Kesempurnaan Taubat dan Kontinuitasnya.
Imam al Ghazali berkata:
Telah kami katakan sebelumnya bahwa taubat adalah suatu penyesalan yang membawa kepada tekad dan keinginan kuat untuk tidak melakukan dosa lagi. Dan penyesalan itu dihasilkan oleh ilmu atau pengetahuan bahwa kemaksiatan yang ia lakukan itu menjadi penghalang antara dia dengan yang dicintainya. Dan seluruh pengetahuan, penyesalan dan tekad itu harus terus dipertahankan dan dengan sempurna pula. Tentang kesempurnaan dan kontinuitasnya itu ada tanda-tandanya. Oleh karena itu harus dijelaskan.
Sedangkan ilmu pengatahuan itu, didapatkan dengan
memperhatikan sebab taubat yang akan kami jelaskan nanti. Penyesalan adalah sesuatu yang menyakitkan hati ketika
menyadari kehilangan yang ia senangi. Tanda-tandanya adalah
terus merasa menyesal dan sedih, air mata berlinang dan
terus menangis dan merenung. Jika suatu ketika ia mendengar
vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada anaknya atau
salah seorang yang ia cintai, niscaya ia akan merasakan
kepedihan dan tangis yang mendalam. Kemudian, siapa lagi
yang lebih ia cintai selain dirinya sendiri? Dan hukuman apa
lagi yang lebih berat dari neraka? Tanda apa lagi yang lebih
menunjukkan akan turunnya hukuman itu selain kemaksiatan
yang ia lakukan? Serta siapa lagi yang lebih benar dari
Allah SWT dan Rasul-Nya dalam memberikan berita? Jika
seorang dokter memberitahukannya: bahwa penyakit anaknya
adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan ia akan
mati karena sakitnya itu, tentunya ia akan segera merasakan
kesedihan yang sangat. Walaupun anaknya itu tidak ia cintai
lebih dari dirinya sendiri. Dan tidak ada dokter yang lebih
tahu dan ahli dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Serta
kematianpun tidak lebih pedih dari neraka. Juga sakit itu
tidak lebih valid menunjukkan akan kematian daripada
kemaksiatan yang menunjukkan akan kemurkaan Allah SWT, dan
yang akan menyeretnya ke neraka. Penyesalan itu, selama
dirasakan lebih keras, maka dosanya itu lebih mempunyai
harapan untuk diampuni. Tanda kesungguhan penyesalan itu
adalah: hati yang menjadi peka, serta air mata yang deras
mengalir. Dalam atsar disebutkan:
"Bertemanlah dengan orang-orang yang suka bertaubat, karena mereka mempunyai hati yang paling halus".
Dan di antara tanda-tandanya adalah: kepedihan dosa itu
menempati perasaan kenikmatan melaksanakan dosa dalam hati.
Sehingga kecenderungan untuk bermaksiat itu akan menjadi
kebencian terhadapnya, serta keinginan itu menjadi
penghindaran. Dalam Israiliat dikatakan: bahwa Allah SWT
berfirman kepada sebagian nabi-Nya. Ia meminta kepada Allah
SWT untuk mengabulkan taubat seorang hamba, setelah ia
selama beberapa tahun beribadah dengan khusyu', namun
taubatnya tak kunjung diterima. Dan Allah SWT berfirman:
"demi kemuliaan dan keagungan-Ku, meskipun seluruh penghuni
langit dan bumi meminta agar Aku terima taubatnya, niscaya
tidak akan Aku penuhi, selama perasaan kenikmatan melakukan
dosa dalam hatinya masih bersemayam." Sedangkan keinginan
yang timbul darinya itu, adalah keinginan untuk menebus apa
yang telah ia langgar. Dan ia mempunyai hubungan dengan
keadaan saat ini, yaitu ia harus meninggalkan seluruhnya apa
yang dilarang yang masih ia lakukan, serta melakukan seluruh
kewajiban yang menjadi kewajibannya, secepatnya. Ia juga
mempunyai kaitan dengan masa lalu, yaitu menebus apa yang
telah ia langgar. Sedangkan bagi masa depannya, ia harus
dalam ketaatan, serta selalu meninggalkan kemaksiatan hingga
akhir hayatnya.
Menyelesaikan Hak-hak Allah SWT.
Jika ia pernah meninggalkan shalat atau tidak melengkapi suatu syarat keabsahan shalat itu, hendaklah ia mengqadha shalatnya itu. Dan jika ia ragu bilangan shalat yang telah ia tinggalkan, maka ia dapat menghitung dari masa balighnya, kemudian menghitung yang yang telah ia tunaikan, dan mengqadha sisa shalat yang pernah ia tinggalkan. Dalam hal ini hendaknya ia mengambil prasangka kuatnya. Dan itu dapat dicapai dengan betul-betul meneliti dengan serius.
Sedangkan puasa, jika ia telah meninggalkan puasa itu dalam perjalanan atau saat ia sakit. Atau jika perempuan, ia membatalkan puasanya karena mengalami haidh (atau nifas) dan belum ia tunaikan, maka hendaknya ia menghitung jumlah yang telah ia tinggalkan itu dengan betul-betul, kemudian mengqadhanya. Tentang zakat, hendaknya ia menghitung seluruh hartanya dan bilangan tahun dia mulai memiliki harta itu tidak dari masa balighnya, karena zakat itu telah wajib semenjak dimilikinya harta itu, meskipun orang itu adalah seorang bayi [Ini adalah pendapat jumhur imam-imam dan ini pula yang aku rajihkan dalam kitabku: Fiqhu Zakat.] kemudian ia menunaikan apa yang ia yakini sebagai kewajibannya.
Sedangkan masalah hajji, jika ia pernah memiliki kemampuan untuk menunaikan hajji itu dalam beberapa tahun yang lalu, namun saat itu ia tidak mengerjakannya, sedangkan saat ini ia tidak memiliki harta yang cukup, maka ia tetap harus mengerjakannya. Jika ia tidak mampu karena hartanya memang sudah habis, maka harus mengusahakannya dengan usaha yang halal sekadar biaya hajji itu. Jika ia tidak memiliki pekerjaan, juga harta, maka ia hendaknya meminta kepada manusia agar memberikan jatah dari zakat atau shadaqah sehingga ia dapat menunaikan hajji. Dan jika ia mati sebelum melaksanakan hajji maka ia mati dalam keadaan maksiat. Karena ketidak mampuan yang datang setelah adanya kemampuan untuk hajji itu, tidak menghapus kewajiban hajji baginya. Inilah cara ia meneliti kewajiban yang menjadi tugasnya serta bagaimana menebusnya.
Tentang kemaksiatan, ia harus meneliti dari awal balighnya: kemaksiatan apa yang dilakukan oleh pendengarannya, matanya, lidahnya, perutnya, tangannya, kakinya, kemaluannya, dan seluruh anggota badannya. Kemudian ia teliti seluruh jam dan waktu-waktu yang telah ia lewati, kemudian ia menguraikan secara terperinci kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Baik yang kecil maupun yang besar.
Kemudian di antara kemaksiatan yang dia lakukan itu, ia menelitinya kembali; jika kemaksiatan yang ia lakukan itu adalah antara dia dan Allah SWT saja serta tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia, seperti melihat wanita bukan mahram, duduk di masjid dalam keadaan junub, menyentuh mushaf tidak dengan wudhu, beri'tiqad dengan i'tiqad bid'ah, meminum khamar, mendengarkan perkataan yang buruk dan lainnya yang tidak berkaitan dengan kezhaliman kepada manusia; Taubat untuk kemaksiatan ini adalah dengan menyesal dan merasa rugi atas perbuatannya itu, dan dengan mengukur kadar kebesaran dan masa yang telah ia lakukan, kemudian ia melakukan bagi setiap kemaksiatan itu suatu kebaikan yang setarap dengannya. Dan ia melakukan kebaikan itu sesuai dengan jumlah kemaksiatan yang telah ia lakukan. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
"Bertaqwalah kepada Allah SWT di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk (dosa) dengan perbuatan yang baik niscaya ia akan menghapusnya" [Hadits diriwaytkan oleh Tirmizi dari Abi Dzar dan ia mensahihkannya dan sebelumnya hadits ini telah disebut.]Juga firman Allah SWT :
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk"[QS. Huud: 114.].Dosa mendengar sesuatu yang haram, dapat dihapuskan dengan mendengarkan al Qur'an dan majlis dzikir. Dosa duduk di mesjid dalam keadaan junub dihapuskan dengan beri'tikaf di dalamnya sambil beribadah. Dosa menyentuh mushaf dengn tanpa wudhu ditebus dengan memuliakan mushaf dan banyak membacanya. Juga dengan menulis mushaf dan memberikan wakaf mushaf. Dosa meminum khamar ditebus dengan bersadaqah dengan minuman yang halal yang lebih baik dan lebih ia sukai.
Menyebutkan seluruh kemaksiatan adalah tidak mungkin di sini. Namun yang dimaksud adalah mengerjakan kebaikan yang sebaliknya dengan dosa itu. Karena suatu sakit diobati dengan lawannya. Dan suatu kegelapan yang bercokol dalam hati karena kemaksiatan yang ia kerjakan tidak dapat dihapus kecuali oleh cahaya yang naik ke hati itu dengan kebaikan yang sebaliknya. Dan yang sebaliknya itu adalah lawan yang sejajar keburukan itu. Oleh karena itu, setiap keburukan harus dihapuskan dengan kebaikan yang sejenisnya, namun yang sebaliknya.
Karena sesuatu yang putih dihilangkan dengan warna hitam, bukan dengan dingin atau panas. Cara seperti ini, jika dilaksanakan dengan tekun untuk menghapus dosa, maka akan mempunyai kesempatan besar untuk berhasil. Dibandingkan hanya menekuni satu macam bentuk ibadah tertentu, meskipun itu juga dapat turut menghapus dosamya. Ini adalah hukum antara dia dengan Allah SWT. Sebagai dalil bahwa sesuatu dihapuskan dengan lawannya adalah: cinta dunia adalah pangkal seluruh kesalahan. Dan pengaruh cinta dunia dalam hati adalah: menyenangi dunia itu serta merindukannya. Maka tidak aneh jika suatu kesulitan yang membebani seorang muslim sehingga hatinya membenci dunia, menjadi kaffarat (penghapus) cinta dunia itu. Karena dengan kesulitan dan kesusahan itu hatinya akan menjauh dari dunia.
0 komentar:
Posting Komentar