Cinta Sejati Seorang Wanita Mualaf, Berjuang Mempertahankan Iman
Panggil aku Mawar usia 30-an lahir di kota P, pulau di seberang
pulau Jawa sebagai bungsu dari 4 bersaudara. Kami keluarga Cina
generasi ke-4 imigran ke Indonesia. Kakek buyut pendatang dari negeri
jauh di utara pada awal abad 20.
Menurut cerita, kakek buyut berjualan kebutuhan pokok gula, garam
beras dll, keluar-masuk kampung dengan pikulan. Bisnis keluarga
berkembang pesat setelah pemerintah menggalakkan usaha yang dilakukan
bangsa sendiri (pribumi).
Saat itu ada istilah Ali-Baba. Ali panggilan pribumi dan Baba /
pebisnis Cina. Pengusaha pribumi diberi kemudahan izin usaha bahkan
izin impor, tapi umumnya kesulitan modal.
Sementara banyak etnis Cina modalnya kuat membeli izin usaha dari
pribumi, sehingga memudahkan bisnis expor-impor ke Singapura, Malaysia
dan Hongkong yang dikuasai etnis kami.
Bisnis keluarga makin besar, merambah semua bidang; pertambangan,
emas, perkebunan dan lainnya. Kekayaan keluarga kami diatas rata-rata
orang kaya Indonesia, above than ordinary rich.
Harta keluarga amat melimpah hingga orangtua cemas seandainya kami
sekeluarga (tiba-tiba) mati sehingga tidak ada yang mengurus harta
kami. Untuk itulah kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan
pesawat bersama-sama. Bila liburan bersama, biasanya kami dibagi 2-3
flight. Papa-mama satu pesawat sisanya dibagi 2 flight. Sehingga bila
terjadi musibah, ada anggota keluarga yang tetap melanjutkan bisnis.
Aku sengaja bercerita panjang tentang keluarga, karena sangat terkait dengan kisah selanjutnya.Papa lahir dan dibesarkan di kota P. Setelah lulus SMA studi bisnis
di negeri H (Hongkong). Begitu kembali papa menjadi businessman handal,
banyak relasinya di berbagai negara.
Papa rendah-hati, pendiam, bicara terukur dan seperlunya serta
jarang marah. Mama dari pulau lain yang menjadi karyawati perusahaan
kakek sebelum bertemu papa. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak
pergaulan hingga kadang kami fikir, papa sepertinya takluk pada mama. Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama dan selalu sukses. Keduanya memang pasangan serasi dan saling mengisi.
Mengenal Islam …
Masa kecilku penuh kebahagiaan. Dari SD hingga SMA aku sekolah
swasta terkemuka, siswanya banyak anak bupati, gubernur atau pejabat.
Aku pun berbaur tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku
diundang ke rumah mereka (anak bupati / gubernur) sehingga kenal dekat
keluarganya dan kelak bermanfaat buat perusahaan kami.
Di sekolahku ada pelajaran agama untuk setiap pemeluknya. Jika ada
pelajaran agama tertentu, penganut agama lain diizinkan keluar, tetapi
boleh juga tinggal. Misalnya ada pelajaran Islam, aku lebih suka
tinggal di kelas mendengarkan apa yang diajarkan.
Aku non-Muslim, setiap minggu ke tempat ibadah kami, tetapi aku
lebih tertarik dengan Islam. Ada semacam panggilan dari hati paling
dalam, Awalnya kupikir hanya perasaan ingin-tahu. Tapi setiap mendengar
adzan, hati aku selalu bergetar.
Rumah kami sangat besar. Sering aku sendirian, orangtua sibuk di
Jakarta dan hanya beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakakku
masih kuliah di LN, sehingga rumah dengan 6 kamar besar, hanya dihuni
aku sendiri.
Pembantu, sopir dan satpam tinggal di pavilion terpisah dengan rumah
induk. Di kesunyian hati, aku merasa sejuk setiap mendengar ayat Quran
yang kadang tidak sengaja aku dengarkan di TV.
Aku makin tertarik dengan pelajaran Islam. Melihat ibu guru
mengenakan kerudung dan wajah bersih bersinar membuat hati merasa
sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru saja, aku merasakan damai. Tanpa
sadar akupun mencatat apa yang diajarkan, aku hapal ayat-ayat pendek.
Semua terjadi begitu saja dan tak bisa dicegah.
Pernah ibu guru menghampiri aku yang secara refleks sedang mencatat pelajaran tentang HAJI di papan tulis.
Beliau tahu aku non-muslim. Begitu mendekati tempat duduk aku.
Jantung berdebar keras membayangkan diusir dari kelas. Ternyata hanya
tersenyum ramah melihat catatanku. Katanya, “Insya Allah kelak Mawar
bersama ibu melaksanakan ibadah Haji ya ….”
Hubunganku dengan Ibu Aisyah (samaran) makin akrab, aku tidak sabar
menanti hari pelajaran Ibu Aisyah. Hubungan itu bagaikan anak dan ibu.
Meski aku juga tetap mengikuti pelajaran agamaku, tapi lebih banyak
melamun bahkan tidak mencatat sama sekali.
Sebagai gadis remaja tinggi 160 cm sedang mekar dan giat cari pacar.
Banyak komentar teman; tubuhku indah, proporsional, wajah oriental dan
akan banyak menarik perhatian laki. Tapi saat itu aku tak tertarik
dengan pria seetnis.
Sebaliknya setiap Jumat aku suka melihat siswa muslim ibadah shalat
Jumat, hati langsung bergetar membayangkan andai salah satunya mau jadi
pacarku. Dengan wajah bersih bersinar, basah tetesan air wudhu,
melangkah ke masjid di seberang sekolah Ah…! Indahnya membayangkan
wajah-wajah tersebut.
Aku tahu diri, mana ada pribumi yang mau menjadi pacarku. Banyak
yang masih membedakan ras. Pacaran dengan etnis aku dianggap memalukan
dan menjadi cemohan.
Aku pernah berpacaran dengan anak bupati. Dia memutuskan hubungan
hanya karena ayahnya calon Gubernur yang tidak mau anggota keluarga
bisa menghambat pencalonan, seperti anaknya berpacaran dengan cina.
Alasannya sangat mengada-ada tapi aku sadar; orangtuanya tentu tidak
rela anaknya berhubungan terlalu jauh denganku yang juga beda agama.
Tapi hatiku sudah bulat kelak punya suami pribumi bahkan bersedia
masuk Islam. Keputusan ini kelak membawa hidupku melewati perjalanan
penuh ujian dan cobaan.
Studi ke Australia dan Amerika …
Lulus SMA aku study ke Aussie (Australia) dan Amerika mengikuti 2
kakakku. Tak banyak yang perlu diceritakan. Hampir 5 tahun kemudian aku
kembali dengan gelar Master dan mengabdi untuk bisnis keluarga.
Dalam waktu singkat profit perusahaan meningkat pesat, terus
membesar – merambah banyak sektor bisnis. Aku punya akses ke para elite
daerah, karena semasa sekolah aku sudah mengenal keluarganya. Semua
urusan perizinan aku selesaikan dengan mudah.
Aku masih single di pertengahan usia 20-an. Banyak pria berusaha
menarik perhatian, dari pengusaha muda sukses hingga pemilik perusahaan
besar. Namun hati tak bergetar sama sekali. Mencari suami itu mudah
tapi aku ingin mencari soulmate.
Romantisme dalam Islam …
Suatu hari kantor aku mendapat staf baru dari kantor cabang di Jawa.
Ia 3 tahun lebih tua dariku, wajah bersih dan dari etnis Jawa.
Tutur-katanya lembut, sopan, tinggi, proporsional dan ah…! Ini dia. Dia
muslim taat.
Sejak itu, wanita sekantor tidak habisnya membicarakan dan berlomba
mendapat perhatian. Menurut laporan dia amat rajin, jujur,
berprestasi hingga dipromosikan ke posisi lebih tinggi dan satu divisi
denganku.
Awalnya aku jaga image sebagai anak Big Boss. Lama-lama hati enggak
bisa bohong, .. sedikit demi sedikit namun pasti … aku jatuh cinta.
Suatu saat kami semobil dari kantor gubernur. Tiba-tiba dia meminta
izin shalat Ashar di Masjid Raya. Dari dalam mobil, kucermati ia
berwudhu, melangkah ke masjid, shalat … Ahhh!. Andai saja aku kelak
bisa mengikuti di belakangnya.
Awalnya kami memanggil secara formal ‘Pak’ dan ‘Ibu’. Tapi lama-lama
secara tak sengaja aku memanggil “Mas” karena aku sering melihat orang
Jawa memanggil yang lebih tua, suami atau kakak dengan sebutan “Mas”.
Dia rikuh, tetapi lama-kelamaan terbiasa. Tapi itu aku lakukan bila
hanya berdua, tidak di kantor. Aku meminta dipanggil ‘Dik’ bukan ‘Ibu
Mawar.’
Sesuai pepatah Jawa, “Witing tresno jalaran kulino” terjemahan
bebasnya “Cinta tumbuh karena terbiasa selalu bersama.” Bayangkan
bagaimana awal cinta kami! Kami duduk di belakang sopir mobilku. Awalnya membahas berkas kerja,
kadang tidak sengaja tangan kami bersentuhan. Dia secara sopan segera
menarik tangannya dan minta maaf.
Ahh! … sebal rasanya. Padahal aku yang menginginkan. Tapi itu tidak
berlangsung lama, Akhirnya dia takluk. Aku biarkan tangannya memegang
berkas lalu aku pura-pura membahas sambil tanganku menyentuh jari dan
tangannya. Aku tidak pandai pura-pura. Dengan berani kugenggam
jemarinya, lama-lama dia merespons … dia (sebut saja Mas Fariz)
menggenggam tanganku… ahh! Sering aku pura-pura minta supir kembali dari suatu tempat, seolah
ada yang tertinggal … padahal hanya ingin berlama-lama dengan dia.
Suatu saat aku pura-pura ketinggalan sesuatu, meminta sopir ke
rumah. Begitu memasuki rumah orangtuaku, wajah Mas Fariz pucat. Dia
gugup karena khawatir papa (Big Boss) marah jika mengetahui pada jam
kerja mampir ke rumahnya. Aku bilang tidak perlu takut, bukankah anak
Big Boss yang membawanya.
Setahun berlalu. Hubungan kami semakin erat tapi dia belum
menyatakan cinta. Mungkin takut ditolak apalagi beda agama. Hingga
suatu saat dia menelpon mengajak bertemu di restoran luar kota. Dia
meminta datang sendirian tanpa sopir.
Di restoran itu dia menyatakan cinta … langsung saja kuterima.
Kukatakan aku bersedia memeluk Islam dan sejak lama ingin masuk Islam,
jadi mas Fariz semoga menjadi pembimbingku.
Airmatanya meleleh. Seumur hidup baru kali ini seorang pria
berlinangan airmata karena aku. Aku tidak kuasa menahan airmata dan
yakin mendapatkan ‘Soulmate.’
Di kantor kami bekerja seperti biasa. Tapi di luar kantor kami
sepasang kekasih. Dia mengajari shalat dan sedikit doa. Dia memang
lelaki taat, menjaga kesopanan dan tidak pernah melewati batas.
