Bulan yang Iri Hati
Langit ditaburi bintang dan bulan yang bersinar indah. Senang sekali
rasanya melihat keindahan malam dari ketinggian. Alam di bawah tampak
sunyi. Hampir di setiap beranda rumah, tampak orang duduk-duduk. Mereka
memandang ke langit.
Bulan merasa senang, lalu katanya kepada bintang-bintang,”Lihat,
teman-teman. Mereka mengagumiku.” “Mengagumimu? Belum tentu. Mungkin
mereka mengagumi kami,” kata sebuah bintang. “Tapi dari bawah, aku
kelihatan lebih besar dan indah!” sahut Bulan. “Huh, sombong!” sungut
sebuah bintang pada teman-temannya.
“Dia boleh saja sombong. Tapi, dia tak kan dapat mengalahkan
Matahari,” kata bintang yang lain. “Apa?” sahut Bulan terkejut. “Ya, kau
tak bisa mengalahkan Matahari. Karena Matahari lebih banyak
penggemarnya. Pagi hari, saat Matahari terbit, orang-orang ingin
menyaksikannya. Waktu Matahari naik, orang-orang berjemur untuk
kesehatan. Selain disukai, Matahari pun disegani. Walaupun ia bersinar
terik, orang-orang tidak mengumpat. Mereka hanya mencari tempat yang
teduh. Matahari mempunyai jasa yang besar, mengeringkan jutaan pakaian
yang dicuci orang. Terus terang, kami pun lebih menyukai Matahari karena
ia hebat,” kata sebuah bintang.
“Tidak sombong lagi!” sahut bintang yang lain. Bulan diam. Ia sangat
kesal. Betulkah Matahari sehebat itu? Sepanjang malam ia tak bisa
tenang. Ia terus berpikir bagaimana mengalahkan Matahari. Akhirnya Bulan
mendapat akal. Pagi datang. Matahari segera menghampiri bulan.
“Selamat pagi, Bulan. Sudah saatnya aku bekerja. Sekarang kau boleh
beristirahat.” “Tidak!” “Lo, kenapa?” tanya Matahari heran. “Aku pun
ingin bekerja pada siang hari,” sahut Bulan. “Bulan, siang hari akulah
yang bertugas. Kau harus beristirahat supaya bisa tampil segara malam
nanti,” kata Matahari. “Tidak! Sebenarnya aku ingin bertarung denganmu,”
kata Bulan. “Bertarung? Bertarung bagaimana?” Matahari makin bingung.
“Bintang-bintang mengatakan kau lebih hebat dariku. Aku ingin lihat, apa
benar kau lebih hebat?” “Bagaimana caranya?” tanya Matahari.
“Aku akan tetap tinggal di sini bersamamu. Lalu kita lihat, siapa
yang lebih disukai orang-orang,” kata Bulan. “Ha ha ha,” Matahari
tertawa geli. “Bulan, di pagi hari kau tak kan terlihat. Sinarku lebih
kuat dari sinarmu. Jadi apa gunanya?”
Bulan tidak peduli. Ia ingin tetap tinggal bersama Mathari. Tetapi,
kemudian ia kecewa. Sepanjang hari ia di sana, tak seorang pun
menyapanya. Mereka hanya menyapa Matahari. “Hu hu, tak seorang pun
menyukaiku. Bintang-bintang benar, Matahari lebih hebat dariku,” Bulan
menangis sedih.
“Benar ‘kan Matahari lebih hebat,” kata bintang-bintang yang
mengelilinginya. “sekarang beristirahatlah, Bulan. Malam segera tiba.”
“Tidak, aku tidak mau! Tak seorang pun menyukaiku. Apa gunanya aku ada
di sana?” sahut Bulan sedih. “Bulan, dengarlah! Matahari itu tak sehebat
yang kau kira. Tapi, kami senang pada Matahari. Karena ia tidak
sombong. Kami pun senang padamu, asalkan kau tak sombong. Sebenarnya kau
dan Matahari tak bisa dibandingkan. Masing-masing punya kelebihan.
Sudahlah, jangan menangis lagi,” hibur sebuah Bintang pada Bulan.
Bulan berhenti menangis. Benar apa yang dikatakan Bintang. Ia tak
boleh sombong. “Bulan, coba lihat!” kata sebuah bintang. Di bawah,
sekelompok anak melambai-lambaikan tangan. “Ya, mereka menginginkan kau
menerangi tempat itu. “Tapi uaaaah….” Bulan menguap. “Bulan mengantuk
karena sepanjang siang tidak tidur. Biarlah untuk malam ini ia
istirahat,” kata bintang-bintang.
Malam itu Bulan tidak bekerja. Ia tertidur dengan nyenyak. Biarlah
malam itu langit tak dihiasi Bulan. Yang penting, Bulan telah menyadari
kesalahannya. Ia tak lagi sombong dan tetap hadir setiap malam.
0 komentar:
Posting Komentar