Konflik itu Sebenarnya (Tidak) Biasa
Suasana dalam kepengurusan organisasi dimana saya bernaung saat ini
sangat tidak nyaman. Bukan karena saya sensitif atau mudah tersinggung,
tapi ini lebih pada etika pergaulan yang dipatuhi setengah-setengah
alias pilih-pilih. Banyak orang merasakan hal serupa. Beberapa lainnya
bahkan berbagi keluhan langsung kepada saya.
Organisasi dengan latar belakang manusia yang berbeda, seringkali
menciptakan konflik-konflik kecil berkepanjangan bila tidak segera
diselesaikan. Sakit hati karena satu hal, akan diikuti oleh sakit hati
berikutnya. Tersinggung karena satu kejadian, akan disertai dengan
ketersinggungan-ketersinggungan lainnya. Awalnya bisa saja semua itu
diabaikan dan dimaafkan, tapi kalau perilaku menjengkelkan itu
terus-menerus dilakukan tanpa merasa bersalah secuilpun, kesabaran juga
akan ada batasnya.
Banyak bisik-bisik tentang ketidakpuasan satu orang terhadap perilaku
orang lain yang dirasa mengganggu karena ingin menguasai sistem dan
membenturkan banyak orang untuk kepuasan pribadi dan eksistensi diri.
Jelas ini salah. Organisasi itu dibangun untuk menjaga kesetaraan.
Kalaupun ada jabatan-jabatan struktural yang dibentuk, itu semata-mata
untuk memudahkan pengendalian agar sistem berjalan. Parahnya lagi, ada
oknum-oknum tertentu yang mengangkat dirinya sebagai penggerak sistem
sehingga benar atau salah menjadi rancu dan tergantung pada sudut
pandang individu.
Selain itu banyak sekali keluhan dan ketidakpuasan terhadap karakter
seseorang yang mengakibatkan ketidaknyamanan. Apabila sekelompok orang
datang, maka kelompok lainnya akan menyingkir satu demi satu. Ada yang
mencari teman sepemikiran di ruang belakang, ada juga yang menghindari
sakit hati kalau-kalau itu terjadi.
Sungguh ironis.
Kebersamaan menyenangkan yang seharusnya dirasakan kala kita aktif di
organisasi kini tak dirasakan lagi. Ketulusan yang seharusnya menjadi
dasar pertemanan tak lagi menjadi prioritas terdepan. Semua berpamrih.
Semua saling curiga. Semua ada untung ruginya. Suara tawa, gurauan dan
celetukan yang tadinya bertujuan untuk menghidupkan suasana, jadi
terdengar sumbang seperti sindiran.
Saya menyadari, kalau watak, karakter, kepribadian atau apapun itu
adalah ciri khas kita sebagai manusia yang memiliki logika dan juga
berbudaya. Hal tersebut biasanya terbentuk seiring dengan proses hidup
yang sudah kita jalani. Orang-orang yang berasal dari keluarga dan
lingkungan yang baik, ditunjang dengan pendidikan yang juga baik,
cenderung menciptakan pribadi-pribadi santun yang menyenangkan. Tentu
saja ada perkecualian disana-sini. Tapi percayalah. Tidak harus orang
susah yang bisa memiliki kepribadian indah. Banyak juga orang-orang
berkecukupan materi yang bisa sangat rendah hati bahkan luhur budi.
Dalam sebuah organisasi, kepribadian seseorang bisa dilihat dari
seberapa sering kita berinteraksi. Orang yang bisa memberikan rasa
nyaman pada lingkungannya adalah orang-orang yang sudah teruji dengan
banyaknya pengalaman serta mau belajar dari kesalahan. Rasa nyaman juga
bisa menjadi tolok ukur bila kita memiliki frekuensi yang setara. Ini
bukan masalah kecerdasan intelektual semata, tapi lebih kepada
kecerdasan emosional dan ketulusan. Tulus dan tidaknya seseorang dalam
berteman akan tercermin dari perilakunya yang wajar. Tidak mencari muka
pada atasan tapi menginjak bawahan, apalagi bermuka dua asalkan orang
lain senang.
Saya tahu, tidak semua orang memiliki penilaian yang sama tentang pertemanan. Mustahil juga kita memiliki ketulusan yang setara. Saya ingat teman
baik saya pernah bilang, kalau kita berada di ‘frekuensi yang sama’,
maka komunikasi dan silaturahmi akan terasa nyaman dan sangat nyambung.
Begitu pula sebaliknya. Bila sudut pandang dan penilaian kita terhadap
satu hal sudah berbeda, maka mustahil kita akan memandang satu masalah
dengan setara.
Toleransi dan empati mungkin kata yang tepat untuk menjembatani
perbedaan itu. Memahami kekurangan orang sekaligus mengerti bahwa mereka
tidak selalu sepemikiran dengan kita, akan menjadi peredam emosi yang
paling jitu. Mereka perlu dimaklumi. Mereka perlu dimengerti. Tapi
bukankah kita juga memiliki hak yang sama untuk dipahami? Konflik yang dipandang biasa oleh sebagian orang, buat saya adalah hal yang sungguh tidak biasa. Kenapa? Karena saya sangat mencintai kenyamanan dalam berteman. Kalau saja
ketulusan, rasa sayang dan penghargaan itu diterapkan oleh semua orang,
saya yakin organisasi ini akan menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh
anggotanya…
0 komentar:
Posting Komentar