Sehingga kadang aku yang menggoda, namun dia selalu bilang, sabar! …
tunggu waktunya. Seribu kali sayang, serapat apapun ditutupi, sedikit
demi sedikit bocor juga rahasia kami hingga ke telinga papa.
Tentangan Keluarga …
Suatu hari tiba-tiba papa datang ke ruangan aku, padahal amat sangat jarang terjadi, jika ada keperluan biasanya aku dipanggil.
Mulanya papa tidak menanyakan hubungan aku dengan mas Fariz, tetapi
sedikit demi sedikit topiknya mengarah kesana. Akhirnya papa menanyakan
kebenaran hubungan itu. Aku tidak sanggup menjawab, wajah aku
tertunduk. Papa menatap dan menunggu jawaban aku.
Aku tidak sanggup berbohong atau menyangkal, itu bertolak belakang
dengan hatiku, sebaliknya jika bilang “iya” aku khawatirkan karir Mas
Fariz. Aku hanya bisa menangis … Esoknya, Mas Fariz tidak hadir, dia
dipindahkan ke Jawa. Akupun kehilangan kontak.
Seminggu kemudian mas Fariz bercerita di telpon bahwa setelah papa
menemuiku, dia langsung menemuinya. Esok paginya dia harus kembali ke
kantor lama.
Keadaan semakin parah, setiap karyawan di kantornya sudah tahu
hubungan kami. Banyak tuduhan kalau mas Fariz, mengincar harta dan
kedudukan dengan memacari anak Big Bos. Berulangkali dia sebut nama
Allah, bersumpah, cintanya kepada aku bukan karena itu.
2 minggu kemudian dia resign, tetapi kami masih berhubungan telpon.
Dia mencari pekerjaan di perusahaan yang punya cabang di kota P agar
bisa menemui aku. 3 bulan kemudian dia mendapatkannya dengan gaji jauh
lebih kecil. Aku amat terharu, dia korbankan karirnya demi aku.
Kami pun bebas berhubungan tidak peduli perkataan orang di kantor, tapi papa kembali mengetahui dan kali ini mama turun tangan.
Mereka tidak bedakan ras dan tidak keberatan bergaul dengan
siapapun, tapi tidak bisa diterima jika aku masuk Islam dan mereka
sudah curiga. Maka kujelaskan, aku sudah dewasa untuk mengambil
keputusan hidup tanpa tergantung papa-mama jawaban yang membuat
mereka murka.
Mereka berkata, banyak orang rela mati demi merasakan rumah mewah,
sopir tersedia tiap saat, mobil mewah, uang melimpah dan dihormati.
Mereka katakan, tanpa mereka aku tidak akan pernah bisa memperoleh
kehidupan seperti ini. Aku hanya menangis. Tapi hatiku bertekad apapun
yang terjadi aku tidak akan meninggalkan Mas Fariz.
Aku giat mendalami Islam. Saat istirahat kantor, aku pergi ke toko
buku besar di Mal untuk membaca buku Islam. Pernah aku mengajak rekan
kantor ke toko buku. Aku langsung ke rak buku Islam, dia ingatkan kalau
aku ada di bagian rak buku Islam. Aku bilang memang benar, aku mau
membaca tentang Islam.
Klimaks …
Kedua kakak laki-laki aku menikah dan menetap di Jakarta menjalankan
bisnis kami dan papa-mama sekarang lebih banyak tinggal di kota kami
bersama kakak perempuanku dan aku. Tapi hubungan aku dengan papa-mama
semakin renggang, kakakku pun sudah terprovokasi dan menjauh.
Aku dianggap bukan bagian keluarga dan tak diajak makan bersama di
meja makan. Pembantu disuruh memanggilku untuk makan bila mereka
selesai makan. Makanan yang ada adalah sisaan mereka dan pembantu tidak
diperbolehkan menambah. Akhirnya aku makan makanan sisa.
Jika mereka makan ayam, aku makan ceker dan kepala saja. Bayangkan
rasanya sakit hati. Aku bersabar dan mas Fariz selalu mengingatkan
untuk berbakti pada orangtua. Bisa saja aku akan di restoran termahal
di kota P.
Kakak perempuanku sebenarnya kasihan padaku, sehingga kadang dia
menyimpan sebagian makanan yang baru dimasak. Sehingga pada saat
mama-papa selesai makan, diam-diam dihidangkan untuk aku.
Secara tidak terduga, mereka kembali ke meja-makan dan memergoki.
Langsung mama rebut piringnya dan melemparkan ke lantai. Sambil
menyindir tidak perlu kasihan sebab aku sanggup hidup tanpa diberi
makan mama-papa.
Ohh ..! Mereka rupanya sudah amat membenci. Hancur berkeping hati
aku. Aku hanya menangis tetapi tidak menyesalI dan aku akan tetap
bertahan.
Mas Fariz sarankan bicara baik-baik agar papa-mama luluh dan
mengerti. Suatu malam ada kesempatan, aku mendatangi dan berbicara
dengan mereka. Dengan tutur baik aku meminta maaf.
Aku tumpahkan perasaan semuanya. Tapi justru itu membuat mereka
bertambah murka. Mereka tuduh aku kena sihir dan menyarankan aku sadar.
Ya Allah! Aku sehat, Insya Allah tidak ada satupun sihir. Semua keinginan murni dari panggilan jiwa yang tidak bisa aku cegah.
Aku jelaskan lagi, bahwa aku sudah dewasa hingga apapun keputusan
bisa kupertanggung-jawabkan. Aku bisa mandiri jika dikehendaki.
Pendirian mereka pun tetap bahkan menantang, jika sanggup hidup
mandiri, sekarang juga serahkan seluruh harta yang aku dapatkan selama
hidup dengan mereka.
Karena tekad bulat, malam itu seluruh kartu credit, ATM, buku bank
aku serahkan. Uang yang aku punya hanya yang tinggal di dompet.
Sepertinya tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan rumah. Esok
paginya aku ada keperluan untuk membuka lemari besi tempat penyimpanan
surat berharga keluarga. Berulangkali mencoba, aku tidak bisa
membukanya.
Ternyata nomor kombinasinya diubah. Padahal ada barang pribadi aku:
Ijasah, perhiasan dan lain. Aku telpon papa tapi jawabannya sinis. Papa
menyindir kalau sanggup hidup mandiri, mengapa mau membuka lemari besi
keluarga, pasti ada barang yang mau dijual. Aku dikucilkan. Mereka
menyiksa dengan caranya sehingga aku menyerah. Aku mengadu ke mas Fariz
dan mengatakan akan minggat. Dia diam, lalu berpesan jangan sampai
putus hubungan keluarga.
Beberapa hari kemudian aku tinggalkan rumah dan kos di dekat kantor.
Aku berpamitan baik-baik pada mama-papa. Tetapi mereka menoleh pun
tidak. Aku masih ada cukup uang di dompet. Aku bersumpah tidak akan
meminta uang mereka.
Aku bertekad hidup mandiri. Selama bekerja di perusahaan papa,
secara formal aku digaji sesuai dengan posisiku. Tapi disamping itu
setiap bulan, aku mendapat uang-saku dari papa hampir 20x lipat gaji
resmi. Sehingga penghasilan sebulan cukup untuk hidup mewah selama
setahun. Seluruh simpanan bank, mencapai 10 digit. Mungkin cukup biaya
seumur hidup.
Sekarang aku tetap bekerja dengan harapan masih digaji. Tapi akhir
bulan aku tidak mendapat sepeserpun. Saat kutanyakan ke pembayaran
gaji, ada perintah menahan gajiku. Ya Allah, mereka lakukan cara apapun
agar menyerah. Saat itu juga kutinggalkan perusahaan papa selamanya.
Start from Zero ….
Saat kuadukan ke mas Fariz dia teramat sedih dan meminta maaf,
karena dia hidupku menderita. Dia rela andai aku tak kuat untuk ubah
keputusan. Aku peluk dia dan kupastikan keputusanku tak berubah.
Akupun semakin ingin hidup bersamanya. Saat itu hanya dia
sandaranku. Dengan berurai airmata, dia tanya lagi, apakah rela menjadi
muslimah dan menjadi istrinya. Aku ciumi tangannya, kukatakan, aku
korbankan kehidupanku hanya untuk bisa hidup bersamanya dan tidak akan
menyesali.
Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan kalimat
syahadat di sebuah masjid disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid.
Dia mengajakku segera menikah di kota kelahirannya. Kebetulan tugasnya
dipindahkan ke pulau Jawa.
Sebelum menikah kami mendatangi rumah papa-mama. Tapi satpam di
pintu gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan tidak membuka pintu
bila kami datang.
Sebenarnya satpam tersebut bersedia membuka pintu. Tapi aku
melarang, khawatir mencelakai pekerjaannya. Biarlah aku saja yang
menderita. Aku tinggalkan secarik surat yang isinya mohon doa restu
bahwa aku akan menikah dengan Mas Fariz. Aku beritahukan aku sudah jadi
muslimah. Mata satpam itu berkaca-kaca saat kukatakan aku mualaf.
Keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di
pernikahan kami. Tapi setelah mas Fariz bercerita, mereka memahami.
Kami menikah secara sederhana. Keluarganya amat sangat menerimaku
dengan hangat tanpa mempermasalahkan keturunan Cina. Ibu mertuaku amat
sayang kepadaku. Aku amat sangat bahagia menjadi istrinya.
Aku hidup di rumah sederhana, kulalui dengan penuh kebahagiaan dan
aku tidak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan. Aku tidak
lagi bekerja, karena aku ingin mengabdi pada suamiku. Disamping itu
semua ijasah masih tersimpan di lemari besi, aku tidak bisa melamar
pekerjaan. Aku pun ingin membuktikan bisa mandiri dengan suamiku.
Mas Fariz amat sangat menyayangiku tiap pagi sebelum berangkat
kantor dia memelukku. Tiap hari kubawakan ‘lunch box’ makan siang
karena aku tidak mau dia makan makanan masakan orang lain. Aku sangat
posesif, ingin memiliki dan melayani secara total.
Tiap hari aku bangun sebelum dia bangun dan tidur setelah dia
benar-benar tidur untuk memastikan dia sudah benar-benar tidak perlu
aku layani lagi.
Aku siapkan celana, baju, kaus kakinya tiap pagi sebelum berangkat
kerja. Sehingga dia tidak perlu memikirkan pakaian apa yang harus dia
pakai. Bahkan aku potongkan kukunya bila sudah panjang. Dia aku jadikan
pangeran bagi diriku.
Tiap malam sebelum tidur, kami ngobrol dan saling mengajarkan
bahasa. Dia mengajari bahasa jawa, sedangkan aku mengajari bahasa
mandarin.
Dia amat cepat belajar mandarin dalam waktu singkat dia menguasai
kata-kata yang umum diucapkan, kadang mengajakku bicara mandarin di
rumah. Memang perusahaan tempatnya bekerja milik etnis Cina dan banyak
berhubungan dengan keturunan Cina, sehingga bila berbahasa mandarin
akan memberi keuntungan tambahan.
Suatu saat dia pulang membawa motor, kantornya memberi pinjaman
cicilan motor. Memang hanya motor, tapi aku bahagia sekali dengan yang
dia dapatkan. Berulangkali dia minta-maaf tak bisa membeli mobil
seperti yang pernah kumiliki. Aku katakan motor yang kita miliki jauh
lebih mewah dari mobilku dulu. Karena motor ini bukan sekedar dibeli
dengan uang, tapi juga dengan cinta.
