Seputih Melati
Melati
tak pernah berdusta dengan apa yang ditampilkannya. Ia tak memiliki
warna dibalik warna putihnya. Ia juga tak pernah menyimpan warna lain
untuk berbagai keadaannya, apapun kondisinya, panas, hujan, terik
ataupun badai yang datang ia tetap putih.
Kemanapun dan dimanapun ditemukan, melati selalu putih. Putih,bersih, indah berseri di taman yang asri. Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya. Pada angin ia menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu-debu itu agar ianya tetap putih berseri. Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa. Kekanan ia ikut, ke kiri iapun ikut. Namun ia tetap teguh pada pendiriannya, karena kemanapun ia mengikuti arah angin, ia akan segera kembali pada tangkainya.
Kemanapun dan dimanapun ditemukan, melati selalu putih. Putih,bersih, indah berseri di taman yang asri. Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya. Pada angin ia menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu-debu itu agar ianya tetap putih berseri. Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa. Kekanan ia ikut, ke kiri iapun ikut. Namun ia tetap teguh pada pendiriannya, karena kemanapun ia mengikuti arah angin, ia akan segera kembali pada tangkainya.
Pada
hujan ia menangis, agar tak terlihat matanya meneteskan air diantara
ribuan air yang menghujani tubuhnya. Agar siapapun tak pernah
melihatnya bersedih, karena saat hujan berhenti menyirami, bersamaan
itu pula air dari sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes.
Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang, karena hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya. Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya, untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran. Karena juga, hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan asanya. Tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk.
Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang, karena hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya. Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya, untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran. Karena juga, hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan asanya. Tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk.
Pada
tangkai ia bersandar, agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat
setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya,
menserikan alam. Agar kelak, apapun cobaan yang datang, ia dengan sabar
dan suka cita merasai, bahkan menikmatinya sebagai bagian dari cinta
dan kasih Sang Pencipta. Bukankah tak ada cinta tanpa pengorbanan?
Adakah kasih sayang tanpa cobaan?
Pada
dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya. Karena dengan
hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna
putih. Jika daun itu tak lagi hijau, atau luruh oleh waktu, kepada
siapa ia harus meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali
membuatnya tak lagi putih?
Pada
bunga lain ia bersahabat. Bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada
persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik, karena
masing-masing memahami tugas dan peranannya. Tak pernah melati iri
menjadi mawar, dahlia, anggrek atau lili, begitu juga sebaliknya. Tak
terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena ia tahu
semua fungsinya sebagai putih.
Pada
matahari ia memohon, tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan
sinarnya yang menghangatkan. Agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh
yang telah beku oleh pekatnya malam. Sinarnya yang menceriakan, bias
hangatnya yang memecah kebekuan, seolah membuat melati merekah dan
segar di setiap pagi. Terpaan sinar mentari, memantulkan cahaya
kehidupan yang penuh gairah, pertanda melati siap mengarungi hidup,
setidaknya untuk satu hari ini hingga menunggu mentari esok kembali
bertandang.
Pada
alam ia berbagi, menebar aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap
jiwa yang bersamanya. Indah menghiasharumi semua taman yang
disinggahinya, melati tak pernah terlupakan untuk disertakan. Atas nama
cinta dan keridhoan Pemiliknya, ia senantiasa berharap tumbuhnya
tunas-tunas melati baru, agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga
yang putih. Yang tetap berseri disemua suasana alam.
Pada
unggas ia berteriak, terombang-ambing menghindari paruhnya agar tak
segera pupus. Mencari selamat dari cakar-cakar yang merusak
keindahannya, yang mungkin merobek layarnya dan juga menggores luka di
putihnya.
Dan
pada akhirnya, pada Sang Pemilik Alam ia meminta, agar dibimbing dan
dilindungi selama ia diberikan kesempatan untuk melakoni setiap
perannya. Agar dalam berperan menjadi putih, tetap diteguhkan pada
warna aslinya, tidak membiarkan apapun merubah warnanya hingga masanya
mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas dan tanggungjawabnya.
Jika pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap sebagai
melati, seputih melati. Dan orang memandangnya juga seperti melati.
Dan
kepada melatiku, tetaplah menjadi melati di tamanku. Karena, aku akan
menjadi angin, menjadi hujan, menjadi tangkai, menjadi matahari,
menjadi daun dan alam semesta. Tetapi takkan pernah menjadi debu atau
unggas yang hanya akan merusak keindahannya, lalu meninggalkan melati
begitu saja.
0 komentar:
Posting Komentar