MENGENAL WALI SONGO
Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari peran Ulama Sufi yang tergabung dengan Wali Songo Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo berlansung pada abad ke-15 (masa kesultanan Demak). Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari peran Ulama Sufi yang tergabung dengan Wali Songo. Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo berlansung pada abad ke-15 (masa kesultanan Demak).
Mereka yang tergolong Wali Songo tersebut adalah :
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
(wafat
di Gresik tahun 1441 M). Sebelum datang ke Jawa, ia menetap di Kerajaan
Pasai atau Perlak di Aceh. Menurut sumber sejarah, salah seorang raja
Kerajaan Campa mempunyai beberapa orang putri. Salah seorang putri itu
dijadikan istri Raja Majapahiat, Sri Kertawijaya, yang memerintah
Kerajaan Majapahi. Perkawinan itu melahirkan Arya Damar, Adipati
Sriwijaya. Putri lain dari Raja Campa itu dikawinkan dengan Maulana
Malik Ibrahim, dari hasil perkawinannya itu kemudian melahirkan Raden
Rahmat (Sunan Ampel).
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
(lahir
di Campa, Aceh tahun 1401 dan wapat di Ampel tahun 1481). Beliau adalah
penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim, dan terkenal
sebagai perancang pertama kerajaan Islam di Jawa, dan dialah yang
mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Ia memulai
aktivitasnya dengan mendirikan pesantren pertama di Jawa Timur, yaitu
Pesantren Ampel Denta di dekat Surabaya .
Di pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk
menjadi da’i yang akan disebar ke seluruh Jawa. Diantara pemuda yang
dididiknya antara lain ; Raden Paku yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri, Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit) yang menjadi sultan pertama kesultanan Islam di Bintoro (Demak), Raden Makhdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Bonang, Syarifuddin yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Drajat, Maulana Ishak yang diutus untuk mengislamkan Blambangan.
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
(lahir di Ampel, Surabaya
tahun 1465 dan wapat di Tuban tahun 1525). Ia dianggap sebagai pencipta
gending pertama untuk mengembangkan Islam di pesisir utara Jawa Timur.
Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu
menyesuaikan diri dengan corak dan kebudayaan masyarakat Jawa yang
sangat menggemari wayang dan musik gamelan. Syair lagu gamelan ciptaan
wali berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak
menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi syahadatain dan gamelan yang mengiringinya disebut sekaten.
4. Sunan Giri atau Raden Paku atau Sultan Abdul Fakih
(lahir
di Blambangan pada pertengahan abad ke-15 dan wapat di Giri tahun
1506). Ia adalah putra Maulana Ishak. Salah seorang saudaranya juga
termasuk Wali Songo
yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Djati). Dalam perjalanan ibadah
haji ke Mekkah Sunan Giri dan Sunan Bonang mampir di Pasai untuk
memperdalam pengetahuan keislaman. Ketika itu Pasai menjadi tempat
berkembangnya Ilmu Tauhid, Keimanan dan Ilmu Tasawwuf. Disini ia
menemukan Ilmu Laduni sehingga gurunya memberi anugerah gelar ‘Ainul Yaqin. Ia banyak mengirim juru dakwah ke luar jawa seperti : Madura, Bawean, Kangean, Ternate , dan Tidore.
Sunan Giri terkenal sebagai lambang pemersatu bangsa Indonesia
yang dirintis pada abad ke-15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai
pemersatu bangsa dengan kekuatan meliter dan politiknya, maka Sunan
Giri dikenal dengan ilmu dan pengembangan pendidikannya.
5. Sunan Drajat atau Raden Kosim atau Syarifuddin
(lahir
di Ampel Denta, sekitar tahun 1470 dan wapat di Sedayu Gresik pada
pertengahan abad ke-16). Hal paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat
adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial
sehingga ia dikenal berjiwa sosial. Ia juga dikenal sebagai pencipta
tembang Jawa, yaitu tembang Pangkur yang hingga sekarang masih banyak
digemari masyarakat.
Pemikiran kesufian Sunan Drajat yang menonjol adalah upaya menyadarkan
manusia dari ambisi jabatan dan kedudukan yang akan mendorong manusia
untuk menikmati dunia dengan pola hidup berfoya-foya dan memuaskan
nafsu perut. Ia berpendapat, perut adalah sumber segala syahwat dan
penyakit jasmani dan rohani. Jika perut diisi makanan dan minuman enak,
timbulah nafsu serakah, yang kemudian timbullah nafsu-nafsu yang lain,
seperti ; syahwat kelamin, permabukan, perjudian, dan lain-lain.
Karena pola hidup mewah harus dicapai dengan jalan menguasai pangkat
dan kedudukan, maka orang berlomba mengejar pangkat dan kedudukan
meskipun dengan jalan kezholiman, kecurangan dalan politk dan makar.
Untuk itulah Sunan Drajat selalu menyuruh santrinya agar memelihara
perutnya; makan dan minum sekedar yang dibutuhkan bagi kesehatan
jasmani dan rohani dan tidak berlebihan. Makan dan minum tidak
sembarangan tetapi yang suci dan halal agar zat-zat darah yang
terbentuk darinya menjadi bersih untuk perbuatan anggota badan sehingga
menumbuhkan kejernihan berfikir. Diingatkannya, bahwa perut yang
kenyang dapat menjadi sumber segala penyakit dan menyebabkan otak
menjadi tumpul, malas berfikir, dan malas menjalankan ibadah kepada
Allah.
Kepada pembesar negara, Sunan Drajat menasihati mereka agar selalu memperhatikan kesejahteraan rakyat.
6. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Syahid
(lahir
akhir abad ke-14 dan wafat pada pertengahan abad ke-15). Beliau
terkenal sebagai wali yang berjiwa besar, berwawasan luas, berpikiran
tajam dan intelek, dan berasal dari suku Jawa asli. Daerah operasi
dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai muballigh ia
berkeliling dari satu daerah ke daerah yang lain. Karena dakwahnya yang
intelek para bangsawan dan cendikiawan sangat simpati kepadanya,
termasuk lapisan masyarakat awam dan penguasa. Dalam melaksanakan
pemerintahan Demak, Raden Fatah sangat menghargai nasihat-nasihat Sunan
Kalijaga. Ia juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau
wayang kulit yang bercorak islami. Ia juga berjasa dalam membuat corak
batik bermotif burung (kukula). Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab
menjadi qu dan qila, yang berarti “Peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya”.
Pemikiran kesufian yang ditampilkan Sunan Kalijaga adalah tentang konsep zuhud.
Pemikiran zuhud-nya bermula dari upaya membangun kesadaran masyarakat
pada arti bekerja dan beramal. Orang harus bekerja apa saja asalkan
layak bagi martabat manusia. Bekerja untuk memperoleh makanan yang
halal dan pantas untuk diri dan keluarganya. Manusia berupaya keras
untuk memperoleh kekayaan, tetapi tetap diingatkan agar tidak hidup
mewah dan royal terhadap harta. Harta kekayaan yang dimiliki
sesungguhnya untuk menunaikan kewajiban zakat, haji, sosial, dan ibadah
lainnya.
Mencari harta dan kekayaan tidak boleh menggunakan jalan tercela dan
serakah. Oleh sebab itu, sekalipun harta dunia ini penting, tetapi
harus diperoleh dengan cara yang halal dan menjuhi cara yang haram,
bahkan syubhat. Dibanding dengan keutamaan akhirat maka dunia macam
apapun sesungguhnya sangat kecil. Itulah arti sikap zuhud yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga.
7. Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq
(lahir
di Kudus pada abad ke-15 dan wafat tahun 1550). Menurut silsilahnya,
Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq masih mempunyai hubungan keturunan dengan
Nabi Muhammad SAW. Silsilah lengkapnya adalah Ja’far Sadiq bin
Raden Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana
Muhammad Jumadilkubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul
Alim bin Zainal Abidin bin Sayyid Husein bin Ali ra. Diantara para Wali Songo, Sunan Kudus mendapat julukan wali al-‘ilmi
(orang yang luas ilmunya). Oleh karena itu, ia didatangi oleh banyak
penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Ia juga pernah menjadi
Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia juga pernah menciptakan berbagai
cerita keagamaan dan yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil.
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said atau Raden Prawoto
(lahir abad ke-15). Ia
adalah putra Sunan Kalijaga dan berjasa menyiarkan Islam di
pedesaan-pedesaan pulau Jawa. Dijuluki Sunan Muria karena pusat
kegiatan dakwahnya dan makamnya di Gunung Muria. Dalam rangka berdakwah
melalui budaya ia menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti.
Sunan Muria mencerminkan seorang sufi yang zuhud, yang memandang sangat
kecil pada dunia ini. Oleh sebab itu, ia tidak silau terhadapnya.
Tugasnya sehari-hari adalah mengasuh dan mendidik para santri yang
ingin menyelami ilmu tasawwuf, didampingi oleh putranya Raden Santri.
Seperti halnya sufi-sufi yang lain, Sunan Muria mencermin kan
pribadi yang menempatkan rasa cintanya kepada Allah diatas
segala-galanya. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah kepada
Allah SWT. Ia melihat sekeliling dengan empat mata; dua mata di kepala
untuk melihat dunia di sekitarnya dan dua mata di hatinya untuk melihat
kebenaran dan kemuliaan. Cahaya pandangnya senantiasa jauh menembus ke
alam yang tak terjangkau oleh akal pikiran. Ia selalu memohon kepada
Allah : “Ya
Tuhan, beri aku cahaya dan tambahkan cahaya itu. Beri aku cahaya di
hati, telinga, mata, rambut, daging, dan tulang, bahkan disetiap
butiran darah dan sel-sel syaraf sekalipun”.
Sunan Muria menumpahkan ibadahnya dengan bermunajat kepada Allah SWT.
Dia juga mengajarkan tata krama dzikir kepada kepada Allah. Dibawah
bimbingannya orang-orang membenamkan dirinya untuk berdzikir kepada
Allah. Hatinya senantiasa ingat kepada Allah, dan lisannya tak pernah
kering mengucapkan kalimah Laa ilaaha illallah
. Tangannya tak henti-hentinya menghitung butiran-butiran tasbih,
terkadang diiringi goyangan badannya dari kanan ke kiri sebanyak
hitungan dzikir yang dilisankan dengan suara pelan dan syahdu.
Sunan Muria bersama santrinya mengisi hari-hari senggang nya di Tanjung
Jepara yang terpencil dari keramaian duniawi untuk berdzikir dan
berdo’a.
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
(lahir
di Mekkah tahun 1448 dan wapat di Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat). Ia
banyak berjasa menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat.
Ia adalah pendiri dinasti raja-raja Cirebon
dan Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu
Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang,
lahirlah Raden Walangsung sang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara.
Dari Nyai Lara Santang lahirlah Syarif Hidayatullah. Dari Cirebon,
Sunan Gunung Jati mengembangkan agama Islam kedaerah lain di Jawa Barat
seperti ; Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan
Banten. Ia meletakkan dasar pengembangan Islam dan perdagangan
orang-orang Islam di Banten tahun 1525 atau 1526. Ketika kembali ke Cirebon ,
Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang
kemudian menurunkan raja-raja Banten. Sunan Gunung Jati mendapat
penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang, ia
diberi gelar Raja Pandita karena kedudukannya sebagai raja dan ulama.
0 komentar:
Posting Komentar