Kebenaran Yang Bisu Bukanlah Kebenaran
Suatu saat, tatkala Rasulullah Saw hijrah ke Madinah, salah seorang
sahabat Rasul, Abu Dzar Al Ghifari menghadap Rasul dengan membawa
rombongan orang-orang dari Ghifar dan Aslam yang sudah masuk Islam.
Digambarkan karena begitu sangat banyaknya, jika saja orang melihat
mungkin mereka mengira yang dilihatnya adalah pasukan orang-orang
musyrikin, ternyata yang memimpin rombongan tersebut adalah Abu Dzar.
Melihat kehadiran rombongan yang dipimpin Abu Dzar, Rasul pun
menyambut mereka dengan menyatakan: “Suku Ghifar telah diampuni oleh
Allah” dan “Suku Aslam telah diberi keselamatan dan kesejahteraan oleh
Allah”. Sedangkan secara khusus kepada Abu Dzar, Rasul Saw menyatakan:
“Tidak
akan pernah diketemukan di kolong langit ini seorang manusia yang
sangat benar ucapannya, sangat tajam dan sangat tegas dalam hal
mengucapkan kebenaran kecuali Abu Dzar”.
Jika Rasul Saw yang menyatakan hal tersebut, tentu merupakan jaminan
kebenaran apa yang telah dinyatakannya. Pertanyaannya, kenapa Rasul
harus menyatakan demikian secara khusus kepada Abu Dzar? Jawabnya, tidak
lain karena Abu Dzar memiliki prinsip bahwa: “Kebenaran itu tidak boleh bisu, kebenaran yang bisu bukanlah sebuah kebenaran”.
Diakui atau tidak, prinsip yang telah teguh dijadikan prinsip hidup
sosok sahabat Rasul yang satu ini, kini, sudah mulai pudar, lentur dan
luntur oleh sebagian para penegak kebenaran seiring kehidupan yang
hedonisme yang telah mengelilinginya. Padahal, menurut Abu Dzar,
kebenaran harus berbicara, tampak dan dinyatakan serta tidak boleh
dipendam.
Hal ini merupakan sebuah pelajaran berharga bagi kita, karena saat
ini tidak sedikit mereka yang membisu untuk menyatakan kebenaran,
sehingga fungsi Al Qur’an sebagai Al Furqon (pembeda) mana yang haq dan
mana yang bathil (QS. Al Baqarah,2:185) kini sudah sangat kabur karena
bisunya orang-orang yang berilmu untuk menyatakan kebenaran.
Bagi Abu Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran, kebenaran itu
harus terungkap walaupun untuk mengungkapkan kebenaran itu beliau harus
menebusnya dengan nyawa sekalipun. Wahai, para penegak kebenaran,
siapkah menyatakan, "yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil" dengan
siap menerima berbagai macam risikonya?
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar