Mencintai Kebaikan Untuk Sesama
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)
1. Perasaan Senasib Sepenanggungan
Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah berkata,
“Sebagian
ulama mengatakan: Di dalam hadits ini terdapat kandungan fikih/ilmu
bahwasanya seorang mukmin dengan orang mukmin yang lain laksana satu
jiwa, maka semestinya dia mencintai baginya apa yang dicintainya bagi
dirinya karena pada dasarnya mereka berdua adalah satu jiwa yang sama.
Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain, “Orang-orang yang
beriman itu seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh
mengeluh kesakitan, maka seluruh anggota tubuh yang lain ikut merasakan
sakitnya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586).” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 119)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Hanya saja orang-orang beriman itulah yang bersaudara.” (QS. al-Hujurat: 10). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang beriman lelaki maupun perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. at-Taubah: 31)
2. Mencintai Kebaikan Untuk Semua
Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata,
“Sesungguhnya
tidak sempurna keimanan salah seorang kaum muslimin sampai dia
mencintai kebaikan dunia dan akhirat bagi saudaranya sesama muslim
sebagaimana halnya dia menyukai hal itu bagi dirinya. Dan kebaikan di
sini lebih luas daripada sekedar kebaikan dunia dan akhirat. Sebab orang
yang menyimpan perasaan hasad/dengki terhadap orang lain atas
kenikmatan yang Allah berikan kepadanya maka itu artinya keimanan orang
itu lemah berdasarkan dalil hadits ini, “Tidak beriman salah seorang
diantara kalian.” Artinya tidak sempurna keimanannya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 103)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,
“Yang lebih tepat ialah menafsirkan persaudaraan
di dalam hadits ini dengan persaudaraan yang bersifat umum, sehingga ia
mencakup saudara yang kafir maupun yang muslim. Maka dia mencintai bagi
saudaranya yang kafir apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri yaitu
supaya dia masuk ke dalam Islam. Sebagaimana dia juga mencintai bagi
saudaranya yang muslim untuk tetap istiqomah di atas Islam. Oleh sebab
itu mendoakan hidayah bagi orang kafir adalah sesuatu yang dianjurkan.
Penafian iman di dalam hadits ini maksudnya adalah penafian iman yang
sempurna dari orang yang tidak mencintai bagi saudaranya apa yang dia
cintai bagi dirinya.” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 118)
3. Dakwah Sebagai Bukti Kecintaan
Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata,
“Ini
artinya, menyampaikan kebaikan kepada umat manusia adalah termasuk
keimanan. Janganlah ada yang mengira bahwasanya apa yang dilakukan oleh
seseorang dengan mendakwahi orang menuju Allah atau mengajarkan ilmu
-apabila dia jujur dengan amalnya untuk Allah- bahwasanya hal itu akan
lenyap begitu saja sia-sia, bahkan meskipun tidak ada seorang pun yang
menerima dakwahmu. Sebab kamu tetap akan mendapatkan pahala. Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa pun yang kalian kerjakan berupa
kebaikan maka Allah mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah: 197). Sebagian para
nabi ‘alaihimus salam sebagaimana diceritakan di dalam Shahihain dari
hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu; ada diantara mereka yang dakwahnya
diterima oleh orang-orang, dan sebagian mereka tidak ada yang menerima
dakwahnya kecuali satu orang saja, bahkan sebagian lagi tidak ada
seorang pun yang menerima dakwahnya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 105)
4. Rendah Hati dan Tidak Hasad
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
“Hadits ini
menunjukkan bahwasanya seorang mukmin akan merasa susah dengan apa yang
membuat susah saudara mukmin yang lain dan dia menginginkan kebaikan
bagi saudaranya yang beriman itu sebagaimana apa yang dia inginkan bagi
dirinya. Ini semua hanya bisa terlahir dari hati yang bersih dari sifat
curang, perasaan dengki, dan hasad.
Karena sifat hasad itu akan membuat orang yang hasad tidak senang
apabila ada orang lain yang melampaui dirinya dalam kebaikan atau
menyamai dirinya dalam hal itu. Karena dia lebih suka menonjolkan
dirinya sendiri di tengah-tengah manusia dengan keutamaan-keutamaannya
dan memiliki itu semuanya seorang diri. Padahal, keimanan menuntut
sesuatu yang bertentangan dengan sikap semacam itu. Orang yang imannya
benar pasti akan menyukai apabila semua orang beriman juga ikut serta
merasakan kebaikan yang dianugerahkan Allah kepada dirinya tanpa sedikit
pun mengurangi apa yang ada padanya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 163)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Itulah negeri
akherat yang Kami peruntukkan bagi orang-orang yang tidak menginginkan
ketinggian di muka bumi (kesombongan) dan tidak pula menghendaki
kerusakan (kemaksiatan).” (QS. al-Qashash: 83)
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
“Sebagian ulama
salaf berkata: Tawadhu’/sifat rendah hati itu adalah engkau menerima
kebenaran dari siapa pun yang datang membawanya, meskipun dia adalah
anak kecil. Barangsiapa yang menerima kebenaran dari siapa pun yang
membawanya entah itu anak kecil atau orang tua, entah itu orang yang dia
cintai atau tidak dia cintai, maka dia adalah orang yang tawadhu’. Dan
barangsiapa yang enggan menerima kebenaran karena merasa dirinya lebih
besar/lebih hebat daripada pembawanya maka dia adalah orang yang
menyombongkan diri.” (lihatJami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 164)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Para
ulama berbeda pandangan mengenai definisi hasad. Sebagian mengatakan
bahwa hasad adalah berangan-angan agar suatu nikmat yang ada pada orang
lain menjadi hilang. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hasad adalah
membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain. Inilah yang
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau
mengatakan: Apabila seorang hamba membenci nikmat yang Allah berikan
kepada orang lain maka dia telah hasad kepadanya, meskipun dia tidak
mengangankan nikmat itu lenyap.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 164)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Apakah mereka menyimpan perasaan dengki terhadap orang-orang atas apa yang Allah berikan kepada mereka dari keutamaan-Nya?” (QS. an-Nisaa’: 54). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami lah yang membagi-bagi
diantara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. az-Zukhruf: 32). Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Allah lah yang mengutamakan sebagian kalian di atas sebagian yang lain dalam hal rizki.” (QS. an-Nahl: 71)
Wallahul muwaffiq.
0 komentar:
Posting Komentar