Ratu Aji Bidara Putih
Kecamatan Muara Kaman (Kalimantan Timu) terletak di tepi aliran sungai
Mahakam. Jaraknya cukup jauh dari kota Samarinda. Keadaan
perkampungannya terdiri dari rumah-rumah papan yang sederhana. Di
wilayah ini beredar sebuah cerita legenda yang amat dikenal oleh penduduk. Kisah tentang seorang ratu yang cantik jelita dengan pasukan lipan raksasanya.
Dahulu kala negeri Muara Kaman diperintah oleh seorang ratu namanya
Ratu Aji Bidara Putih. Ratu Aji Bidara Puthi adalah seorang gadis yang
cantik jelita. Anggun pribadi dan penampilannya serta amat bijaksana.
Semua kelebihannya itu membuat ia terkenal sampai di mana-mana; bahkan
sampai ke manca negara. Sang Ratu benar-benar bagaikan kembang yang
cantik, harum mewangi. Maka tidaklah mengherankan apabila kemudian
banyak raja, pangeran dan bangsawan yang ingin mempersunting sebagai istri.
Pinangan demi pinangan mengalir bagai air sungai Mahakam
yang tak pernah berhenti mengalir. Namun sang Ratu selalu menolak.
“Belum saatnya aku memikirkan pernikahan. Diriku dan perhatianku masih
dibutuhkan oleh rakyat yang kucintai. Aku masih ingin terus memajukan
negeri ini,” ujarnya.
Kemudian pada suatu hari muncullah sebuah jung atau kapal besar dari
negeri Cina. Kapal itu melayari sungani Mahakam yang luas bagai lautan.
Menuju ke arah hulu. Hingga akhirnya berlabuh tidak jauh dari pelabuhan
negeri Muara Kaman.
Penduduk setempat mengira penumpang kapal itu datang untuk berdagang.
Sebab waktu itu sudah umum kapal-kapal asing datang dan singgah untuk
berdagang. Akan tetapi ternyata penumpang kapal itu mempunyai tujuan
lain.
Sesungguhnya kapal itu adalah kapal milik seorang pangeran yang
terkenal kekayaannya di negeri Cina. Ia disertai sepasukan prajurit yang
gagah perkasa dan amat mahir dalam ilmu beladiri. Kedatangannya ke
Muara Kaman semata-mata hanya dengan satu tujuan. Bukan mau berdagang,
tetapi mau meminang Ratu Aji Bidara Putih!
Kemudian turunlah para utusan sang Pangeran. Mereka menghadap Ratu
AJi Bidara Putih di istana negeri. Mereka membawa barang-barang antik
dari emas, dan keramik Cina yang terkenal. Semua itu mereka persembahkan
sebagai hadiah bagi Ratu Aji Bidara Putih dari junjungan mereka. Sambil
berbuat demikian mereka menyampaikan pinangan Sang Pangeran terhadap
diri Ratu Aji Bidara Putih.
Kali ini sang Ratu tidak langsung menolak. Ia mengatakan bahwa ia
masih akan memikirkan pinangan Sang Pangeran. Lalu dipersilakannya para
utusan kembali ke kapal. Setelah para utusan meninggalkan istana, Ratu
memanggil seorang punggawa kepercayaannya.
“Paman,” ujarnya, “para utusan tadi terasa amat menyanjung-nyanjung
junjungannya. Bahwa pangeran itu tampan, kaya dan perkasa. Aku jadi
ingin tahu, apakaah itu semua benar atau cuma bual belaka. Untuk itu aku
membutuhkan bantuannmu.”
“Apa yang mesti saya lakukan, Tuanku?” tanya si punggawa.
“Nanti malam usahakanlah kau menyelinap secara diam-diam ke atas
kapal asing itu. Selidikilah keadaan pangeran itu. Kemudian laporkan
hasilnya kepadaku.”
“Baik, Tuanku. Perintah Anda akan saya laksanakan sebaik-baiknya.” Ketika
selimut malam turun ke bumi, si punggawa pun berangkat melaksanakan
perintah junjungannya. Dengan keahliannya ia menyeberangi sungai tanpa suara.
Lalu ia melompat naik ke atas geladak kapal yang sunyi. Dengan
gerak-gerik waspada ia menghindari para penjaga. Dengan hati-hati ia
mencari bilik sang pangeran. Sampai akhirnya ia berhasil menemukannya.
