Pak Serkah
Pada suatu masa, hiduplah Pak Serkah dan keluarganya. Pak Serkah
hanya bekerja sebagai pedagang keliling. Hidupnya serba kecukupan. Dia
mempunyai seorang anak
perempuan yang bernama Nana. Barang-barang yang dijualnya ada ember,
gayung, tempat minum, tempat makan, dan lain-lain. Semua barang
dagangannya itu dimasukkan-nya kedalam sebuah gerobak tua pemberian
Kakeknya yang sudah meninggal. Itulah hadiah terakhir Pak Serkah dari
Kakeknya.
Pada suatu hari, seperti biasa, Pak Serkah berkeliling menjual
dagangannya. Namun, apa yang terjadi? Dagangan Pak Serkah tidak laku
sama sekali. Pak Serkah duduk di taman kota sambil termenung. “Oh…
sungguh malang nasibku ini…”, gumam Pak Serkah dalam hati.
Tiba-tiba seorang Kakek tua yang berwajah mirip sekali dengan Kakek
Pak Serkah datang. Dia berpakaian kumal, penuh tambalan, dan membawa
sebuah topi berisi beberapa keping uang receh. Ternyata dia adalah
seorang pengemis.
“Maaf, Pak, jujur, saya ingin membantu. Tapi dagangan saya hari ini
tidak laku sama sekali. Jadi, saya tidak memiliki uang…”, kata Pak
Serkah. “Oh… terima kasih,”,
kata Pengemis itu, lalu berbalik arah. “Tunggu dulu, Kek! Tapi Kakek
boleh mengambil salah satu dari barang saya ini. Saya ikhlas, kok!”,
ujar Pak Serkah.
Kakek Pengemis itu lalu berbalik arah lagi, lalu mengambil salah satu
barang dari gerobak Pak Serkah. “Terima kasih, Nak! Semoga Allah
memberimu balasan yang lebih besar. Tapi ingat, setelah kau menjadi
kaya, sisihkanlah sebagian uangmu dan gunakanlah untuk beramal,”, kata
Pengemis itu.
Pengemis itu pun pergi. Tak berapa lama setelah Pengemis itu pergi, sebuah bus berhenti di situ. Semua penumpang turun dan mengerubungi Pak Serkah. Ada yang membeli ember, gayung, topi, dan lain-lain. Semuanya laku terjual. Bahkan tempat minum bocor pun laku.
Pak Serkah melongo. “Bagaimana ini bisa terjadi?”, gumam Pak Serkah bingung. Sudahlah… ini kan rejeki, rejeki patut disyukuri… Pak Serkah menenangkan diri.
Saat Pak Serkah menengok ke gerobaknya, Pak Serkah melihat tempat
makannya dan topi yang robek pun laku terbeli. Pak Serkah mulai sadar,
kalau segala barang yang dimasukkannya ke dalam gerobak itu pasti akan
laku terjual.
Pak Serkah lalu pulang ke rumahnya dengan wajah yang berseri-seri. “Kenapa Bapak terlihat begitu bahagia,
Pak?”, tegur Nana. “Mungkin semua dagangannya laku terjual,”, kata Bu
Tiauw, istri Pak Serkah. “Benarkah, Bapak?”, Tanya Nana. Pak Serkah
mengangguk.
Keesokan harinya, Pak Serkah mulai memasukkan barang dagangannya ke
dalam gerobak kesayangannya itu. Dan…. seperti kemarin, semua barang
yang ditaruh di situ laku semua!
“Alhamdulillah…”, gumam Pak Serkah bangga.
Semakin lama, Pak Serkah menjadi kaya. Rumah nya yang terbuat dari
gedek’ (anyaman), sekarang sudah dibangun menjadi dinding dari beton,
dia sekarang sudah memiliki sawah yang berhektar-hektar luasnya,
kebunnya sangatlah luas, dan dia juga sudah memiliki kios tersendiri.
Semua barang dagangannya ditaruh di gerobak ajaibnya, supaya cepat laku.
Semakin lama, Pak Serkah memang menjadi kaya. Namun, semakin lama, Pak
Serkah membagi uangnya menjadi tiga bagian. Satu itu keperluan keluarga,
satu untuk membeli barang dagangan, dan satu untuk beramal. Pak Serkah
semakin lama berpikir kalau semuanya itu adalah kenikmatan yang patut
disyukuri. Tapi, Pak Serkah malah tidak begitu mensyukurinya. Uang yang
disisihkannya untuk beramal kini semakin menipis, bahkan sekarang tidak
ada lagi beramal. Dia hanya membagi uangnya menjadi dua. Satu untuk
keluarga, dan satunya lagi untuk membeli barang.
Pak Serkah merasa ingin membeli traktor untuk sawahnya, lalu ingin membangun kolam ikan di kebun yang harganya mahal, membuat peternakan, dan bahkan, Pak Serkah ingin membeli sawah lagi!
“Pak… kenapa Bapak sekarang tidak pernah beramal lagi?”, tegur Nana
suatu saat, saat mereka makan malam bersama. “Eeee…. Mmm…. sebenarnya
Bapak juga ingin memberi mereka sedekah, Nak. Bapak jujur….”, kata Pak
Serkah. “Kalau begitu, kenapa sekarang Bapak tidak menyisihkan uang
untuk beramal lagi?”, Tanya Bu Tiauw.
“Begini, Bu, semakin lama kebutuhan kita semakin banyak saja. Kalau
saja kebutuhan kita tidak sebanyak ini, Bapak pasti akan bersedekah.”,
Pak Serkah memberi alasan. “Ah, itu cuma alasanmu saja, Pak. Pokoknya,
aku ingin kita bersedekah.”, kata Bu Tiauw. “Jangan memaksa, Bu…”, kata
Pak Serkah. “Bapak, kalau Bapak tidak mau beramal, nanti, di akhirat
nanti, Bapak pasti akan dihukum oleh Allah SWT.”, kata Nana.
“Kalian berdua sama saja. Pokoknya aku nggak mau. Aku merasa sekarang
kebutuhan kita semakin bertambah, jadi, uang yang kita butuhkan semakin
banyak juga,”, kata Pak Serkah. “Bapak ngomongnya kok diulang-ulang
terus, sih? Kayak kaset rusak aja, deh!”, ledek Nana. “Gggrrrhhh….. kamu
ini anak kecil kok!!!”, marah Pak Serkah.
Pak Serkah tidak peduli dengan apa yang dikatakan Bu Tiauw dan Nana,
akhirnya, Pak Serkah tidak mau beramal. Tidak mau beramal meski hanya
sedikit.
Namun, disamping itu, Bu Tiauw dan Nana selalu beramal dan berinfaq. Diam-diam, kadang, Bu Tiauw mengambil sebagian uang Pak Serkah untuk diinfaqkan. Bu Tiauw dan Nana memang berhati mulia.
Pada suatu hari, saat Pak Serkah melihat dompetnya, Pak Serkah
kebingungan, uang sebesar Rp. 200.000,00 nya hilang. Pak Serkah tidak
tahu kalau Bu Tiauw mengambilnya.
“Bu, tadi ada pencuri yang mengubek-ubek dompetku, nggak?”, Tanya Pak
Serkah pada Bu Tiauw. “Nggak ada, kok! Tapi cuma aku dan Nana yang
masuk. Dan kami berdua pastinya bukan pencuri, kan?”, jawab Bu Tiauw,
pura-pura tidak tahu.
“Ya Allah…. apakah ini hukumanmu bagi hambamu yang kurang bertaqwa
ini?”, gumam Pak Serkah dalam hati. Mulai dari hari itu juga, Pak Serkah
rajin beramal dan berinfaq lagi. Uangnya dibagi menjadi tiga bagian
lagi.
“Bu, apakah Bapak sudah insyaf?”, Tanya Nana suatu saat. “Bukannya
insaf Nana… Tapi Bapak-mu itu sudah menyadari kesalahannya. Jadi, dia
berusaha menghapus kesalahannya itu,”, jelas Bu Tiauw. “Oh…”, kata Nana
mengerti.
Tiba-tiba Pak Serkah datang. “Bu… semua amalan sudah saya berikan.
Saya sudah meminta maaf kepada Allah yang maha esa. Sekarang, tidak ada
lagi pencuri yang mengambil uangku. Mungkin Allah sudah mau
mengampuniku,”, kata Pak Serkah. “Pak… sebenarnya ini rahsia. Tapi yang
namanya keluarga tidak boleh ada rahasia-rahasiaan.”, kata Bu Tiauw.
“Ok!” “Tidak ada pencuri yang datang. Semuanya aman. Akulah yang
mengambilnya untuk beramal. Tapi maaf kalau aku tidak bilang,”, jelas Bu
Tiauw. Hahaha… Mereka bertiga pun tertawa terbahak-bahak.
“Aku tidak akan sombong lagi, dan kau juga tidak boleh mengambil uang orang tanpa ijin ya, Bu…”, kata Pak Serkah. “Aku senang Bapak menjadi orang yang baik lagi, Pak…”, kata Bu Tiauw.
Perlu diketahui, orang yang pelit akan mempersempit rejekinya. Dan
suka beramal bukan membuat orang yang beramal menjadi miskin. Akan
tetapi, di akhirat nanti, Allah pasti akan membalas kebaikan dengan
kebaikan. Dan begitu pula sebaliknya.
0 komentar:
Posting Komentar