Kehidupan perkawinan kami amat indah, kalau di rumah nyaris kami
tidak bisa berjauhan. Tiap hari bagi kami adalah bulan madu maka dalam
1 tahun kemudian lahir anak pertama kami. Bayi itu sebut saja ‘Faisal’.
Mas Fariz yang membacakan Azan dan iqomat sesaat setelah bayi lahir.
Aku merasa lengkap kebahagiaanku. Setiap hari bertambah bahagia bisa
merasakan 2 orang “Fariz” dalam rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku
di temani Fariz kecil. Aku mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya.
3 tahun anak kami hadir. Mas Fariz bercita-cita mendatangi
orangtuaku, oma-opanya Faisal. Dia ingin perkenalkan cucu mereka dan
menyatukan aku dengan papa-mamaku.
Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati
orangtuaku. Tapi tiap menelpon, papa-mamaku bersikap seperti dulu.
Bahkan waktu kukatakan bahwa mereka punya cucu dariku, mereka menjawab,
kalau mereka tak merasa punya keturunan dariku … Ohh! malangnya anakku.
Aku teramat sedih, teganya papa-mamaku. Aku maklumi masih membenciku,
tapi jangan pada anakku, cucu mereka.
Tidak Putus Dirundung Malang ….
Dia yakin papa-mama akan menerima kami. Sebelum harapan terpenuhi, musibah mulai datang ….
Suatu hari suamiku pulang lebih awal karena merasa nggak enak badan,
seperti masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat, tidur dan
memberi obat penghilang sakit.
Malamnya tubuh panas menggigil. Keesokannya aku bawa ke dokter dan
dikatakan hanya demam biasa sehingga hanya diberi obat penurun panas.
Tapi malamnya tubuh tetap panas, menggigil dan mengigau. Dia menolak
untuk dibawa ke RS bilangnya demam biasa.
Hari ke-4 kondisinya parah dan pingsan, dari hidung keluar darah. Di
RS Hasil periksa darah, trombosit tinggal 26.000 normalnya diatas
150.000. Suamiku kena demam berdarah, Dokter menyalahkan kenapa tak
segera dibawa ke RS lebih awal, karena serangan terberatnya di hari 5.
Kalau kondisi tidak kuat, amat berbahaya.
Hari ke 5 makin parah, napasnya berat, trombositnya tidak naik.
Malam itu setengah mengigau, dia memanggilku, aku genggam tangannya,
aku dekati telingaku ke mulutnya, aku dengar dia coba ucapkan sesuatu.
Air matanya meleleh.
Dia ucapkan “Maafkan aku” Aku tenangkan dia, kalau tidak ada yang
perlu dimaafkan. Aku ikhlas mendampinginya. Setelah mendengar
kata_kataku dia tenang, dengan 1 tarikan napas dia ucapkan “La ilaaha
illa llaah” lalu meninggal dalam pelukanku.
Aku ingat ucapannya, jika Allah izinkan, dia ingin meninggal di
pelukanku. Aku memarahi dia, jangan bilang seperti itu. Tapi dia
serius, kalau dia tak sanggup kalau aku meninggalkannya. Ternyata Allah
kabulkan. Orang yang aku jadikan sandaran hidup telah pergi. Tidak
terkira sedih hatiku. Andai tidak ingat anakku, aku ingin menyusul Mas
Fariz.
Mas Fariz jujur dan baik, seluruh rekan kerjanya dan big boss hadir
melayat. Kantor memberi santunan 4x gaji, ditambah uang duka. Aku
ditawari kerja di perusahaan tersebut. Tapi aku rasa setengah nyawaku
hilang. Selama 3 bulan berduka, aku tidak sanggup melakukan apapun.
Sementara aku di rumah mertua agar Faisal ada yang mengasuh. Rumah
dan motor dijual, karena tidak sanggup kubayangkan kenangan Mas Fariz.
Hampir setengah tahun di rumah mertua, aku putuskan kembali ke kota
asalku. Sebenarnya ibu mertua amat baik dan penyayang. Tapi aku tahu
diri tidak mungkin bergantung ke siapapun. Aku harus mandiri demi
anakku satu-satunya.
Di kota asalku aku mengontrak rumah dan membuka toko kecil. Mungkin
karena masih berduka dan terbayang suami hingga kurang mikirkan usaha
akhirnya bangkrut. Uang habis untuk membayar tagihan suplier.
Aku sebenarnya tidak pernah putus asa apapun aku jalani asal halal.
Pernah jadi pelayan restoran beberapa bulan dan berhenti karena anakku
tak ada yang menjaga. Akhirnya aku kehabisan uang tak sanggup bayar
kontrakan.
Dengan koper isi pakaian dan menggendong anakku berjalan tanpa
tujuan. Aku bingung akan kemana. Pernah terlintas di benakku untuk
kembali ke keluargaku. Tapi dengan kondisi ini mereka pasti merasa
menang, tertawa terbahak dan mengejekku seumur hidupku bahwa aku gagal
memilih jalan hidup.
Dibawah Naungan Islam …
Ditengah perasaan putus asa, kuteringat masjid tempat aku pertama
kali mengucapkan kalimat syahadat. Masjid itu bukan Masjid Raya di kota
kami, tapi masjid tua bersejarah, maka banyak jemaah berziarah.
Aku berpikir, dulu aku memulainya dari masjid itu, sehingga kalaupun
jalan hidupku berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid
tersebut Dan aku shalat mohon petunjuk. Anakku kelelahan tertidur di
sampingku.
Aku tidak punya uang untuk membeli makanan dan hanya bisa menangis.
