Apa Yang Harus Dilakukan Jika Kita Didzolimi Orang Lain
Pernah kamu didzolimi oleh orang
lain?….Pernahkah kamu disakiti hatimu karena perbuatan orang
lain?…Pernahkah kalian akhirnya malah membenci dan kemudian muncul
keinginan membalas perbuatan orang yang mendzolimi kalian? Jika kita
merasa sangat terdzolimi, terkadang muncul kebencian memuncak di dalam
diri kita yang mana itu bisa jadi bom waktu yang bisa menghancurkan
hidup kita.
Kita harus hati-hati dengan diri kita ketika benci itu
muncul. Memaafkan adalah cara terbaik tapi apa itu mudah?…Melupakan
perbuatan dzolim dan sakit hati kita, apa itu mudah?…..tentu itu ‘tidak
mudah’ dan semua butuh proses karena memang sifat dasar manusia yang
tentunya lebih cenderung merasa tidak terima dan ingin membalas.
Harusnya kita bisa kuat, harusnya kita tidak menjadikan diri kita lemah
dan terus diam atau malah membalas jika didzolimi. Sabar itu cara
terbaik, namun sabar manusia selalu menemui titik jenuh. Titik jenuh
sabar adalah titik dimana kesabaran itu sudah berubah fungsi.
Sabar di
sini bukan berarti pasrah pada keadaan dan membiarkan diri kita hancur
oleh kedzoliman, namun sabar di sini adalah tetap berusaha untuk keluar
dari kedzoliman itu untuk mendapatkan hidup yang lebih indah dan
bahagia, dan tidak ada kedzoliman yang membahagiakan tentunya. Keluarlah
dari kedzoliman yang kamu alami karena kamu berhak bahagia. Ketika kamu
sudah keluar dari zona kedzoliman dan ternyata masih menyisakan
kebencian, apa yang harus kita lakukan? Ketika kebencian menyeruak, kita
harus terus mencari cara bagaimana kita bisa meng-handle hal itu.
Jangan sampai membuat dirimu makin terpuruk dengan ingatan kebencian
pada orang yang mendzolimi-mu dan kesalahan yang dilakukan orang
tersebut terhadapmu.
Ada beberapa kiat yang bisa kita terapkan
jika kita didzolimi oleh orang-orang di sekeliling kita. Perlakuan
buruk orang lain terhadapmu jangan sampai menjadikanmu pribadi yang
diliputi kesedihan, kebencian. Walaupun sedih itu susah hilang akibat
bekas buruk yang mereka torehkan di hati kita, tapi cobalah maafkan
mereka dengan setulus-tulusnya maaf.
1. Allah memperingatkan kita untuk
selalu bersabar dan bersikap lemah lembut ketika menghadapi segala
benturan dari orang-orang di sekeliling kita.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Ali Imran (3) : 159 yang artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. Ali-Imran: 159)
Tetapi, dalam sikap sabar dan
lemah-lembut kita bukan berarti bahwa kita tidak diperbolehkan bersikap
tegas. Sikap tegas itu mutlak diperlukan ketika benturan tersebut sudah
menodai harga diri, kehormatan dan akidah kita. Anjuran sabar dan
bersikap lemah lembut memang harus kita jalankan. Tetapi ketika
seseorang tersebut terus men-dzolimi kita berulangkali, maka sikap tegas
harus kita kedepankan.
2. Hubungan antar manusia haruslah berlandaskan ikhlas.
saling menghargai, jujur, suka berterus terang, tidak menggunjingkan satu dengan yang lain, tidak menyakiti hati yang lain dan tidak menyembunyikan sesuatu yang membawa keburukan bagi orang lain. Ketika sikap ikhlas tersebut hilang dari salah satunya, dan malah mendatangkan keburukan bahkan kedzoliman terus merajalela, maka hubungan antar manusia tersebut tidak ada gunanya untuk dilanjutkan, karena sudah melanggar hakekat hubungan yang baik. Akan lebih baik, meninggalkan orang-orang yang senang berbuat dzolim karena tentunya masih banyak orang-orang yang baik di sekeliling kita. Meninggalkan di sini bukan berarti memutuskan silaturahim tetapi meninggalkan berarti melepaskan diri dari hubungan dekat namun tetap menjaga silaturahim. Dengan menjaga jarak hubungan diharapkan tidak akan timbul gesekan dan kedzoliman. Tak perlu memaksakan diri untuk dihargai karena orang yang baik akan dihargai orang yang baik juga. Maka bertemanlah dengan orang baik dan tinggalkan mereka yang suka mendzolimi sesamanya.
saling menghargai, jujur, suka berterus terang, tidak menggunjingkan satu dengan yang lain, tidak menyakiti hati yang lain dan tidak menyembunyikan sesuatu yang membawa keburukan bagi orang lain. Ketika sikap ikhlas tersebut hilang dari salah satunya, dan malah mendatangkan keburukan bahkan kedzoliman terus merajalela, maka hubungan antar manusia tersebut tidak ada gunanya untuk dilanjutkan, karena sudah melanggar hakekat hubungan yang baik. Akan lebih baik, meninggalkan orang-orang yang senang berbuat dzolim karena tentunya masih banyak orang-orang yang baik di sekeliling kita. Meninggalkan di sini bukan berarti memutuskan silaturahim tetapi meninggalkan berarti melepaskan diri dari hubungan dekat namun tetap menjaga silaturahim. Dengan menjaga jarak hubungan diharapkan tidak akan timbul gesekan dan kedzoliman. Tak perlu memaksakan diri untuk dihargai karena orang yang baik akan dihargai orang yang baik juga. Maka bertemanlah dengan orang baik dan tinggalkan mereka yang suka mendzolimi sesamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ
السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ
يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ
رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ
تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman)
dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan
pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan
minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat
baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati
badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang
tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa)
Rasulullah bersabda:
«ألا أنبئكم بخياركم؟» قالوا: بلى يا رسول الله، قال: «خياركم الذين إذا رُؤوا ذُكِرَ اللهُ عز وجل
Maukah kalian aku tunjukkan manusia
terbaik diantara kalian?, sahabat menjawab,” Tentu Ya Rasulullah, Rasul
bersabda,”Sebaik-baik orang adalah yang jika kalian melihatnya
mengingatkan kepada Allah.” ( HR. Ibnu Majah no. 4119 dari hadits Asma’ bin Yazid )
Umar bin Khattab berkata,” Hendaklah
kalian bersama teman-teman yang baik, karena mereka ibarat hiasan
kegembiraan dan bekal dalam ujian.” ( Raudhatul Uqala hal. 90 )
Keutamaan lain yang dimiliki oleh
teman-teman yang baik adalah doa. Doa teman yang baik dari jauh akan
dikabulkan Allah, Rasulullah bersabda,” Doa seorang mukmin untuk saudara
yang tidak berada disisinya akan dikabulkan Allah, dibawa oleh
Malaikat yang bertugas, setiap saudaranya berdoa kebaikan malaikat
berkata,” Amiin “ ( semoga Allah mengabulkan ) Dan bagimu seperti doamu
( HR. Muslim 2733).
3. Selalu ada kebaikan bagi diri kita walaupun kita merasakan sakit akibat didzholimi.
Apa kebaikan bagi kita? Allah akan menambahkan pahala dan menggugurkan dosa-dosa orang yang terdzolimi.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda: “Tahukah kamu siapa yang bangkrut itu?”, mereka (sahabat) berkata: “Ya Rasulullah, orang yang bangkrut menurut kami ialah orang yang tidak punya kesenangan dan uang” (kemudian) Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang (pada hari kiamat) membawa pahala sholat, zakat, puasa dan haji. Sedang (ia) pun datang (dengan membawa dosa) karena memaki-maki orang, mengumpat, memfitnah, memukul orang, dan mengambil harta benda orang (hak–hak orang), maka kebaikan-kebaikan orang (yang mendzolimi) itu diambil untuk diberikan kepada orang-orang yang terdzolimi. Maka tatkala kebaikan orang (yang mendzolimi) itu habis, sedang hutang (kedzolimannya) belum terbayarkan, maka diambilkan kajahatan-kejahatan dari mereka (yang terdzolimi) untuk di berikan kepadanya (yang mendzolimi), kemudian ia (yang mendzolimi) dilemparkan kedalam neraka (HR. Muslim)
4. Jangan pernah berpikir untuk membalas dendam.
Jika kebencian itu menyeruak segera alihkan, pikirkan hal yang positif
bahwa kamu sedang diuji sabar oleh Allah, kamu sedang diuji untuk
ikhlas, dan kamu yakin bahwa skenario Allah selalu indah. Walaupun kita
merasakan sakit namun akan selalu ada kebaikan-kebaikan yang Allah
siapkan untuk kita. Hilangkan kebencian dan keinginan untuk membalas
karena Allah yang akan membalasnya, Allah Maha Adil. Tidak ada satu hal
pun yang lepas dari pantauanNya. Tidak ada satu kejahatan pun atau
perbuatan buruk apapun yang tidak akan dibalas oleh-Nya. Jika kita
difitnah oleh orang lain dan di dzholimi, maka adukan dan pasrahkan
kepada Allah.
Jangan kotori hati dan jiwa kita untuk balas
dendam atau menyimpan kebencian, amarah dan sakit hati. Ikhlaskan
semuanya kepada Allah.
Firman Allah dalam QS. Al Zaljalah : 7-8. “Barang
siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar
dzarahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya juga”.
Dzolim merupakan perbuatan yang di larang
oleh Allah SWT dan termasuk dari salah satu dosa-dosa besar. Manusia
yang berbuat dzolim akan mendapatkan balasan di dunia dan siksa yang
pedih di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an
Surah Asy-Syura : 42 “Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang
yang berbuat dzolim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi
tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih“.
5. Jadikan ALLAH, satu satunya penolong dan pelindung.
Allah menjanjikan dalam Surah Al-Thalaq ayat 2 dan 3, “Barang siapa yang bersungguh-sungguh mendekati Allah (bertaqwa), niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar bagi setiap urusannya, dan akan diberi rezeki dari tempat yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal hanya kepada Allah, niscaya akan dicukupi segala kebutuhannya.”
Allah menjanjikan dalam Surah Al-Thalaq ayat 2 dan 3, “Barang siapa yang bersungguh-sungguh mendekati Allah (bertaqwa), niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar bagi setiap urusannya, dan akan diberi rezeki dari tempat yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal hanya kepada Allah, niscaya akan dicukupi segala kebutuhannya.”
6. Maafkanlah dengan tulus mereka yang mendzolimi-mu
Salah satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raf 7:199)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“…dan hendaklah mereka memaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22)
Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia
Al Qur’an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah
marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah
menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ
أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ
تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
… dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Berlandaskan hal tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Yaitu orang2 yang menginfakkan hartanya ketika lapang dan sempit dan menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)
Memaafkan adalah amalan yang
sangat mulia ketika seseorang mampu bersabar terhadap gangguan yang
ditimpakan orang kepadanya serta memaafkan kesalahan orang padahal ia
mampu untuk membalasnya.
Memang sebuah kewajaran bila seseorang
menuntut haknya dan membalas orang yang menyakitinya. Dan dibolehkan
seseorang membalas kejelekan orang lain dengan yang semisalnya. Namun
alangkah mulia dan baik akibatnya bila dia memaafkannya. Allah Subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka
pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)
Memaafkan kesalahan orang acapkali
dianggap sebagai sikap lemah dan bentuk kehinaan, padahal justru
sebaliknya. Bila orang membalas kejahatan yang dilakukan seseorang
kepadanya, maka sejatinya di mata manusia tidak ada keutamaannya. Tapi
di kala dia memaafkan padahal mampu untuk membalasnya, maka dia mulia di
hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala dan manusia.
Kemuliaan yang kita bisa dapat dari memaafkan kesalahan orang yang mendzolimi kita.
- Mendatangkan kecintaan
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 34-35:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan
antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35)
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan:
“Bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka
kebaikan ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi merapat
denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya)
menjadi temanmu yang dekat. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan:
‘Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan orang beriman untuk bersabar
di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat
diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah Subhanahu wa
ta’ala menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk
kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat’.” (Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim 4/109)
- Mendapat pembelaan dari Allah Ta’ala
Al-Imam Muslim meriwayatkan hadits Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata: ”Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya
namun mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada
mereka namun mereka berbuat jelek. Aku bersabar dari mereka namun mereka
berbuat kebodohan terhadapku.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ
فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ
ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka
seolah-olah kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa
mendapat penolong dari Allah atas mereka selama kamu di atas hal itu.” (HR. Muslim)
- Memperoleh ampunan dan kecintaan dari Allah
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan
jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka
sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Adalah Abu Bakr radhiyallahu’anhu dahulu
biasa memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di
antaranya Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk famili Abu Bakr dan
muhajirin. Di saat tersebar berita dusta seputar ‘Aisyah binti Abi Bakr
istri Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, Misthah termasuk salah seorang
yang menyebarkannya. Kemudian Allah menurunkan ayat menjelaskan kesucian
‘Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera dan Allah
Subhanahu wa ta’ala memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu, Abu
Bakr radhiyallahu’anhu bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian
kepadanya. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka
(tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang
yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha
penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakr mengatakan: “Betul, demi Allah.
Aku ingin agar Allah mengampuniku.” Lantas Abu Bakr radhiyallahu’anhu
kembali memberikan nafkah kepada Misthah. (lihat Shahih Al-Bukhari no.
4750 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287)
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi Allah, dan berilah ampunan niscaya Allah mengampunimu.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 293)
Al-Munawi rahimahullah berkata: “Allah
Subhanahu wa ta’ala mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di
antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf. Allah juga mencintai
makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut.” (Faidhul Qadir 1/607)
Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala
mencintai orang yang memaafkan, karena memberi maaf termasuk berbuat
baik kepada manusia. Sedangkan Allah Subhanahu wa ta’ala cinta kepada
orang yang berbuat baik, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)
- Mulia di sisi Allah maupun di sisi manusia
Suatu hal yang telah diketahui bahwa
orang yang memaafkan kesalahan orang lain, disamping tinggi kedudukannya
di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala, ia juga mulia di mata manusia.
Demikian pula ia akan mendapat pembelaan dari orang lain atas lawannya,
dan tidak sedikit musuhnya berubah menjadi kawan. Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ
مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ
أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Shadaqah –hakikatnya– tidaklah
mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba karena
memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati
(tawadhu’) karena Allah melainkan diangkat oleh Allah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Seseorang yang disakiti oleh orang lain
dan bersabar atasnya serta memaafkannya padahal dia mampu membalasnya
maka sikap seperti ini sangat terpuji. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia
mampu untuk melakukan –pembalasan– maka Allah akan memanggilnya di hari
kiamat di hadapan para makhluk sehingga memberikan pilihan kepadanya,
bidadari mana yang ia inginkan.” (Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3394)
Demikian pula pemaafan terpuji bila
kesalahan itu berkaitan dengan hak pribadi dan tidak berkaitan dengan
hak Allah Subhanahu wa ta’ala. ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata:
“Tidaklah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah dilukai. Maka beliau menghukum dengan sebab itu karena Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
“Tidaklah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah dilukai. Maka beliau menghukum dengan sebab itu karena Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, tidaklah beliau disakiti
pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau
orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali
beliau memaafkan. Ada orang yang menarik baju Nabi Shallallahu’alaihi wa
sallam dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak adil dalam pembagian harta
rampasan perang. Ada pula yang hendak membunuh Nabi Shallallahu’alaihi
wa sallam namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya.
Mereka dan
yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam.
Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah
Subhanahu wa ta’ala dan permusuhan terhadap syariat-Nya. Namun bila
menyentuh hak Allah dan agamanya, beliau pun marah dan menghukum karena
Allah serta menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena
itu, beliau melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau
yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau memvonis
mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti
Nabi karena mereka banyak melukai kehormatan Allah Subhanahu wa ta’ala.
(disarikan dari Al-Adab An-Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)
Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila
muncul darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak
menghasilkan perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan
suka membuat kerusakan di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda
maafkan, dia akan terus berada di atas kejahatannya. Dalam keadaan
seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai
kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu efek jera.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan: “Melakukan
perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan
mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas
yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti
ini.” (lihat Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 20)
Belajar bagaimana memaafkan dari Manusia-manusia pilihan
Orang yang mulia selalu menghiasi dirinya dengan kemuliaan dan selalu berusaha agar dalam hatinya tidak bersemayam sifat-sifat kejelekan. Para Nabi Allah merupakan teladan dalam hal memaafkan kesalahan orang. Misalnya adalah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Beliau telah disakiti oleh saudara-saudaranya sendiri dengan dilemparkan ke dalam sumur, lantas dijual kepada kafilah dagang sehingga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan menanggung penderitaan yang tiada taranya.
Namun
Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak memuliakan hamba-Nya melalui ujian
ini. Allah pun mengangkat kedudukan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam sehingga
menjadi bendahara negara di Mesir kala itu. Semua orang membutuhkannya,
tidak terkecuali saudara-saudaranya yang dahulu pernah menyakitinya.
Tatkala mereka datang ke Mesir untuk membeli kebutuhan pokok mereka,
betapa terkejutnya saudara-saudara Nabi Yusuf ketika tahu bahwa Nabi
Yusuf ‘Alaihissalam telah diangkat kedudukannya sebegitu mulianya.
Mereka pun meminta maaf atas kesalahan mereka selama ini. Nabi Yusuf
‘Alaihissalam memaafkannya dan tidak membalas. Beliau mengatakan:
“Pada hari ini tak ada cercaan
terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni (kalian), dan Dia adalah
Maha penyayang di antara para Penyayang.” (Yusuf: 92)
Demikian pula Nabi Musa dan Nabi Khidhir,
ketika keduanya melakukan perjalanan dan telah sampai pada penduduk
suatu negeri. Keduanya meminta untuk dijamu oleh penduduk negeri itu
karena mereka adalah tamu yang punya hak untuk dijamu. Namun penduduk
negeri itu tidak mau menjamu. Ketika keduanya berjalan di negeri itu,
didapatkannya dinding rumah yang hampir roboh, maka Nabi Khidhir
‘Alaihissalam menegakkan dinding tersebut.
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
wa sallam, beliau adalah manusia yang terdepan dalam segala kebaikan.
Pada suatu ketika ada seorang wanita Yahudi memberi hadiah kepada Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam berupa daging kambing. Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam tidak tahu ternyata daging itu telah diberi
racun. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam pun memakannya. Setelah itu
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam diberi tahu bahwa daging itu ada
racunnya. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan dengan seizin
Allah Subhanahu wa ta’ala beliau tidak meninggal. Wanita tadi dipanggil
dan ditanya maksud tujuannya. Ternyata dia ingin membunuh Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
memaafkan dan tidak menghukumnya. (Bisa dilihat di Shahih Al-Bukhari no.
2617 dan Zadul Ma’ad 3/298)
Jika kita didzolimi orang
lain, bersabarlah-tegaslah membentuk hubungan yang baik, jauhi orang
yang berperangai buruk dan bersamalah orang yang baik agar bisa selalu
tolong menolong dalam kebaikan-hilangkan amarah, kebencian dan
dendam-janganlah membalas dengan keburukan dan maafkanlah mereka dengan
setulus-tulusnya maaf dan hanya kepada Allah-lah sebaik-baik penolong
dan pelindung bagi kita.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar