Halal dan Haram dalam Islam
Ghibah (Mengumpat)
Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:
Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian
ayat tersebut kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan
cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut di bawah ini:
"Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, yaitu: Kamu membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)
Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya
dan ciri-cirinya itu dibicarakan. Seperti tersebut dalam
hadis berikut ini:
"Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi)
Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu
keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan
orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini
menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari
belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada
penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang
yang tidak berdaya.
Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit
sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan
cerca. Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran
melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat
menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan. Firman Allah:
"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!" (al-Hujurat: 12)
Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia. Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan
bagaimana lagi kalau daging itu telah menjadi bangkai? Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran
dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk
itu. Ibnu Mas'ud pernah berkata:
"Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)
Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata:
"Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya kepercayaan)
Batasan Perkenan Ghibah
Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi
manusia dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh
ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak termasuk ghibah yang
diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat. Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya
melaporkan halnya orang yang menganiaya, kemudian dia
menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam
memberikan rukhshah untuk mengadukannya. Firman Allah:
"Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 148)
Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi
orang lain karena ada maksud mengadakan hubungan dagang,
atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan
suatu urusan yang sangat penting kepadanya. Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan
untuk mengikhlaskan diri kepada agama, dan kewajiban
melindungi kehormatan orang yang tidak di hadapannya. Akan
tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci.
Untuk itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada
kewajiban kedua.
Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais
pernah menyampaikan kepada Nabi tentang maksud dua orang
yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya:
"Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak
mempunyai uang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua,
bahwa dia itu tidak mau meletakkan tongkatnya dari
pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan." Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena
bertanya, minta tolong untuk mengubah suatu kemungkaran
terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau sifat
yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama
tersebut. Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak
si Anu.
Termasuk yang dikecualikan juga, yaitu menerangkan
cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada
dua:
- Karena ada suatu kepentingan.
- Karena suatu niat.
Karena Suatu Kepentingan
Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan
membicarakan seorang yang tidak hadir dengan sesuatu yang
tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan
ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan
sindiran, maka tidak boleh berterang-terangan atau
menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh
memakai takhshish (pengecualian) tersebut.
Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila
memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang
seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia tidak
boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin
si Anu."
Semua ini dengan syarat tidak akan membicarakan sesuatu
di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti suatu dosa dan
haram.
Karena suatu niat
Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu
pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri yang lebih
mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka
niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan
mengobati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan,
antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasehat dengan
memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh
suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi
dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.
Hukum Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah
rekan pengumpat. Oleh karena itu dia harus menolong
saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya.
Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:
"Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)
"Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)
Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu
menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang
kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim,
yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan
kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan
lain. Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan
dengan firman Allah:
"Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka" (an-Nisa': 140)
Mengadu Domba
Ketujuh: Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu
dosa, maka ada suatu perbuatan yang lebih berat lagi, yaitu
mengadu domba (namimah). Yaitu memindahkan omongan seseorang
kepada orang yang dibicarakan itu dengan suatu tujuan untuk
menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori
kejernihan pergaulan dan atau menambah keruhnya
pergaulan.
Al-Quran menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini
sejak permulaan perioda Makkah. Firman Allah:
"Dan jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang suka mencela orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 10-11)
Dan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Tidak masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Qattat, kadang-kadang disebut juga nammam, yaitu seorang
berkumpul bersama orang banyak yang sedang membicarakan
suatu pembicaraan, kemudian dia menghasut mereka. Dan qattat itu sendiri, yaitu seseorang yang
memperdengarkan sesuatu kepada orang banyak padahal mereka
tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka itu.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Sejelek-jelek hamba Allah yaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba, yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari cacat orang-orang yang baik." (Riwayat Ahmad)
Islam, dalam rangka memadamkan pertengkaran dan
mendamaikan pertentangan, membolehkan kepada juru pendamai
itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang dia ketahui
dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh
juga dia menambah omongan baik yang tidak didengarnya.
Seperti yang dikatakan Nabi dalam hadisnya:
"Tidak termasuk dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata baik atau menambah suatu omongan baik."
Islam sangat membenci orang-orang yang suka mendengarkan
omongan jelek, kemudian cepat-cepat memindahkan omongan itu
dengan menambah-nambah untuk memperdaya atau karena senang
adanya kehancuran dan kerusakan.
Manusia semacam ini tidak mau membatasi diri sampai
kepada apa yang didengar itu saja, sebab keinginan untuk
menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan yang
mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka
berdusta. Kata seorang penyair:
- Kalau mereka mendengar kebaikan, disembunyikan
- Dan kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan
- tetapi jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta.
Ada seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul
Aziz, kemudian membicarakan tentang hal seseorang yang tidak
disukainya. Maka berkatalah Umar kepada si laki-laki
tersebut; kalau boleh kami akan menyelidiki permasalahanmu
itu. Tetapi jika kamu berdusta, maka kamu tergolong orang
yang disebutkan dalam ayat ini:
"Jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka selidikilah." (al-Hujurat: 6)
Dan jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang
disebutkan dalam ayat:
"Orang yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 11)
Tetapi kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan.
Maka jawab orang laki-laki tersebut: pengampunan saja ya
amirul mu'minin, saya berjanji tidak akan mengulangi
lagi.
0 komentar:
Posting Komentar