Makna Ibadah Haji Dan Pelestarian Haji Mabrur
Kemabruran ibadah haji adalah merupakan sebuah proses yang terus kita
upayakan dalam kehidupan sehari-hari setelah kepulangan menunaikan
ibadah haji. Upaya pelestarian haji mabrur sebenarnya merupakan
pengejawantahan dari amal-amal kita selama menunaikan ibadah haji.
Relevansi makna ibadah haji dan upaya pelestarian haji mabrur tersebut
antara lain:
1. Sikap taat dan patuh dalam melakukan sesuatu sesuai dengan aturan, tidak semaunya sendiri. Allah SWT dalam penciptaan alam semesta ini, segala sesuatunya sesuai dengan aturan dan terkontrol. Cerminan sikap ini merupakan implementasi dari pengambilan Miqot Haji dan ihram, artinya ketika kita melaksanakan ibadah haji haruslah berniat ihram haji atau umrah dari Miqot yang sudah ditentukan, tidak boleh di sembarang tempat, apalagi semaunya sendiri. Dalam berihram sendiri, di dalamnya mengandung larangan-larangan ihram yang harus dipatuhi. Maknanya, ketika kita melakukan sesuatu hal haruslah sesuai dengan aturan. Syukur alhamdulillah jika aturan tersebut berdasarkan pada tuntunan agama yaitu Al Quran dan Sunah Rasulullah SAW. Insya Allah jika kita berpegang pada dua hal tersebut kita akan selamat dunia akhirat.
2. Sikap selalu mendahulukan seruan atau panggilan Allah SWT daripada kepentingan yang lain. Sikap ini tercermin dari lafadz talbiyah yang sering kita kumandangkan ketika kita melakasanakan ibadah haji. “Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik La Syarikalak”. “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu, Tidak ada sekutu bagi-Mu”.
3. Sikap selalu melakukan koreksi diri atau introspeksi, agar kehidupan lebih baik. Sikap ini merupakan cerminan dari kegiatan wukuf kita. Selama wukuf disunahkan jamaah haji berdzikir, tafakur dan taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini bermakna pula kita melakukan introspeksi, menghitung seberapa besar taat kita pada perintah-perintah Allah SWT dan seberapa besar pula kita bermaksiat kepada Allah SWT. Seberapa besar pula nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita selama ini. Berat manakah timbangannya? Apakah taat kita kepada Allah SWT atau maksiat kita kepada Allah SWT? Sudakkah kita melakukan introspeksi ini. Pasti berat timbangan maksiatnya? Kita akui saja! Selanjutnya adakah kita menyesalinya dan bertobat dengan taubatan nasuha? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus selalu kita ajukan dalam diri kita dalam upaya melakukan introspeksi agar hidup kita lebih baik.
4. Sikap selalu menghidarkan diri dari hal-hal atau perbuatan yang merugikan diri sendiri atau tidak bermanfaat. Hal ini tercermin dari sikap kita untuk menjaga larangan-larang ihram selama berhaji. Larangan ihram berupa larangan melakukan rafats (berkata kotor, jorok), fusuq (bermaksiat kepada Allah SWT, perbuatan fasiq), jidal (berbantah-bantahan, adu mulut), memotong pepohonan dan menyakiti orang lain adalah upaya kita untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu kita terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Tindakan ini merupakan latihan agar nantinya sepulang haji, kita bisa mengendalikan diri dari dorongan negatif hawa nafsu kita. Sikap tersebut juga mencerminkan sikap toleransi kita terhadap sesama. Menghormati hak-hak orang lain adalah perintah agama karena di hadapan Allah SWT kita adalah sama. Ini adalah cermin dari pakaian ihram kita. Allah SWT tidak melihat status sosialnya, jabatannya atau pangkatnya melainkan ketaqwaannyanya yang akan dilihat Allah SWT.
5. Sikap akan cinta damai, berjiwa sosial dan tolong-menolong serta memberi kesempatan orang lain dalam berbuat kebajikan. Selalu berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Sikap ini merupakan cerminan dari kegiatan thawaf. Ketika thawaf, kita bisa saksikan, beribu-ribu orang melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, mengeliling Ka’bah secara teratur. Selama pengalaman penulis berhaji, belum ada jamaah haji yang meninggal karena terinjak-injak ketika thawaf, justru ketika ada orang yang jatuh maka serentak orang yang berada di sekelilingnya akan menolong orang tersebut. Ketika memulai thawaf, cukup hanya melambaikan tangan ke Hajar Aswad kemudian mengecupnya. Ini mencerminkan sikap mengalah dan memberikan kesempatan orang lain untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Sebenarnya masih banyak makna-makna amaliyah ibadah haji yang memberikan pelajaran kepada kita yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sekepulangan kita menunaikan ibadah haji. Point-point tersebut adalah sebagian kecil yang bisa penulis sampaikan. Akan lebih baik jika Anda yang telah menunaikan ibadah haji bisa mengambil makna-makna ibadah haji Anda sendiri, karena setiap jamaah haji memiliki pengalaman-pengalaman sendiri yang berbeda satu sama lain. Ambillah hikmahnya dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Syekh Hasan Muhammad Al Mussyath menjelaskan bahwa tanda-tanda kemabruran haji seseorang adalah apabila mampu membentuk kepribadiannya setelah melaksanakan ibadah haji berubah menjadi lebih baik daripada sebelumnya dan tidak lagi mengulang maksiatnya.
