7 Kaidah dalam Menagih Utang (02)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Kaidah Ketiga, memberikan utang termasuk
transaksi sosial. Amal soleh yang berpahala. Karena itu, orang yang
memberi utang dilarang mengambil keuntungan karena utang yang diberikan,
apapun bentuknya selama utang belum dilunasi.
Sahabat Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu mengatakan,
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.”
Keuntungan yang dimaksud dalam riwayat di atas mencakup semua bentuk
keuntungan, bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan. Dari Abdullah bin
Sallam radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهْدَى إِلَيْكَ
حِمْلَ تِبْنٍ، أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ، أَوْ حِمْلَ قَتٍّ، فَلاَ تَأْخُذْهُ
فَإِنَّهُ رِبًا
“Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi
memberikan fasilitas kepadamu dengan membawakan jerami, gandum, atau
pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari
3814).
Kemudian, diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى له أو حمله على الدابة فلا يركبها ولا يقبله
“Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian
(orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi
layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya
dan jangan menerimanya.” (HR. Ibnu Majah 2432)
Keempat, terkait nilai penurunan mata uang. Orang yang memberi utang, hendaknya siap menerima resiko penurunan
nilai mata uang. Karena ulama sepakat, orang yang memberi utang hanya
berhak meminta pengembalian sebesar uang yang dia berikan, tanpa
memperhatikan keadaan penurunan nilai mata uang.
Dalam Mursyid al-Hairan – kitab mumalah madzhab hanafi – dinyatakan,
وإن استقرض شيئا من المكيلات والموزونات والمسكوكات من الذهب والفضة فرخصت أسعارها أو غلت فعليه رد مثلها ولا عبرة برخصها أو غلائها
Apabila orang berutang sesuatu berupa barang yang ditakar, atau
ditimbang atau emas perak yang dicetak, kemudian harganya mengalami
penurunan atau kenaikan, maka dia wajib mengembalikan utangnya sama
seperti yang dia pinjam. Tanpa memperhitungkan penurunan maupun kenaikan
harga. (Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwalil Insan fil Muamalat ’ala
Madzhabi Abu hanifah an-Nu’man, keterangan no. 805).
Ibnu Abidin mengatakan semisal,
إنه لا يلزم لمن وجب له نوعٌ منها سواه بالإجماع
Tidak ada kewajiban bagi orang yang memiliki utang selain yang sama
dengannya, dengan sepakat ulama. (Tanbih ar-Ruqud ’ala Masail an-Nuqud,
hlm. 64).
Demikian keterangan dalam madzhab hanafi. Keteranga yang sama juga disampaikan dalam madzhab Syafiiyah.
As-Syairazi mengatakan,
ويجب على المستقرِض ردُّ المثل فيما له مثل؛ لأن مقتضى القرض: رد المثل
Wajib bagi orang yang berutang untuk mengembalikan yang semisal,
untuk harta yang ada padanannya. Karena konsekuensi utang adalah
mengembalikan dengan yang semisal. (al-Muhadzab, 2/81).
Kemudian, keterangan dalam Madzhab Hambali, kita simpulkan dari penjelasan Ibnu Qudamah,
الْمُسْتَقْرِضَ يَرُدُّ الْمِثْلَ فِي الْمِثْلِيَّاتِ، سَوَاءٌ رَخُصَ سِعْرُهُ أَوْ غَلَا، أَوْ كَانَ بِحَالِهِ
Orang yang berutang wajib mengembalikan yang semisal, untuk barang
yang memiliki padanan. Baik harganya turun maupun naik atau sesuai
keadaan awal. (al-Mughni, 4/244).
Di tempat lain, Beliau mengatakan bahwa itu sepakat ulama,
ويجب رد المثل في المكيل والموزون. لا نعلم فيه خلافا. قال
ابن المنذر: أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم، على أن من أسلف سلفا، مما
يجوز أن يسلف، فرد عليه مثله، أن ذلك جائز وأن للمسلف أخذ ذلك
Wajib mengembalikan yang semisal untuk barang yang ditakar maupun
ditimbang. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.
Ibnul Mundzir mengatakan,
”Semua ulama yang kami ketahui, mereka sepakat bahwa orang yang
berutang sesuatu yang halal, kemudian dia menembalikan dengan semisal,
maka hukumnya boleh dan bagi pemberi utang, bisa
menerimanya.” (al-Mughni, 4/239).
Kelima, apabila uang yang dulu tidak berlaku Utang dengan uang masa silam, kemudian masyarakat tidak lagi
memberlakukannya, dengan apapun sebabnya, maka yang wajib dilakukan
adalah mengembalikan dengan mata uang yang senilai dengan mata uang yang
tidak berlaku itu atau dengan emas atau perak. Karena untuk
mengembalikan yang semisal (al-Mitsl) tidak memungkinkan, sehingga dikembalikan dalam bentuk nilai (al-Qimah).
Ibnu Qudamah mengatakan,
وَإِنْ كَانَ الْقَرْضُ فُلُوسًا أو مكسرة فَحَرَّمَهَا
السُّلْطَانُ، وَتُرِكَتْ الْمُعَامَلَةُ بِهَا، كَانَ لِلْمُقْرِضِ
قِيمَتُهَا، وَلَمْ يَلْزَمْهُ قَبُولُهَا، سَوَاءٌ كَانَتْ قَائِمَةً فِي
يَدِهِ أَوْ اسْتَهْلَكَهَا ؛ لِأَنَّهَا تَعَيَّبَتْ فِي مِلْكِهِ
Apabila utang dalam bentuk uang kertas atau uang logam, kemudian
pemerintah menariknya, dan tidak lagi menggunakan jenis uang ini, maka
orang mengutangi berhak mendapat uang yang senilai. Dan dia tidak harus
menerima uang kuno itu, baik uang yang diutangkan itu masih ada di
tangan maupun sudah rusak. Karena tidak memungkinkan untuk memilikinya.
(al-Mughni, 4/244).
Kemudian beliau menegaskan,
يقومها كم تساوي يوم أخذها؟ ثم يعطيه، وسواء نقصت قيمتها قليلا أو كثيرا
Dia tentukan berapa nilai uang ketika dia mengambilnya. Kemudian dia
berikan uang itu. Baik nilainya turun sedikit maupun banyak. (al-Mughni,
4/244).
Sebagai ilustrasi, tahun 1991 si A memberi utang 50 rb bergambar
presiden orba. Di tahun 2011 si B melunasi dengan uang 50 rb bergambar I
Gusti Ngurah Rai. Karena uang kuno, tidak berlaku. Meskipun nilai 50 rb
dari tahun 1991 hingga 2011 mengalami penurunan yang sangat tajam.
Keenam, pembayaran utang dalam bentuk yang lain Dibolehkan menerima pembayaran utang dalam bentuk yang lain, misalnya
utang uang dibayar emas, atau utang rupiah dibayar dollar, atau
semacamnya dengan syarat,
- Kesepakatan beda jenis pembayaran ini tidak dilakukan pada saat utang, namun baru disepakati pada saat pelunasan.
- Menggunakan standar harga waktu pelunasan, dan bukan harga waktu utang.
Keterangan di atas, berdasarkan keputusan Majma’ al-Fiqhi al-Islami no. 75 (6/7), yang menyatakan,
يجوز أن يتفق الدائن والمدين يوم السداد – لا قبله – على أداء الدين بعملة مغايرة لعملة الدين، إذا كان ذلك بسعر صرفها يوم السداد
Boleh dilakukan kesepakatan antara kreditur dan debitur pada waktu
pelunasan – bukan pada waktu sebelumnya – untuk pelunasan utang dengan
mata uang yang berbeda dengan mata uang ketika utang. Jika estándar
harga sesuai harga tukar uang itu, waktu pelunasan.
Dalil bolehnya hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, bahwa beliau menjual onta di Baqi’ dengan dinar, dan mengambil
pembayarannya dengan dirham. Kemudian beliau mengatakan,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُلْتُ: إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ
الدَّرَاهِمَ، قَالَ: «لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَ بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا
لَمْ تَفْتَرِقَا، وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ»
Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kusampaikan,
”Saya menjual onta di Baqi’ dengan dinar secara kredit dan aku menerima
pembayarannya dengan dirham. Beliau bersabda,
”Tidak masalah kamu mengambil dengan harga hari pembayaran, selama
kalian tidak berpisah, sementara masih ada urusan jual beli yang belum
selesai.” (HR. Ahmad 5555, Nasai 4582, Abu Daud 3354, dan yang lainnya).
Sebagai ilustrasi,
Misal, tahun 1991 harga emas 25 rb/gr. Tahun 2014 harga emas 400
rb/gr. Tahun 91, uang rp 1 jt mendapat 40 gr emas, tahun 2014, hanya
mendapat 2,5 gr.
Tahun 1991 si A utang 1 jt ke si B. Selanjutnya mereka berpisah lama.
Tahun 2014, mereka ketemu dan si B meminta utang si A dilunasi dengan
emas. Ada beberapa kasus di sini,
- Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan 40 gr emas
- Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan uang senilai 40 gr emas, sekitar 16 jt.
- Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan 2,5 gr emas
- Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan uang senilai 2,5 gr emas, sehingga nilainya tetap 1 juta.
Dari keempat kasus di atas, untuk kasus poin a dan poin b statusnya terlarang, karena termasuk riba dalam utang piutang. Dan ini tidak memenuhi syarat kedua seperti yang disebutkan dalam fatwa di atas, meskipun tahun 1991, mereka tidak pernah melakukan kesepakatan ini.
Sementara kasus poin c dan poin d ini yang benar, memenuhi kedua syarat yang disebutkan dalam fatwa di atas.
Secara sederhana, si B mengalami kerugian. Karena nilai 1 juta dulu
dan sekarang, jauh berbeda. Namun sekali lagi, ini konsekuensi utang
piutang. Pemberi utang mendapatkan pahala karena membantu orang lain, di
sisi lain, dia harus siap dengan konsekuensi penurunan nilai mata uang.
Ketujuh, kelebihan dalam pelunasan utang Dibolehkan adanya kelebihan dalam pelunasan utang dengan syarat,
- Tidak ada kesepakatan di awal
- Dilakukan murni atas inisiatif orang yang berutang
- Bukan tradisi masyarakat setempat
Dalilnya hadis dari Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من
رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ
أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو
رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ
إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
Pada suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang
seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi’
untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak
selang beberapa saat, Abu Raafi’ kembali menemui beliau dan berkata:
“Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun.” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah
unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling
baik pada saat melunasi piutangnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Akan tetapi, jika keberadaan tambahan ini diberikan karena ada
kesepakatan di awal, atau permintaan pihak yang menghutangi (kreditor),
atau karena masyarakat setempat memiliki kebiasaan bahwa setiap utang
harus bayar lebih, maka tambahan semacam ini terhitung riba.
Demikian beberapa kaidah terkait penagihan utang. Semoga Allah
menjadikan kita muslim yang selalu menyesuaikan diri dengan aturan
syariat.
0 komentar:
Posting Komentar