Rupanya tangisku didengar seorang bapak dan beliaulah imam masjid
tersebut dan dia pula yang dulu membimbing aku membaca syahadat. Aku
tidak lupa dengan wajahnya tetapi dia pasti tidak ingat, karena wajahku
tidak sesegar dulu lagi.
Sewaktu aku perkenalkan diriku dan aku katakan bahwa aku dulu mualaf
yang beliau bimbing, dia langsung ingat tapi juga kaget dengan
kondisiku seperti ini.
Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tidak
ada lagi orang di dunia ini yang aku jadikan sandaran hidupku.
Setelah mendengar kisahku dia menyuruhku jangan pergi – tetap
tinggal di masjid. Beliau menyuruh seorang jamaah membelikan makanan
untuk aku dan anakku. Sebentar kemudian dia meninggalkan aku sambil
berpesan akan segera kembali (rupanya dia mencari tempat untuk aku
tinggali).
Tidak lama beliau kembali. Sambil tersenyum dia katakan, mulai malam
ini aku memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid disitu
ada bangunan tambahan terdiri beberapa ruangan. Biasa dipakai untuk
gudang peralatan masjid, seperti tikar, kursi dan lainnya. Salah satu
ruang tampak sudah kosong. Dia menunjuk bahwa itulah rumahku. Aku boleh
menempati selama mungkin aku mau.
Ruang sebelahnya ditempati Pak Tua penjaga masjid, sehingga aku ada
yang menemani. Ruangan itu berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam masjid
menambahkan, aku diberi honor sekedarnya jika mau membantu membersihkan
masjid, sehingga cukup untuk makan.
Beliau tambahkan kalau aku bisa datang ke rumahnya sekedar membantu
istrinya memasak. Rumah beliau hanya beberapa ratus meter dari masjid.
Alhamdulillah, aku amat bersyukur ternyata Allah mendengar doaku.
Aku ingat, bahwa Allah tidak akan menguji hambanya melebihi beban yang
sanggup dia pikul. Aku bersyukur memperoleh tempat berteduh, walau
hanya kamar kecil (jauh lebih kecil dibanding kamar mandi saat di rumah
orangtuaku).
Ada lagi yang membuatku tenang yaitu aku tinggal dekat rumah Allah,
setiap merasa sedih, aku tinggal masuk masjid mengadukan langsung pada
Allah. Karena tinggal dekat masjid otomatis shalatku tidak pernah
terlewatkan sekalipun.
Alhamdulillah, hidupku sedikit demi sedikit mulai tenang. Aku sering
membantu istri Pak Imam memasak di rumahnya. Imbalannya beliau selalu
membekali makanan untuk aku bawa pulang. Sehingga aku tidak perlu risau
memikirkan makanan harian.
Kalau Pak Imam sekeluarga ada keperluan keluar kota, akulah yang dititipi menjaga rumahnya dan bisa tinggal di rumahnya.
Sebenarnya mereka menawarkanku tinggal bersama mereka. Tapi aku tahu diri tidak mau terus menerus merepotkan orang lain.
Pekerjaanku setiap hari membersihkan halaman masjid, membersihkan
kaca jendela, Sedangkan Pak Tua mengepel lantai masjid. Tiap minggu aku
mendapatkan honor sekedarnya dari hasil kotak amal, tapi kadang aku
tidak mendapatkan sepeserpun, karena kadang sudah habis untuk keperluan
masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan ikhlas.
Sementara ini aku benar-benar ingin mengabdi pada Masjid ini –
sebagai tanda terimakasih. Aku tidak mau bersusah-payah mencari
pekerjaan. Aku percaya kelak masjid ini akan memberiku jalan memperoleh
pekerjaan.
Kadang pada malam hari aku duduk di teras masjid, mengobrol dengan
Pak Tua. Dia bercerita, anak-anaknya ada di kampung, tapi dia tak mau
merepotkannya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang lain.
Lalu saat giliran aku bercerita, kadang aku bingung harus cerita apa
…???
Apa aku ceritakan kalau dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling
EROPA, tidur di hotel mewah di LAS VEGAS atau saat kuliah punya
apartment mewah di Australia … Ahh! Pasti dia tertawa menganggap aku
berkhayal. Jangankan tidur di hotel, uang yang aku punya tidak lebih
dari Rp 20.000,-
Dulu tiap minggu aku bisa beli peralatan makeup, eye-shadow,
lipstick harga jutaan rupiah. Sekarang makeup aku air wudhu setiap akan
shalat. Tapi justru banyak yang mengatakan wajahku tetap bersih, cantik
alami. Kadang orang berpikir aku masih memakai makeup.
Yah …! mungkin Allah yang memakaikannya. Kecantikan dari dalam
“Inner Beauty” Banyak yang bilang dengan mata sipit dibalik kerudung,
aku terlihat cantik.
Tanpa terasa hampir 2 tahun aku menetap disini, anakku sudah sekolah
SD dekat masjid milik yayasan dan tanpa membayar sepeserpun. Aku hanya
membeli seragam dan alat sekolah.
Bahagianya hati melihat anak aku masuk sekolah … ohh! seandainya mas
Fariz masih ada dan melihat anak kita di hari pertama sekolah.
Anakku rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan sehingga sangat tahu
diri. Tak pernah sekalipun merengek minta dibelikan ini itu seperti
layaknya anak lain. Pernah hatiku amat pilu. Ketika dia pulang sekolah
dengan kaki telanjang sambil menenteng sepatunya. Sambil tertawa, tanpa
mengeluh, dia justru menunjukkan sepatunya.
“Ma, sepatu Faisal sudah minta makan” Sepatunya robek depannya,
seperti mulut minta makan. Melihat dia tertawa, akupun ikutan tertawa,
walau hati ingin menangis.
Andai dia tahu dulu mama selalu memakai sepatu harga jutaan rupiah.
sekarang, membelikan sepatu anakku yang murah aku belum sanggup.
Alhasil selama 2 hari anakku ke sekolah memakai sepatu robek, sampai
akhirnya aku belikan sepatu bekas layak pakai.
Aku bersyukur punya anak amat tahu diri. Tidak mau membebani ibunya. Anak saleh akan menjadi bekal amat bernilai buat orangtua.
Pak Imam masjid kadang menengok dan menanyakan keadaan kami. Dia
sering cerita, bagaimana istri Muhammad SAW hidup jauh lebih menderita,
tapi tetap tabah. Beliau bilang, aku pasti akan menjadi ahli surga.
Berulangkali dia katakan, orang lain tidak akan sanggup menghadapi
cobaan ini, tapi aku tetap bertahan memegang keyakinan, meninggalkan
kenikmatan dunia yang justru pernah kuperoleh.
Suatu siang, aku melihat mobil datang ke halaman masjid. Dari dalam
mobil keluar 2 orang yang aku kenal. Yang satu Tante Grace, satunya Oom
Albert. Mereka lawyer perusahaan dan keluarga kami. Entah bagaimana
mereka bisa mengetahui aku ada disini.
Mereka membawa sebundel amplop, mengajak aku berbicara. Aku lihat
mata Tante Grace memerah menahan airmata saat melihat tempat aku
tinggal.
Bahkan Oom Albert suara bergetar, lehernya tersekat menahan sedih.
Mereka diutus orangtua aku. Karena orangtuaku sudah tahu bagaimana
keadaan aku sekarang. Mereka katakan dalam amplop isinya surat bank,
ATM, Ijasahku yang bisa aku miliki lagi. Bahkan aku dijemput pulang ke
rumah mama-papaku.
Sejenak aku bahagia, kupikir orangtuaku terbuka hatinya, aku bisa
pakai uang yang banyak untuk hidup lebih baik. Tapi dengan
terpatah-patah Oom Albert melanjutkan, mama-papa memberi syarat. Saat
kutanyakan syaratnya. Keduanya nyaris tidak sanggup melanjutkan.
Tante Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya oom Albert
mengatakan syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan lama.
Saat itu juga aku langsung menjawab, kalau aku tidak mau menerima
amplop itu dan aku katakan agar dikembalikan ke orangtuaku.
Keduanya amat sangat minta maaf padaku, karena mereka tahu aku
tersinggung. Tapi aku juga sadar keduanya hanya menjalankan tugas.
Bahkan Tante Grace katakan, andai mengikuti nurani pasti mereka
serahkan itu amplop padaku tanpa syarat apapun, tapi mereka terikat
profesi.
Keduanya pamit. Tapi tidak lama kemudian kembali lagi, aku pikir
ingin membujuk. Rupanya mereka berinisiatif fotocopi ijasah dan
menyerahkan copy-nya padaku. Mereka inisiatif sendiri resikonya
kehilangan pekerjaan. Mereka bilang hanya itu yang bisa mereka lakukan
untukku.
Alhamdulillah. Sedikit demi sedikit Allah memberi jalan untukku.
Akhirnya aku punya bukti kalau aku pernah sekolah tinggi meraih Master
bidang keuangan (finance)di luar negeri.
True Happiness …
Rupanya Allah cukup menguji dan memberi rewards atas ketabahanku.
Suatu pagi 2 orang mengamati bangunan masjid, wanita kulit putih dan
wanita lokal. Pak Tua ada di halaman Masjid, maka mereka menghampiri.
Masjid kami memang unik, bangunan tua dengan arsitektur Melayu Kuno dan
sering dikunjungi. Biasanya Pak Tua menjadi juru-bicara karena dia
paling tahu sejarah masjid. Aku banyak mendapat cerita dari Pak Tua
sehingga aku tahu sejarah masjid kami.
Dari jauh tampak keduanya mengobrol dengan Pak tua, sampai akhirnya
kulihat Kulit Putih kebingungan. Akupun menghampiri mereka, dengan
sopan aku memperkenalkan diri dan menawarkan bantuan.
Ternyata dia mahasiswi Arsitektur dari Australia yang sedang
melakukan study dan mahasiswi Arsitektur universitas T di kotaku
sebagai penterjemah (panggil saja Retno).
Rupanya bahasa Inggris Retno kurang lancar hingga si Bule
kebingungan mendengar terjemahan cerita Pak Tua. Dengan sopan aku
mengajukan diri membantu si Bule.
Dengan bahasa inggris sangat lancar, aku ceritakan semua hal tentang
masjid. Aku ajak berkeliling ke tiap sudutnya. Si Bule bertambah takjub
saat kukatakan pernah study di negerinya.
Retno terus memandangiku setengah tak percaya. Setelah puas mendapat
informasi, sebelum pulang Retno berjanji menemuiku segera, ingin
menanyakan banyak hal tentang diriku. Dengan senang-hati akan kuterima
kedatangannya kapan saja.
Beberapa hari kemudian Retno menemuiku. Dia amat ingin tahu siapa
diriku. Aku ceritakan semua perjalanan hidupku sampai saat ini. Dia
amat bersimpati dan ingin menolong. Walau tak mengharap pertolongan
orang lain, tapi kuhargai niatnya.
Dia bilang dengan pendidikan dan kemahiran bahasa asing akan mudah
mendapat pekerjaan, apalagi ada copy ijasah. Seminggu kemudian dia
datang membawa kertas dan amplop, menyuruh membuat surat lamaran.
Informasinya Rektorat memerlukan tenaga honorer. Aku terharu ada
orang peduli mau membantu tanpa pamrih, aku ucapkan banyak terimakasih
padanya. Bagiku dia seperti diutus Allah untuk menolongku. Tidak lama
kemudian aku mendapat kabar gembira, aku dipanggil ke Rektorat untuk
test dan wawancara.
Sebelum berangkat aku shalat memohon kepada Allah agar diberi
kelancaran. Anakku aku titipkan pada Pak Tua yang kuanggap sebagai
orangtua sendiri.
Alhamdulillah, test berjalan lancar. Saat wawancara justru Bahasa
Inggris lebih aku kuasai dibanding pewawancara. Dia bilang English-ku
perfect.
Beberapa hari kemudian dia datang dan tampak gembira sekali, katanya
dalam beberapa hari aku akan mendapat surat dari Rektorat yang isinya
diterimanya aku sebagai honorer. Dia tahu informasi karena temannya
bekerja disana. Aku segera menuju masjid dan bersujud syukur lama
sekali.
Kurasa aku lulus semua test yang diujikan Allah. Sering aku bertanya
pada Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya pada
keimananku hingga perlu diuji dengan ujian amat berat.
Walau hanya honorer aku sangat bersyukur, yang penting aku
memperoleh penghasilan layak. Pekerjaan membantu Bagian Keuangan di
Rektorat, memang sesuai dengan ilmuku. Mulai banyak yang tahu kalau aku
lulusan luar negeri. Setiap seminar yang memerlukan makalah bahasa
Inggris pasti aku yang diberi tugas penyusun makalah.
Aku banyak membantu penterjemahan litelatur asing untuk mahasiswa. Nyaris 3 tahun terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru.
Dengan gaji sekarang aku bisa membelinya. Aku amat sangat senang
bukan main, bisa membelikan pakaian anak. Bahagia melihat anak
berpakaian layak. Pakaian sekolahnya sudah menguning, kini aku beli
yang baru, putih bersih dan sepatu baru. Sepatu lamanya robek dan
kusimpan sebagai kenangan.
Tak lama kemudian aku mengontrak rumah. Sebelum aku meninggalkan
Masjid tak lupa pamitan ke rumah Pak Imam mengucapkan terimakasih atas
pertolongannya, beliau katakan yang menolong bukan dia tapi Allah yang
menolongku. Aku memeluk dia lama sekali. Aku katakan dahulu aku ucapkan
syahadat di depannya dan aku tak akan pernah mengingkarinya seumur
hidupku, apapun yang terjadi.
Sebelum pergi kupandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat
beberapa menit tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini
dipakai oleh orang yang senasib seperti aku …..
Aku harap Semoga Allah memberinya kekuatan ….
Setelah melewati segala cobaan, Allah terus-menerus memberi semacam
rewards, belum setahun bekerja, Rektorat memberi kabar statusku menjadi
karyawan tetap.
Beberapa dosen senior menawari posisi asisten dosen. Rekan kerja
mengatakan karirku amat bagus. Orang berkualifikasi sepertiku amat
dibutuhkan. Mereka bilang kesuksesan hanya menunggu waktu.
Aku hanya mengucap Alhamdulillah. Dahulu aku sering berdoa dengan
linangan airmata kesedihan, sekarang sering menangis saat berdoa, tapi
kali ini aku menangis bahagia.
Sampai saat ini aku sendirian, aku bertekad membesarkan anak
sebaik-baiknya. Aku masih merasa istrinya mas Fariz. Seperti yang aku
pernah katakan, dia bukan hanya suami, tapi soulmate dan tidak
tergantikan. Tetapi entah kalau Allah mempunyai rencana lain. Tiap
memandang anakku, aku seperti melihat mas Fariz. Seolah dia masih
mendampingiku.
Alhamdulillah! kini aku mampu membeli motor. Di akhir pekan aku
sering berboncengan dengan anakku jalan-jalan atau sengaja lewat di
depan rumah orangtuaku, sambil aku katakan bahwa itu rumah opa-oma.
Sering anakku bertanya, “Ma kapan kita pergi ke rumah oma-opa? ” Aku
tersekat tak bisa menjawab sebab menahan airmata. Aku terus berdoa,
semoga suatu saat kelak orangtuaku dibukakan hatinya, jika tak mau
menerimaku lagi, mohon diterima anakku – cucu mereka.
izinkan aku mohon maaf bila ada
pihak tak berkenan terutama keluargaku. Untuk itu nama dan tempat
disamarkan. Aku ucapkan terimakasih untuk Retno (samaran) mahasiswi
Universitas T yang telah sudi menulis. Semoga menginspirasi pembaca atau menguatkan orang yang mengalami
seperti aku. Allah limpahkan rahmat dan Hidayah-NYa pada kita, aamiin!.
Salam santun dan keep istiqomah, Subhanallah Semoga Bermanfaat, Wallahu a’lam bishshawab, Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa’atuubu Ilaik …
Catatan sumber:
Ada beberapa petunjuk penting. Disebutkan kisah terjadi di kota P
dan akhirnya bekerja di Universitas T tempat Retno (penulis kisah ini)
kuliah di Fakultas Arsitektur. P bisa jadi:
1. Pontianak ada Universitas T (Tanjungpura). Populasi melayu besar
pendukung kesultanan sejak 3 abad lalu menyisakan Masjid Melayu Kuno –
tempat tinggMawar. Pertanyaannya : Apakah Universitas Tanjungpura ada Fakultas Arsitektur sebelum tahun 2006? Ya, ada. Dibuka tahun 2003 http://kampusbagus.com/s1-arsitektur-universitas-tanjungpura/
2. Palembang – ada beberapa Masjid arsitektur Melayu Kuno
peninggalan kesultanan Melayu Palembang. Dan ada Universitas Tridinanti
dengan Jurusan Arsitektur yang mendapat izin penyelenggaraan th 2005.
No. 2629/D/T/2005 tanggal 10 Maret 2005 tentang ijin penyelenggara
Program Studi Arsitektur.
0 komentar:
Posting Komentar