CARI MUKA DAN PENJILAT
Setiap orang ingin bekerja dengan
nyaman dan berpenghasilan cukup di tempat kerja mereka, terutama bagi
para kasta kuli atau bawahan belum menjadi majikan atau atasan. Kian
nyaman seseorang bisa bekerja, maka akan semakin baik produktifitasnya.
Dari sekian banyak faktor yang bisa
membuat nyaman adalah rekan kerja. Di artikel ini saya mencoba menulis
perilaku yang menjengkelkan, bahkan bisa merusak dan menurunkan
produktifitas dan mood kita.
Tapi, sebenarnya ada hal lain yang mesti
diwaspadai di kantor/tempat kerja, seperti pada judul di atas “Waspadai
Orang yang Suka cari Muka dan Penjilat”. Bisa dikatakan, ini adalah
bahaya laten yang mesti diwaspadai bahkan jika perlu dideteksi secara
dini sebelum orang-orang seperti ini merusak suasan dalam pekerjaan
Anda.
Orang yang suka cari muka ini bisa
dikatakan bermuka seribu. Dia bisa bermuka manis dan ramah terhadap
banyak orang tapi di sisi lain, dia akan membuat posisi Anda menjadi
jatuh, bodoh, terpuruk (dan seribu istilah lainnya) di mata atasan Anda.
Ada beberapa ciri orang yang doyan cari muka:
1. Dia merasa paling sibuk, tapi sebenarnya tidak ada output kerjaan dia yang berguna.
2. Dia tidak akan segan-segan untuk
menindas rekannya. Tidak perlu secara fisik, tapi bisa juga dengan cara
mensabotase pekerjaan Anda. Nantinya, pekerjaan dia yang akan diajukan
dan dinilai baik oleh atasan.
3. Sabotase juga bisa dilakukan dengan
cara menutup hak akses Anda ke resource- resource yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pekerjaan Anda (ataupun untuk membuat Anda nyaman
bekerja). Contoh paling gampang adalah administrator jaringan (network)
yang akan menutup atau membatasi akses internet untuk orang-orang yang
tidak dia sukai. )
4. Dia sering mengajukan diri untuk mengerjakan tugas dari si atasan, tapi sebenarnya
pekerjaan itu dilemparkan ke orang lain,
apalagi Anda. Orang lain/Anda yang bersusah payah bekerja, dia yang
dapat nama baik/pujian.
5. Segala urusan atasan diurus oleh dia. Bahkan jika perlu dia menjadi jongos pribadi (tidak lagi asisten pribadi) atasan.
6. Menjadi mata-mata atasan dengan
melaporkan kegiatan anak buah (rekan kerjanya) yang dirasa tidak
berhubungan dengan pekerjaan di kantor. Bahkan jika perlu dia akan foto
Anda yang sedang ke-gap main game atau facebook-an.
7. ….. (silakan isi jika ada ciri-ciri lain yang menurut Anda merupakan tanda si pencari muka)
Upsss…ternyata Anda temukan orang-orang
dengan ciri-ciri di atas di kantor Anda. Dan ternyata memang benar dia
si pencari muka. So, apakah itu berarti Anda mesti menyerah dan resign
dari kantor?
Ooo…tidak bisaaaa…
Anda tidak perlu menyerah dengan
orang-orang seperti itu, karena orang-orang seperti ini biasanya selalu
ada di kantor. Yang Anda mesti lakukan adalah MELAWANNYA!
Berikut ini beberapa cara untuk melawan si pencari muka:
1. Teliti dulu pekerjaan yang diterima dari dia. Jika dia melakukan poin (4) di atas, segera tolak.
2. “Sedikit berbeda” dengan poin (1), Anda SELALU TOLAK pekerjaan yang datang dari dia.
3. Hindari kerjasama dengannya, terutama
jika Anda 1 divisi. Cari alasan yang logis agar Anda tidak dipasangkan
dengannya, apalagi jadi ‘anak buahnya’.
4. Jika Anda terima pekerjaan dari dia,
dan ternyata pekerjaan itu dari atasan, maka serahkan langsung hasilnya
ke atasan Anda. Jika perlu beri alasan bahwa Anda meluangkan waktu
tambahan untuk menyelesaikan pekerjaan ini.*well, mungkin ‘sedikit’ cari muka, tapi toh Anda yang memang mengerjakannya kan?)
Ayo,a yo., pasang radar Anda dan
perhatikan kondisi Anda. Jika Anda merasa sering mendapat banyak
pekerjaan (apalagi yang bukan scope jobdesc Anda) coba perhatikan siapa
yang ngasih kerjaan dan berhati-hatilah!
Perilaku seperti di atas, sebenarnya ada dalam sejarah sepanjang kehidupan umat manusia. Seorang lelaki bernama Yunus bin Ya’qub mendatangi Imam Ja’far Ash-
Shadiq RA sambil berkata, “Berikanlah tanganmu padaku karena aku hendak
menciumnya” Imam Ja’far memberikan tangannya dan lelaki itu pun leluasa
menciumnya. Kemudian lelaki itu melanjuntukan permintaannya, Dekatlah
Kepalamu,” Imam Ja’ar mendekatkan kepalanya dan lelaki itu pun
menciumnya.
Tak puas sampai disitu, lelaki itu
berkata, “Berikan kakimu karena aku ingin menciumnya juga.” Imam Ja’far
dengan nada tak senang berkata “Aku bersumpah bahwa setelah mencium
tangan dan kepala maka angggota tubuh yang lain tak layak dicium.”
Ada dua poin penting yang dapat kita
petik dari kisah tersebut. Pertama, Islam melarang segala bentuk
penjilatan. Kedua, siapa pun yang dijilat hendaknya merasa tidak enak.
Rasullullah SAW bersabda, “Menjilat
bukanlah termasuk karakteristik moral seorang mukmin.” (Kanzul Ummat,
hadits 29364). Budaya menjilat bukan budaya seorang mukmin. Bahkan,
sebenarnya budaya ini lebih dekat pada karakter seorang munafik.
Seorang penjilat sejatinya sedang
membohongi dirinya sendiri. Apa yang dilakukannya berlawanan dengan
lubuk hatinya yang paling dalam. Ia rela melakukan apa saja secara
berlebihan demi mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang yang
dijilatnya. Biasanya yang menjadi korban penjilat adalah mereka yang
tergolong mapan dan superior, seperti atasan, pimpinan, pemegang
kekuasaan dan keputusan.
Sebagaimana kisah tersebut, Yunus bin
Ya’qub menjilat pemimpin agamanya, agar dengan cara itu ia mendapatkan
pengakuan ketaatan dan ketulusan dari pemimpinnya. Namun, sayangnya, ia
berhadapan dengan seorang pemimpin yang bukan hanya tidak mau dijilat,
tapi juga melarang segala bentuk penjilatan.
Lalu mengapa Islam melarang budaya
menjilat?? Menjilat adalah salah satu bentuk kehinaan. Padahal, Islam
datang menjunjung tinggi kemulian dan kehiormatan manusia. Sedangkan
penjilat berusaha menghinakan dirinya dan merobohkan harkat dan martabat
manusia yang dibangun Islam.
Terkadang, budaya menjilat ini timbul
karena kesalah pahaman terhadap makna dan pengertian tawadhu (rendh
hati). Misalnya, seorang bawahan merasa perlu memuji atasannya setinggi
langit demi menunjukkan loyalitasnya terhadap sang atasan. Ironis sekali
kalau sang atasan mengangguk-anggukkan kepalanya alias mengamini dengan
berbagai pujian itu. Sementara hal yang dijadikan bahan pujian
bawahannya itu sebenarnya tidak terjadi.
Dengan demikian, atasan ini telah
membiarkan kebohongan dan kepura-puraan terhadap dirinya terus
berlangsung. Sesuatu yang tidak ada pada dirinya terus berlangsung.
Sesuatu yang tidak ada pada dirinya dikatakan ada. Bukankah ini dusta
yang besar? Bukankah ini hal yang terlarang. Ali bin Abi Thalib pernah
berpesan, ”Memuji lebih dari yang seharusnya adalah penjilatan.” (Nahjul
Balaghah, hikmah 347). Karena itu, hindari sejauh mungkin segala
tindakan yang menjurus ke arah penjilatan.
0 komentar:
Posting Komentar