Pintu bilik yangsangat mewah itu tertutup rapat. Tetapi keadaan di
dalamnya masih benderang, tanda sang pangeran belum tidur. Si punggawa
mencari celah untuk mengintip kedalam, namun tidak menemukan. Maka
akhirnya ia hanya dapat menempelkan telinga ke dinding bilik,
mendengarkan suara-suara dari dalam.
Pada saat itu sebenarnya sang Pangeran Cina sedang makan dengan
sumpit, sambil sesekali menyeruput arak dari cawan. Suara decap dan
menyeruput mulutnya mengejutkan sipunggawa. “Astaga.. suara ketika makam
mengingatkanku kepada… kepada apa, ya?” pikir si Punggawa sambil
mengingat-ingat. Kemudian si Punggawa benar-benar ingat. Pada waktu ia
berburu dan melihat babi hutan sedang minum di anak
sungai. Suaranya juga berdecap-decap dan menyeruput seperti itu. Ia
juga teringat pada suara dari mulut anjing dan kucing ketika melahap
makanan.
“Ah ya … benar-benar persis … persis seperti suara yang kudengar!
Jadi jangan-jangan..” Tiba-tiba mata si punggawa terbelalak. Seperti
orang teringat sesuatu yang mengejutkan. Hampir serentak dengan itu ia
pun menyelinap meninggalkan tempat bersembunyi. Ia meninggalkan kapal
dan cepat-cepat kembali untuk melaporkan kepada Ratu Aji Bidara Putih.
“Kau jangan mengada-ada, Paman,” tegur Ratu setelah mendengar laporan punggawa itu.
“Saya tidak mengada-ada, Tuanku! Suaranya ketika makan tadi
meyakinkan saya, ” kata si punggawa. “Pangeran itu pasti bukan manusia
seperti kita. Pasti dia siluman! Entah siluman babi hutan, anjing atau
kucing. Pokoknya siluman! Hanya pada waktu siang ia berubah ujud menjadi
manusia! Percayalah Tuanku. Saya tidak mengada-ada..”
Penjelasan si punggawa yang meyakinkan membuat Ratu Aji Bidara Putih
akhirnya percaya. Tidak lucu, pikirnya, kalau ia sampai menikah dengan
siluman. Padahal banyak raja dan pangeran tampan yang telah meminangnya.
Maka pada keesokan harinya dengan tegas ia menyatakan penolakannya
terhadap pinangan pangeran itu.
Sang Pangeran amat murka mendengar penolakan Ratu Aji Bidara Putih. Berani benar putri itu menolaknya. Dalam kekalapannya ia segera memerintahkan pada prajuritnya untuk menyerang negeri Muara Kaman.
Para prajurit itu menyerbu negeri Muara Kaman. Kentara bahwa mereka
lebih berpengalaman dalam seni bertempur. Para prajurit Muara Kaman
terdesak, korban yang jatuh akibat pertempuran itu semakin bertambah
banyak. Sementara para prajurit suruhan sang pangeran makin mendekat ke
arah istana.
Ratu Aji Bidara Putih merasa sedih dan panik. Namun kemudian ia
berusaha menenangkan pikirannya. Ia mengheningkan cipta. setelah itu ia
mengunyah sirih. Kemudian kunyahan sepah sirih digenggamnya erat-erat.
Lalu berkata, “Jika benar aku keturunan raja-raja yang sakti, terjadilah
sesuatu yang dapat mengusir musuh yang sedang mengancam negeriku!”
Serentak dengan itu dilemparkannya sepah sirih itu ke arena
pertempuran… dan , astaga..lihatlah! Tiba-tiba sepah sirih itu berubah
menjadi lipan-lipan raksasa
yang amat banyak jumlahnya! Lipan-lipan yang panjangnya lebih dari satu
meter itu segera menyerang para prajurit Pangeran Cina. Para prajurit
itu menjadi ketakutan. Mereka lari tunggang-langgang dan kembali ke
kapal.
Tetapi lipan-lipan itu tidak berhenti menyerbu. Tiga ekor lipan
raksasa mewakili kelompoknya. Mereka berenang ke kapal, lalu
membalikkannya hingga kapal itu tenggelam beserta seluruh penumpangnya
dan isinya… Tempat bekas tenggelamnya kapal itu hingga kini oleh
penduduk Muara Kaman disebut Danau Lipan. Konon, menurut empunya cerita,
dulu di tempat ini sesekali ditemukan barang-barang antik dari negeri
Cina.
0 komentar:
Posting Komentar