1. Sikap taat dan patuh dalam melakukan sesuatu sesuai dengan aturan, tidak semaunya sendiri. Allah SWT dalam penciptaan alam semesta ini, segala sesuatunya sesuai dengan aturan dan terkontrol. Cerminan sikap ini merupakan implementasi dari pengambilan Miqot Haji dan ihram, artinya ketika kita melaksanakan ibadah haji haruslah berniat ihram haji atau umrah dari Miqot yang sudah ditentukan, tidak boleh di sembarang tempat, apalagi semaunya sendiri. Dalam berihram sendiri, di dalamnya mengandung larangan-larangan ihram yang harus dipatuhi. Maknanya, ketika kita melakukan sesuatu hal haruslah sesuai dengan aturan. Syukur alhamdulillah jika aturan tersebut berdasarkan pada tuntunan agama yaitu Al Quran dan Sunah Rasulullah SAW. Insya Allah jika kita berpegang pada dua hal tersebut kita akan selamat dunia akhirat.
2. Sikap selalu mendahulukan seruan atau panggilan Allah SWT daripada kepentingan yang lain. Sikap ini tercermin dari lafadz talbiyah yang sering kita kumandangkan ketika kita melakasanakan ibadah haji. “Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik La Syarikalak”. “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu, Tidak ada sekutu bagi-Mu”.
3. Sikap selalu melakukan koreksi diri atau introspeksi, agar kehidupan lebih baik. Sikap ini merupakan cerminan dari kegiatan wukuf kita. Selama wukuf disunahkan jamaah haji berdzikir, tafakur dan taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini bermakna pula kita melakukan introspeksi, menghitung seberapa besar taat kita pada perintah-perintah Allah SWT dan seberapa besar pula kita bermaksiat kepada Allah SWT. Seberapa besar pula nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita selama ini. Berat manakah timbangannya? Apakah taat kita kepada Allah SWT atau maksiat kita kepada Allah SWT? Sudakkah kita melakukan introspeksi ini. Pasti berat timbangan maksiatnya? Kita akui saja! Selanjutnya adakah kita menyesalinya dan bertobat dengan taubatan nasuha? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus selalu kita ajukan dalam diri kita dalam upaya melakukan introspeksi agar hidup kita lebih baik.
4. Sikap selalu menghidarkan diri dari hal-hal atau perbuatan yang merugikan diri sendiri atau tidak bermanfaat. Hal ini tercermin dari sikap kita untuk menjaga larangan-larang ihram selama berhaji. Larangan ihram berupa larangan melakukan rafats (berkata kotor, jorok), fusuq (bermaksiat kepada Allah SWT, perbuatan fasiq), jidal (berbantah-bantahan, adu mulut), memotong pepohonan dan menyakiti orang lain adalah upaya kita untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu kita terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Tindakan ini merupakan latihan agar nantinya sepulang haji, kita bisa mengendalikan diri dari dorongan negatif hawa nafsu kita. Sikap tersebut juga mencerminkan sikap toleransi kita terhadap sesama. Menghormati hak-hak orang lain adalah perintah agama karena di hadapan Allah SWT kita adalah sama. Ini adalah cermin dari pakaian ihram kita. Allah SWT tidak melihat status sosialnya, jabatannya atau pangkatnya melainkan ketaqwaannyanya yang akan dilihat Allah SWT.
5. Sikap akan cinta damai, berjiwa sosial dan tolong-menolong serta memberi kesempatan orang lain dalam berbuat kebajikan. Selalu berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Sikap ini merupakan cerminan dari kegiatan thawaf. Ketika thawaf, kita bisa saksikan, beribu-ribu orang melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, mengeliling Ka’bah secara teratur. Selama pengalaman penulis berhaji, belum ada jamaah haji yang meninggal karena terinjak-injak ketika thawaf, justru ketika ada orang yang jatuh maka serentak orang yang berada di sekelilingnya akan menolong orang tersebut. Ketika memulai thawaf, cukup hanya melambaikan tangan ke Hajar Aswad kemudian mengecupnya. Ini mencerminkan sikap mengalah dan memberikan kesempatan orang lain untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Sebenarnya masih banyak makna-makna amaliyah ibadah haji yang memberikan pelajaran kepada kita yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sekepulangan kita menunaikan ibadah haji. Point-point tersebut adalah sebagian kecil yang bisa penulis sampaikan. Akan lebih baik jika Anda yang telah menunaikan ibadah haji bisa mengambil makna-makna ibadah haji Anda sendiri, karena setiap jamaah haji memiliki pengalaman-pengalaman sendiri yang berbeda satu sama lain. Ambillah hikmahnya dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Syekh Hasan Muhammad Al Mussyath menjelaskan bahwa tanda-tanda kemabruran haji seseorang adalah apabila mampu membentuk kepribadiannya setelah melaksanakan ibadah haji berubah menjadi lebih baik daripada sebelumnya dan tidak lagi mengulang maksiatnya.
http://arrafiiyah-arrafiiyah.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar