penyiksaan diri.
Karena ampunan dari pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT
amat dekat dengan orang-orang yang menyesal dan bertaubat.
Namun jika perbuatannya itu kemudian ia laporkan kepada
pihak yang berwenang, dan ia kemudian dikenakan had sebagai
hukumannya, maka taubatnya menjadi sah dan diterima oleh
Allah SWT. Dengan dalil dari hadits sahih bahwa Ma'iz bin
Malik datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: wahai
Rasulullah Saw, aku telah berlaku zhalim terhadap diriku dan
aku telah berzina, saat ini aku ingin agar baginda
membersihkan saya! Kemudian Rasulullah Saw menyuruhnya
pulang. Pada keesokan harinya ia kembali berkata: wahai
Rasulullah Saw, aku telah berzina! Kemudian Rasulullah Saw
kembali menyuruhnya pulang. Dan pada kesempatan yang ketiga
Rasulullah Saw memerintahkan agar menggali sebuah lobang dan
merajamnya. Saat itu manusia mempunyai dua pendapat: satu
kelompok berpendapat: ia telah binasa, dan kesalahannya itu
menghancurkannya! Sementara pihak yang lain berkata: tidak
ada taubat yang lebih lurus dari taubatnya. Kemudian
Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya ia telah bertaubat dengan taubat yang jika dibagi kepada seluruh umat niscaya akan mencukupinya " [Hadits dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Buraidah bin Khashib]
Kemudian tentang qishash dan had qadzaf (menuduh zina
orang baik-baik), harus diteliti orang yang berhak atas had
itu.
Dan jika yang ia lakukan berkaitan dengan harta, seperti
melakukan ghashab, khianat atau menipu dalam berjual beli
dengan bermacam cara pengelabuan, seperti beriklan dengan
tidak benar, menutupi kekurangan barang yang ia jual,
mengurangi bayaran terhadap orang yang ia sewa atau tidak
memberikan uang lelahnya sama sekali... seluruh perkara itu
harus ia teliti kembali, tidak dari masa balighnya, tapi
dari awal keberadaannya di muka bumi. Maka jika ada suatu
kewajiban yang terdapat dalam harta seorang anak kecil, maka
saat baligh kewajiban itu harus ia tunaikan, jika orang yang
menjadi walinya tidak melaksanakannya.
Jika ia tidak menunaikannya maka ia menjadi orang yang
zalim dan terus harus menunaikannya. Karena dalam masalah
harta, hak orang dewasa dengan anak-anak adalah sama. Maka
ia harus menghitung hingga harta sekecil biji beras
sekalipun, dari semenjak awal kehidupannya hingga hari
taubatnya. Sebelum ia ditanyakan di hari kiamat nanti.
Hendaklah ia berdialog secara terbuka dengan dirinya sendiri
sebelum ia diteliti nanti. Siapa yang tidak memperhitungkan
dirinya di dunia, maka perhitungannya itu akan dijalankan di
akhirat.
Jika ia telah mencapai suatu pendapat yang kuat, disertai
semacam ijtihad sedapat mungkin, maka hendaklah ia
menulisnya, dan menulis orang-orang yang mempunyai hak
atasnya satu-persatu. Kemudian ia mencari mereka ke seluruh
penjuru dunia, dan meminta maaf serta meminta dihalalkan
oleh mereka, atau ia menunaikan hak-hak mereka. Taubat
seperti ini sulit untuk dilakukan oleh orang yang biasa
berlaku zhalim, juga bagi para pedagang, karena mereka tidak
dapat meminta maaf kepada seluruh orang yang berinteraksi
dengan mereka, juga kepada para ahli warisnya. Namun
masing-masing mereka dapat melakukan sejauh apa yang mereka
dapat kerjakan. Dan jika mereka tidak dapat melakukannya
maka tidak ada jalan lagi baginya, kecuali hanya dengan
memperbanyak kebaikan, hingga pada hari kiamat nanti
kebaikan itu dapat diambil oleh orang-orang yang ia zalimi.
Dan hendaknya kebaikannya itu sebanyak kezaliman yang telah
ia lakukan. Karena jika kebaikan itu tidak mencukupi untuk
membayar kezaliman yang telah ia lakukan, maka ia akan
dibebani dengan dosa orang-orang yang ia zalimi itu, maka ia
pun binasa karena keburukan orang lain itu!!
Inilah cara seluruh orang yang melakukan taubat dalam
mengembalikan kezaliman yang mereka kerjakan. Dan itu akan
menghabiskan seluruh usia mereka untuk melakukan kebaikan,
jika usianya memang panjang, sesuai dengan panjangnya masa
dan luasnya kezaliman mereka. Padahal ia tidak tahu kapan ia
mati? Dan barangkali ajalnya sudah dekat? Usaha keras dia
untuk melakukan kebaikan itu amat dituntut, karena waktu
yang ia miliki amat sempit, dibandingkan waktu saat ia
melakukan keburukan. Ini adalah hukum kezaliman yang masih
berada dalam tanggungannya.
Sedangkan harta yang saat ini ada di tangannya, hendaklah
ia kembalikan kepada pemiliknya, jika ia mengetahui siapa
pemiliknya. Dan jika ia tidak mengetahuui siapa pemiliknya,
maka hendaklah ia mensedekahkan harta itu. Jika yang halal
bercampur dengan yang haram, maka hendaklah ia mengetahui
kadar harta yang haram semampu dia. Kemudian mensedekahkan
jumlah itu seperti telah dijelaskan dalam buku al halal wa
al haram.
Sedangkan kesalahan menyakiti hati orang adalah dengan
meminta maat kepada orang yang ia sakiti atau ia bicarakan
keburukannya (ghibah). Hendaklah ia meminta maaf kepada
semua orang yang ia telah sakiti dengan lidahnya, atau ia
sakiti hatinya dengan suatu perbuatannya, secara satu
persatu. Sedangkan orang yang telah mati atau tidak ia
temukan, maka ia hanya dapat menutup kesalahannya kepada
mereka itu dengan memperbanyak kebaikan, dan nnantinya
kebaikan itu akan diambil sebagai ganti tindakan aniayanya
oleh orang yang ia aniaya tadi, pada hari kiamat. Sedangkan
orang yang dapat ia temukan, kemudian orang itu memaafkannya
dengan ridha, maka ia telah mendapatkan penghapus
kesalahannya. Dan ia harus memberitahukan kesalahan yang
telah ia lakukan kepadanya. Karena meminta maaf dari
kesalahan yang tidak jelas adalah tidak cukup. Karena kalau
ia tahu tindakan buruk dan aniaya yang ia lakukan kepadanya,
barangkali orang itu tidak akan memaafkannya. Dan ia akan
menyimpan itu pada hari kiamat, hingga nanti ia mengambil
kebaikan orang yang berbuat jahat kepadanya itu atau ia
nanti membebani kesalahannya.
Sedangkan kesalahan kepada orang lain yang jika ia
beritahukan akan membuat orang lain itu teraniaya, seperti
ia telah berzina dengan budaknya, atau keluarganya, atau ia
menyebutkan salah satu aibnya yang tersembunyi, yang akan
membuatnya amat marah, maka pintu untuk maaf kepadanya
baginya telah tertutup. Namun ia tetap harus mendapatkan
maafnya, dan kezaliman yang ia lakukan itu ia tebus dengan
amal kebaikan, seperti kezaliman terhadap orang yang telah
mati atau tidak ada.
Sedangkan jika ia menyebutnya dan mengakuinya, itu akan
menjadi keburukan baru yang harus ia mintakan maaf lagi.
Meskipun ia telah menyebutkan kesalahannya dan ia
mengakuinya kepada orang yang telah menjadi korbannya,
kemudian orang itu tidak memaafkannya maka ia tetap
menanggung kesalahan itu. Karena itu adalah haknya, dan ia
harus siap menghadapinya. Dan berusaha untuk menjalankan
kepentingan dan tujuannya. Serta menunjukkan cinta dan
sayang kepadanya, sehingga hatinya senang. Karena manusia
adalah hamba dari kebaikan. Orang yang lari dari keburukan
akan mendekat karena kebaikan. Dan jika hatinya telah senang
karena ia telah berusaha terus berbuat baik kepadanya, maka
dirinya dapat memaafkannya. Jika ia terus tidak memaafkan,
maka usaha berbaik-baik dengannya itu akan menjadi bagian
dari kebaikan yang mungkin dapat menebus kesalahannya pada
hari kiamat nanti. Dan usaha untuk berbuat baik dengannya
itu hendaklah sama dengan kadar usaha yang telah ia lakukan
untuk membuatnya teraniaya. Sehingga keduanya ditimbang, dan
keburukannya masih lebih banyak, maka Allah SWT akan
mengambil kebaikannya itu sebagai ganti keburukan pada hari
kiamat nanti. Seperti orang yang telah mencuri harta orang
lain, kemudian ia ingin mengganti dengna jumlah yang sama,
namun orang yang ia curi tidak mau menerima dan tidak pula
memaafkannya, maka hakim memutuskan baginya untuk menangkap
orang yang mencuri itu. Baik ia mau atau tidak. Begitu pula
hukum pada hari kiamat nanti oleh Allah Yang Mengadili dan
Yang Maha Adil.
Sedangkan tekad yang berkaitan dengan masa depan, adalah
ia berjanji kepada Allah SWT dengan janji yang kuat, serta
bersumpah dengan setinggi-tinggi sumpah, bahwa ia tidak akan
kembali menjalankan dosa itu atau sejenisnya. Seperti orang
yang tahu saat ia sakit bahwa apel akan membuat sakitnya
makin parah, maka ia bertekad untuk tidak memakan apel itu
selama ia sakit. Dan tekad itu ia pancangkan saat itu juga,
meskipun ia tahu bahwa ia dapat dikalahkan oleh syahwatnya
untuk memakannya. Namun orang tidak mungkin bertaubat jika
ia belum sepenuhnya bertekad saat itu juga [Ihya Ulumuddin:
juz 4 hal. 34-38, dengan sedikit peringkasan dalam
pengutipan]
Penjelasan al Ghazali tentang perkara yang berkaitan
dengan hak-hak hamba, secara global dapat diterima bersama.
Namun Ibnu Qayyim mempunyai penjelasan terperinci tentang
beberapa hal, seperti akan kami sebutkan nanti.
Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak Allah SWT, ada
pendapat lain berkaitan dengan shalat, dan qadhanya. Menurut
pendapat madzhab yang empat: harus diqadha shalat yang telah
ia tinggalkan itu, meskipun telah lewat puluhan tahun, ia
mengqadhanya sebanyak yang telah ia tinggalkan sepanjang
waktu itu.
Pendapat kedua mengatakan: shalat yang dapat diqadha
adalah shalat yang ia tinggalkan karena tidur atau terlupa
saja, seperti disebutkan dalam hadits sahih. Sedangkan
shalat yang sengaja ia tinggalkan, maka ia tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk mengqadhanya. Ia hanya dapat
menebusnya dengan memperbanyak shalat sunnah, menjalankan
shalat waktu dengan baik sesuai dengan yang disenangi Allah
SWT, dalam ruku', sujud dan khusyu'.
Pendapat ini melihat orang yang baru mulai shalat setelah
lama tidak mengerjakannya, seperti orang yang baru masuk
Islam. Ia memulai lembaran barunya dengan Allah SWT, dan
mengejar untuk melakukan perbuatan baik, serta dengan segera
mencapai ampunan Rabbnya dan surga yang seluas langit dan
bumi.
Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Dapat
dilihat pada juz 1 dari kitab "madarij Salikin" karya Ibnu
Qayyim. Ibnu Qayyim dan syeikhnya Ibnu Taymiah menguatkan
pendapat yang mengatakan tidak dapat diqadha. Dan pendapat
itu pula yang aku condong untuk memilihnya, bagi orang yang
telah telah menghabiskan usianya yang panjang namun ia tidak
pernah melakukan shalat.
Kemudian mari kita teliti sejenak tentang hak-hak
manusia.
Taubat Dari Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Manusia
Karena beratnya hak-hak manusia, dan biasanya ia terjadi
diiringi pertengkaran dan permusuhan, maka taubat dari dosa
ini dilakukan dengan dua cara: pertama ia mengembalikan hak
itu kepada orangnya, jika orang itu masih haidup, atau
kepada pewarisnya, jika ia telah mati. Cara kedua adalah
dengan meminta dihalalkan olehnya, setelah ia
memberitahukannya, jika itu adalah hak harta, aniaya atas
tubuhnya atau tubuh orang yang ia warisi. Seperti disabdakan
oleh Rasulullah Saw:
"Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada
saudaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini
hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak
berguna padanya dinar dan dirham, kecuali amal kebaikan
dengan tanggungan dosa keburukan. (Hadits diriwayatkan oleh
Bukhari)
Orang yang memegang hak harta orang lain, ia harus
mengembalikan harta itu kepada mereka, atau kepada ahli
warisnya. Jika ia tidak memiliki harta yang cukup untuk itu,
hendaklah ia berusaha untuk mencari gantinya, sepanjang
hidupnya, sesuai kemampuannya. Tiap kali ia mendapatkan
suatu harta, hendaklah ia segera membayarkan sebagian dari
kewajibannya itu. Setiap orang sesuai dengan haknya.
Barangsiapa yang menanggung hutang harta, kemudian ia
bertaubat dan menyesal dari perbuatannya itu, maka ia harus
mengembalikannya kepada para pemiliknya, atau kepada ahli
warisnya.
Kemudian, jika ia tidak mengetahui mereka, atau mereka
telah wafat, atau karena masalah lain, maka taubat dalam
kasus seperti ini berbeda aturannya:
Satu kelompok ulama berpendapat: tidak ada taubat
baginya, kecuali dengan mengembalikan kezaliman ini kepada
para pemiliknya. Jika ia tidak dapat melakukan itu maka
taubatnya pun tidak dapat ia raih. Dan nantinya pada hari
kiamat, menanti balasan dengan diambilnya kebaikannya untuk
menebus keburukannya itu. Tidak ada jalan lain.
Mereka berkata: ini adalah hak manusia yang tidak sampai
kepadanya. Dan Allah SWT tidak membiarkan satu hak hamba
untuk dilanggar oleh orang lain sedikitpun. Dan Dia
menyampaikan hak masing-masing orang kepada orang tersebut.
Dia sama sekali tidak membiarkan suatu kezaliman manusia
kepada manusia lain terjadi tanpa konsekwensi. Maka Dia akan
mengambil hak orang yang dizalimi dari orang yang
menzaliminya, meskipuin itu sebuah tamparan, kata-kata atau
satu lemparan batu.
Mereka berkata: tindakan yang paling mudah dilakukan
untuk menutupi kesalahannya itu adalah dengan memperbanyak
kebaikan, sehingga ia dapat membayar kejahatannya pada hari
kiamat nanti dengan kebaikannya itu. Dan tindakan yang
paling bermanfaat baginya adalah bersabar atas kezaliman dan
aniaya yang dilakukan orang lain kepadanya, serta ghibah dan
qadzaf (tuduhan zina) yang dilontarkan mereka kepadanya.
Hendaklah ia tidak meminta haknya dari mereka di dunia,
serta tidak menemuinya, sehingga musuhnya itu akan menutupi
kekurangan timbangannya nanti di akhirat, jika memang
kebaikannya telah habis. Karena jika ia akan diambil
kebaikannya untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan
kepada orang lain, maka iapun akan dibayarkan dari orang
lain atas kezaliman yang dilakukan mereka kepadanya.
Sehingga diharapkan itu dapat memenuhi kekurangannya, atau
malah akan menambah timbangannya.
Kemudian mereka berselisih pendapat tentang orang yang
memegang uang yang didapatkan dari hasil kezaliman.
Sekelompok ulama berkata: hendaknya ia tetap menyimpan
uang itu, dan tidak boleh menggunakannya sama sekali.
Sekelompok ulama yang lain berkata: hendaknya ia berikan
uang tersebut kepada imam atau pejabat yang berwenang,
karena ia adalah wakil dari rakyatnya, sehingga ia
menyimpankannya untuk mereka. Dan hukum harta itu menjadi
harta yang ditemukan dijalan (luqathah).
Sementara sekelompok ulama yang lain berkata: pintu
taubat masih terbuka bagi orang ini, dan tidak ditutup oleh
Allah SWT baginya serta bagi orang yang berdosa. Taubat
orang ini adalah dengan mensedekahkan harta itu kepada
orang-orang yang berhak, seperti kepada para fakir-miskin,
orang-orang yang membutuhkan, lembaga-lembaga sosial, dan
untuk kepentingan kaum muslimin.
Di antaranya adalah untuk: pasukan jihad fi sabilillah
dan pusat-pusat dakwah. Jika nanti datang hari pembalasan
hak-hak, maka para pemilik uang dapat memilih antara
memaafkan apa yang diperbuatnya itu, dan pahala sedekah itu
untuk mereka. Atau mereka tidak memaafkannya, sehingga
mereka mengambil dari kebaikannya menurut jumlah uang
mereka, dan pahala sedekah itu untuknya sendiri. Karena
Allah SWT tidak membatalkan pahala sadaqahnya itu. Dan Allah
SWT tidak menyatukan antara pengganti dan yang digantikan.
Kemudian dimintakan kepadanya, dan Allah SWT menjadikan
pahala sedekah itu bagi mereka, atau juga dengan mengambil
dari kebaikannya sesuai dengan kadarnya untuk diberikan
kepada orang yang pernah dizhaliminya itu.
Ibnu Qayyim berkata:
Ini adalah mazhab sekelompok shahabat, seperti diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah dan Hajjaj bin Sya'ir.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud membeli seorang hamba
sahaya wanita dari seseorang, kemudian ia masuk untuk
menimbang harganya, namun ketika ia kembali pemilik budak
itu telah pergi, dan iapun menunggunya hingga ia lemas
menunggu, maka iapun mensadaqahkan harga itu dan berkata: ya
Allah, sadaqah ini bagi pemilik hamba sahaya ini, jika ia
merelakannya maka pahala sadaqah itu untuk saya, dan jika ia
tidak rela maka pahalanya untuk saya, dan ia dapat mengambil
dari kebaikan saya sesuai dengan haknya.
Seorang laki-laki telah berlaku curang terhadap ghanimah,
kemudian ia bertaubat, dan membawa ghanimah yang telah ia
curi itu kepada kepala tentara, namun ia menolak untuk
menerimanya, dan berkata: "bagaimana aku dapat
menyampaikannya kepada seluruh tentara itu, padahal mereka
telah berpencar dan pulang ke rumah masing-masing?" Kemudian
orang itu mendatangi Hajjaj bin Sya'ir, dan ia pun berkata
kepadanya: "Hai bung, sesungguhnya Allah SWT mengetahui
tentara itu serta nama mereka dan keturunan mereka. Maka
berikanlah seperlima harta itu kepada orang-orang yang
berhak atasnya, kemudain sedekahkan sisanya dan pahalanya
diniatkan untuk mereka, karena Allah SWT akan menyampaikan
itu kepada mereka", dan orang itupun melakukan nasehat itu.
Ketika Mu'awiyah diberitahukan tentang hal itu ia berkata:
"aku berfatwa dengan fatwa itu lebih aku senangi dari pada
setengah kerajaanku!"
Mereka berkata: demikian juga halnya dengan barang temuan
jika tidak ditemukan pemiliknya, setelah diumumkan,
sementara ia tidak ingin memilikinya, maka ia dapat
mensedekahkannya, dan jika kemudian datang pemiliknya ia
dapat memberikan pilihan antara mendapatkan pahalanya atau
diganti.
Mereka berkata: hal ini karena, dalam syari'ah, orang
yang tidak diketahui dianggap seperti orang yang tidak ada.
Jika pemiliknya tidak ada maka itu seperti tidak ada
pemiliknya. Ini berkaitan dengan harta yang tidak diketahui
siapa pemiliknya dengan pasti. Sementara harta itu tidak
boleh disia-siakan. Karena itu akan menciptakan mudarat bagi
pemiliknya, para fakir-miksin, dan orang yang berada dalam
tanggungannya. Bagi pemiliknya, itu akan membuat mudarat
baginya karena manfaatnya tidak sampai kepadanya. Demikian
juga bagi para fakir miskin. Sedangkan bagi orang yang
berada dalam tanggungannya: karena ia tidak dapat
membebaskannya dari dosanya, sehingga ia dituntut diakhirat
tanpa mengambil manfaat darinya, dan itu tidak dibenarkan
oleh syari'ah, apalagi sampai memerintahkannya dan
mewajibkannya. Karena syari'ah berdasarkan pada
"menghasilkan" kemaslahatan sedapat mungkin dan
menyempurnakannya. Serta menahan kemafsadatan sedapat dan
sedikit mungkin. Dengan menyia-nyiakan uang itu, tidak
memanfaatkannya dan melarang orang untuk mempergunakannya
adalah kemafsadatan yang jelas, dan tidak ada kemaslahatan
sama sekali.
Seperti diketahui sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Qayyim orang yang tidak mendapatkan hartanya yang
seharusnya menjadi miliknya di dunia, tentu ia akan amat
senang ketika mendapatkan manfaat dari hartanya itu di
akhirat. Tentu ia akan amat tidak senang jika ia kemudian
tidak dapat memanfaatkan hartanya itu di dunia dan akhirat.
Jika pahala hartanya itu sampai di akhirat, tentu
kebahagiaannya akan lebih dari pada kebahagiaannya saat
mendapatkannya di dunia. Maka mengapa ada yang berpendapat:
maslahat tidak mempergunakan harta ini bagi orang yang
telah meninggal, orang-orang miskin dan orang-orang yang
berada dalam tanggungannya lebih besar dari maslahat
menginfakkannya secara syar'i? Bahkan apa maslahatnya bagi
agama atau dunia dalam penyia-nyiaan harta tersebut?
Bukankah tindakan penyia-nyiaan itu semata suatu
kemafsadatan?
Ibnu Taimiah pernah ditanya seorang tua: "aku lari dari
tuanku saat aku berusia kecil, dan hingga saat ini aku tidak
mendengar khabarnya lagi. Aku adalah seorang hamba sahaya,
dan takut terhadap azab Allah SWT atas perbuatanku itu. Aku
ingin terbebas dari hak tuanku atas diriku. Aku telah
bertanya kepada sekelompok mufti, dan mereka berkata
kepadaku: pergilah dan duduklah di gudang!" Mendengar hal
itu Ibnu Taimiah tertawa dan berkata: "hendaklah engkau
bersedekah --sebisa dan sedapat mungkin -- dan pahalanya
untuk tuanmu itu, dan engkau tidak perlu ke gudang, duduk
tanpa menghasilkan manfaat, serta memberi mudarat bagi
engkau, serta menghalangi maslahat engkau. Sedangkan tuanmu
juga tidak mendapatkan manfaat dari tindakanmu berdiam di
gudang itu, juga tidak bagimu dan bagi kaum muslimin.
Wallahu a'lam." (Lihat: Madarij as Salikin: 1/387 - 390).
Masalah ketiga: jika ia memperoleh uang dari orang lain
dengan cara yang haram, dan saat itu ia memegang uang
tersebut -&endash;seperti uang yang didapatkan oleh seorang
pelacur dari langganannya, seorang penyanyi dari hasil
nyanyiannya, penjual khamar dari pembelinya, orang yang
memberikan saksi palsu dari penyogoknya, dan semacamnya kemudian ia taubat, dan uang yang ia dapatkan dengan cara
haram itu masih berada pada dirinya; kemana seharusnya ia
berikan uang tersebut?
Satu kelompok ulama berkata: uang agar dikembalikan
kepada orang yang memberikannya semula, karena itu memang
hartanya, dan ia tidak dapat memilikinya dengan izin dari
Allah SWT, dan pemberinya pun tidak mendapatkan manfaat yang
halal dari uang yang ia berikan itu.
Satu kelompok ulama lainnya berkata: taubatnya adalah
dengan bersedekah dengan harta itu, dan ia tidak
memberikannya kepada orang yang telah memberikannya.
Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh syeikh
IbnuTaimiah, dan itu adalah pendapat yang paling bagus.
Karena jika ia tetap memegangnya, seharusnya uang itu ia
dapatkan dari pemberinya sebagai pemberian tanpa pamrih dan
suka rela, bukan sebagai pembayaran sesuatu yang haram.
Lantas bagaimana mungkin ia mengembalikan uang itu kepada si
pemberinya, yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang itu
untuk bermaksiat kepada Allah SWT, dan mengembalikannya
uangnya itu kepadanya akan membantunya untuk melakukannya
untuk kedua dan ketiga kalinya? Bukankah itu berarti
membantunya untuk melakukan dosa dan pelanggaran syari'at?
Apakah sesuai dengan kebaikan syari'at jika: para pelacur
diperintahkan untuk mengembalikan seluruh penghasilannya
yang ia dapatkan dari pelacuran kepada para lelaki hidung
belang yang pernah mengajaknya tidur dan membayarnya, dan si
hidung belang diperbolehkan untuk mengambil kembali uang itu
dari si pelacur dengan cara baik-baik maupun paksaan?
Katakanlah harta itu tidak dimiliki orang yang
mengambilnya, namun kepemilikan si pemiliknya yang pertama
telah hilang ketika ia memberikannya kepada orang yang
bertransaksi dengannya secara haram itu, dan ia pun sudah
mendapatkan apa yang ditransaksikan itu. Lantas bagaimana
mungkin setelah itu ada yang mengatakan bahwa kepemilikkan
si orang pertama itu masih tetap ada dalam harta itu, dan
uang itu harus dikembalikan kepadanya? Ini berbeda halnya
jika ia mensedekahkan uang tersebut. Karena ia mendapatkan
uang itu dari pemiliknya dengan suka rela, dan pemiliknya
itu pun bisa tidak keberatan jika uang itu kemudian ia
sedekahkan, dan tidak dikembalikan kepadanya. Dengan
demikian, dalam kasus seperti ini, cara yang paling benar
adalah: agar harta tersebut dipergunakan untuk suatu
kemaslahatan yang dapat diambil manfaatnya oleh orang yang
memegangnya, dan dapat mengurangi dosanya, yakni dengan
mensedekahkannya, dan tidak digunakan untuk membantu si
pembuat dosa untuk melakukan perbuatan dosanya. Dengan
begitu, berarti ia telah mencapai dua kemaslahatan
sekaligus.
Demikianlah taubat orang yang hartanya bercampur antara
yang halal dan haram, yang keduanya tidak dapat ia bedakan:
yaitu dengan mensedekahkan kadar harta yang haram yang
berada padanya, dan menggunakan harta sisanya yang halal
untuk dirinya.
Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar