Sepeka Apa Iman Anda?
Iman memiliki kepekaan yang bisa disebut dengan kepekaan iman/imani (al-hasasiyyah al-imaniyyah),
yang merupakan salah satu parameter utama tingkat dan kualitas iman
seseorang. Sehingga sejauh mana tingkat dan kualitas iman kita, bisa
dilihat dan diketahui dari tingkat dan kualitas kepekaan serta
sensitivitasnya. Dan kepekaan atau sensitivitas iman itu memiliki
tanda-tanda antara lain sebagai berikut:
- Muraqabatullah (kesadaran akan pengawasan Allah) sampai derajat ihsan seperti dalam hadits Jibril ‘alaihissalam, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ” (الحديث، رواه مسلم).
“(Derajat ihsan) adalah
hendaknya kamu beribadah kepada Allah, (dengan sikap) seakan-akan kamu
melihat-Nya. Dan meskipun kamu tidak bisa benar-benar melihat-Nya
(karena memang tidak mungkin di dunia ini), maka (ketahui dan yakinilah)
bahwa, Dia selalu melihatmu” (HR. Muslim dari Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu).
“Maka tetap istiqamahlah kamu,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Huud: 112).
Dan Katakanlah: “Beramallah
kamu, maka Allah akan melihat amalmu, begitu pula Rasul-Nya dan
orang-orang mukmin. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa-apa yang telah kamu amalkan (di dunia)” (QS. At-Taubah: 105)..
- Kuat dan dominannya orientasi ukhrawi (orientasi pada kehidupan akhirat) dalam diri, aktifitas dan kehidupan seseorang.
“Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan
berbuat baiklah sebagaimana Allah elah berbuat baik kepadamu, serta
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Qashash: 77).
عَنْ شَدَّادِ بْنِ
أَوْسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال:َ
“الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ”
(رواه الترمذي وابن ماجة وأحمد، وقَالَ الترمذي: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ).
Dari Syaddad bin Aus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
beliau bersabda: “Orang yang cerdas adalah orang yang selalu
mengevaluasi dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan
orang yang lemah (bodoh) adalah orang memperturutkan hawa nafsunya dan
berangan-angan (kosong) kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ahmad. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan).
- Rasa kepekaan yang baik terhadap masalah halal, haram, syubhat dan semacamnya, dalam hal apa saja yang terkait dengan diri dan kehidupan setiap kita.
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ
بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ
إِلَى أُذُنَيْهِ: “إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ
وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ
الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى
أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ
مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ” (متفق عليه).
Dari An Nu’man bin Basyir dia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda -Nu’man sambil menujukkan dengan dua jarinya kearah
telinganya-: “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram
telah nyata pula. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas
(syubhat), yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka barangsiapa
menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan (syubhat),
selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi siapa yang terjatuh dalam
perkara syubhat, maka sama saja ia terjatuh dalam keharaman. Tak ubahnya
seperti gembala yang menggembala di sekitar batas terlarang,
dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja
itu memiliki larangan, dan larangan Allah adalah sesuatu yang
diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa dalam setiap tubuh manusia terdapat
segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh
tubuhnya, namun jika segumpal daging tersebut rusak, maka rusaklah
seluruh tubuhnya. Ketahuilah, gumpalan darah itu adalah hati.” (HR.
Muttafaq ‘alaih).
- Merasa peka terhadap kecemburuan, kemarahan dan murka Allah ketika pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat-Nya terjadi.
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ
أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ
وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ” (متفق عليه).
Dari Abu Salamah bahwa ia mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah itu cemburu. Dan kecemburuan
Allah datang bilamana seorang mukmin melakukan hal yang diharamkan
Allah.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
- Merasa senang, lega dan bahagia dengan setiap kebaikan dan ketaatan yang dilakukan olehnya atau oleh orang lain. Dan sebaliknya merasa sedih, kecewa dan marah terhadap setiap keburukan dan kemaksiatan yang diperbuat olehnya atau oleh orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ، وَ سَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ”
”Barangsiapa bersenang hati
dengan amal kebaikannya, dan bersedih hati dengan keburukan yang
diperbuatnya, maka berarti dia adalah seorang mukmin” (HSR
Ath-Thabrani).
- Tidak meremehkan perbuatan dosa termasuk dosa-dosa kecil. Melainkan merasa dan menganggap setiap dosa, sekecil apapun, sebagai beban yang berat dan sesuatu yang menakutkan baginya. Para ulama salaf berkata:
لا تَنْظُرْ إِلَى صِغَرِ المَعْصِيَةِ، ولَكِنِ انْظُرْ إِلَى عِظَمِ مَنْ عَصَيْتَ !
(Jika mau bermaksiat)
janganlah kamu melihat pada kecilnya maksiat (andaipun ia maksiat dan
dosa kecil), namun lihat dan ingatlah akan kebesaran dan keagungan Dzat
yang kamu maksiati (durhakai), yakni Allah ‘Azza wa Jalla.
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallah ‘anhu berkata:
إنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ
كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ قَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ
“Sesungguhnya seorang mukmin
itu melihat dosa-dosanya, seolah-olah ia berada di kaki gunung, yang ia
khawatirkan akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang fajir
(pendurhaka), sebaliknya, melihat dosa-dosanya tak lebih ibarat seekor
lalat yang hinggap di hidungnya, dimana ia cukup berbuat begini saja
(mengibaskan tangannya), lalu iapun terbang” (Riwayat Al-Bukhari,
At-Tirmidzi dan Ahmad).
- Peka dalam menangkap hasil dan pengaruh positif dari setiap ketaatan dan kebaikan, serta dampak dan akibat negatif dari setiap keburukan dan kemaksiatan. Karena kaidahnya bahwa, apapun yang terjadi dalam kehidupan kita, baik dan buruk, kecil dan besar, adalah sangat terkait erat dengan prilaku dan amal kita, yang berupa ketaatan dan kemaksiatan. Serta berhubungan langsung dengan bentuk dan tingkat hubungan kita dengan Allah. Hanya saja kebanyakan orang tidak cukup peka dalam menangkap dan menyadari hal itu!
Salah seorang ulama salaf berkata:
إِذَا أَذْنَبْتُ ذَنْبًا، فَإِنِّي أَرَى أَثَرَ ذلِكَ عَلَى سُلُوكِ أَهْلِي وَدَابَّتِي.
Jika aku membuat suatu dosa,
maka sungguh aku bisa (langsung) melihat pengaruh dan dampak buruknya
terhadap prilaku keluargaku dan bahkan hewan tungganganku!
- Cepat sadar dan segera bertaubat serta beristighfar saat terpeleset ke dalam perbuatan maksiat dan prilaku dosa serta tindak nista.
“Dan (termasuk golongan kaum
muttaqin juga) orang-orang yang apabila (terlanjur) mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri (dengan berbuat maksiat),
mereka segera ingat Allah, lalu (segera pula) memohon ampun atas
dosa-dosa mereka – dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari
pada Allah? – dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui” (QS. Ali ‘Imraan: 135).
- Merasakan pengaruh di hati dan jiwa (adz-dzauq al-imani al-qalbi), berupa rasa nikmat dan lezat dari ibadah-ibadah shalat, dzikir, doa, tilawatul-Qur’an, dan lainnya. Seperti misalnya hati yang bergetar, rasa khusyuk dan tenang, menangis karena rasa khasy-yah (takut) kepada Allah, dan lain-lain.
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal” (QS.
Al-Anfaal: 2).
Dan salah satu dari tujuh golongan orang yang akan mendapatkan naungan Allah di Hari Kiamat adalah:
“وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ” (الحديث، متفق عليه).
” Serta seorang yang berdzikir
kepada Allah dalam khalwatnya (secara menyendiri) hingga kedua matanya
basah karena menangis.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
- Peka dalam membedakan antara suara hati nurani dan bisikan hawa nafsu.
عَنْ وَابِصَةَ
الْأَسَدِيِّ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ لَا أَدَعَ شَيْئًا مِنْ الْبِرِّ
وَالْإِثْمِ إِلَّا سَأَلْتُهُ عَنْهُ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ
الْمُسْلِمِينَ يَسْتَفْتُونَهُ فَجَعَلْتُ أَتَخَطَّاهُمْ قَالُوا
إِلَيْكَ يَا وَابِصَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قُلْتُ دَعُونِي فَأَدْنُوَ مِنْهُ فَإِنَّهُ أَحَبُّ النَّاسِ
إِلَيَّ أَنْ أَدْنُوَ مِنْهُ قَالَ: “دَعُوا وَابِصَةَ ادْنُ يَا
وَابِصَةُ” مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ فَدَنَوْتُ مِنْهُ حَتَّى
قَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَقَالَ: “يَا وَابِصَةُ أُخْبِرُكَ أَوْ
تَسْأَلُنِي” قُلْتُ لَا بَلْ أَخْبِرْنِي فَقَالَ: “جِئْتَ تَسْأَلُنِي
عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ” فَقَالَ: نَعَمْ فَجَمَعَ أَنَامِلَهُ فَجَعَلَ
يَنْكُتُ بِهِنَّ فِي صَدْرِي وَيَقُولُ: “يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ
قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ
إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي
الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ” (رواه أحمد والدارمي).
Dari Wabishah Al Asadi. ia berkata: Saya datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
dan saya ingin agar tidak ada kebajikan atau keburukan kecuali aku
harus menanyakannya pada beliau. Dan pada saat itu di sekeliling beliau
banyak kaum muslimin yang sedang meminta nasehat kepada beliau. Maka aku
pun nekat melangkahi mereka hingga orang-orang itu berkata: Wahai Wabishah, menjauhlah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
menjauhlah wahai Wabishah! Saya berkata: Biarkan saya mendekat kepada
beliau. Karena beliau adalah orang yang paling saya cintai dan sukai
untuk saya dekati. Maka beliau pun berkata: “Biarkan Wabisah mendekat.
Mendekatlah wahai Wabishah.” Beliau mengatakannya dua atau tiga kali.
Wabishah berkata: Saya pun mendekat kepada beliau hingga saya duduk di
hadapannya. Kemudian beliau bertanya: “Wahai Wabisah, aku beritahukan
kepadamu atau kamu yang akan bertanya padaku?” saya menjawab: Tidak,
akan tetapi beritahukanlah padaku. Beliau lantas bersabda: “Kamu datang
untuk bertanya mengenai kebajikan dan keburukan (dosa)?” Saya menjawab:
Benar. Beliau kemudian menyatukan jari-jari beliau seraya menekannya ke
dadaku. Setelah itu beliau bersabda: “Wahai Wabishah, mintalah petunjuk
pada hati dan jiwamu -beliau mengulanginya tiga kali-. Kebajikan itu
adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menentramkan jiwa. Sedangkan
keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada,
meskipun manusia memberimu fatwa dan membenarkanmu.” (HR. Ahmad dan
Ad-Darimi).
عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ
سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ: “الْبِرُّ حُسْنُ
الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ
عَلَيْهِ النَّاسُ” (رواه مسلم).
Dari An-Nawwas bin Sam’an Al Anshari dia berkata; “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tentang arti kebajikan dan dosa. Sabda beliau: “Kebajikan itu ialah
budi pekerti yang baik. Sedangkan dosa ialah sesuatu yang yang bergumul
di dadamu (dan menyesakkannya), dan yang engkau sendiri tidak suka
(tidak ingin) jika hal itu diketahui orang lain.” (HR. Muslim).
- Peka dalam menyadari dan merasakan nikmat-nikmat Allah, khususnya yang jarang disadari oleh kebanyakan orang, yang akan mendorong seseorang untuk senantiasa meningkatkan syukurnya kepada Allah Ta’ala, serta merasa malu terhadap-Nya, lalu terhadap dirinya sendiri dan orang lain, demi menyadari betapa tidak sebandingnya antara besar, berlimpah dan tak terhitungnya nikmat-nikmat Allah, dan antara minim, sedikit dan amat terbatasnya bukti syukur yang ia tunaikan!
“Dan Dia telah memberikan
kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya..
Dan jika kamu (hendak) menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat
kufur (mengingkari nikmat Allah)” (QS. Ibrahim: 34)..
“Dan jika kamu (hendak)
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. A-Nahl: 18).
0 komentar:
Posting Komentar