Untuk Apa Di Rumah, Bila Tanpa Ilmu
Di Awal Pernikahan, banyak suami-suami yang meminta istrinya untuk
tetap tinggal di rumah atau maksimal tetap bekerja di luar rumah hingga
mereka dikaruniai anak. Tak jarang, kesadaran sang istri juga mendorong
mereka kembali ke rumah dan meninggalkan aktivitas mereka di ranah
publik.
Kesadaran ini sungguh mulia, apalagi jika mengingat peran sentral
seorang wanita sebagai ibu yang nantinya akan mengasuh anak-anak. Tentu
bukan sebuah pemahaman yang baru bahwa anak tak hanya memerlukan
terpenuhinya kebutuhan materi, tetapi juga kebutuhan psikis.
Namun, ada sesuatu yang terlupakan saat sang suami meminta istri
kembali “pulang” ke rumah atau ketika si istri dengan kesadaran penuh
meninggalkan ranah publik untuk berjibaku penuh dalam ranah domestik.
Benarkah kedua belah pihak sudah siap dengan konsekuensi bila seorang
istri benar-benar hanya berada di rumah?
Rumah vs Bahagia
Banyak orang yang melupakan bahwa ibu, istri, perempuan, tetap adalah
manusia yang juga butuh ruang untuk mengaktulisasikan kemampuan mereka.
Tentunya, setiap perempuan punya keinginan untuk bisa melakukan hal
yang bermanfaat bagi banyak orang, punya teman-teman diskusi, dan jika
memungkinkan, punya sedikit penghasilan dari jerih payahnya sendiri.
Walaupun ini bukan berarti seorang perempuan akan meninggalkan tugas
mulianya sebagai seorang kreator peradaban umat melalui pengasuhan
terhadap anak-anaknya.
Pemahaman akan kebutuhan untuk berkarya, mengaktualisasikan diri, dan
memiliki teman berdiskusi inilah yang seringkali terpendam, dalam
pemahaman bahwa wanita harus diam di rumah. Bagaimana dengan wanita yang
terbiasa aktif dengan sejumlah kegiatan di kantor atau organisasi
kemanusiaan?
Banyak wanita-wanita yang memiliki latar belakang seperti ini
akhirnya merasa “banyak tertinggal” saat mereka kemudian seutuhnya
berada di rumah. Seperti pengakuan seorang ibu yang terpublikasikan di
sebuah situs Islam, “Satu bulan yang lalu, saya memutuskan kembali
berkerja meskipun dengan sistem kontrak. Banyak yang bilang terutama
keluarga dan teman dekat, saya kelihatan lebih cerah, powerful, dan
bahagia. Tetapi pada saat bekerja, pikiran saya jadi bercabang kembali,
apakah tidak lebih baik sebagai seorang ibu harus lebih mementingkan
keluarga dan anak? Namun, disatu pihak sepertinya saya kurang bahagia
jika tinggal di rumah.”
Apa yang membuat mereka merasa kurang berbahagia saat berada di
rumah? Apakah semata hanya karena pemahaman mereka tentang tugas mulia
yang mereka emban masih rendah? Tentunya tidak. Banyak faktor yang harus
diperhatikan ketika hendak menyimpulkan penyebab ketidakbahagiaan ini.
Peduli pada Keinginan
Kini mari sejenak mengingat, pernahkah ada pembicaraan antara suami
dan istri tentang apa yang bisa dinikmati seorang istri, saat waktunya
mutlak di rumah? Sekali lagi, dinikmati, bukan dikerjakan oleh istri. Si
istri merasa bahagia dengan totalitasnya di rumah. Juga, pernahkah
terbahas, hal-hal menarik apa yang bisa dilakukan seorang istri dalam
mengisi waktunya bersama anak-anak? Atau yang ada, cuma pembicaraan
tentang sederet daftar pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, agar
rumah rapih dan penghuninya merasa betah tinggal di rumah?
Bila pembicaraan ini belum pernah ada atau pernah ada tapi tak pernah
direalisasikan, tentu tak aneh bila seorang istri merasa menjadi
“korban dari sebuah kewajiban”. Padahal, tentu akan jadi hal yang
menyenangkan bila seorang suami dapat memahami perasaan istrinya. Sangat
indah rasanya bila seorang suami dapat mengetahui apa yang membuat
istrinya bahagia dan bersemangat setiap waktu. Dan, akan semakin
berkesan di hati, bila seorang suami, selain menuntut seorang istri
melakukan dengan baik tugas-tugasnya di rumah, juga memenuhi
keinginan-keinginan istrinya. Baik keinginan untuk maju, berkembang,
bersosialisasi, maupun keinginan untuk mengabdikan potensi yang dimiliki
sang istri untuk kemajuan Islam.
Sebuah sikap yang bijak manakala seorang suami menawarkan atau bahkan
memerintahkan pada istri-istrinya untuk belajar menguasai keterampilan
tertentu yang disukai oleh istrinya, membiarkan istrinya berkarya, dan
memiliki waktu yang luas untuk bisa menghadiri pertemuan-pertemuan yang
bermanfaat; demi untuk bersama-sama berjuang di jalan Allah?
Tentu seorang istri akan berbunga-bunga hatinya bila suaminya dengan penuh kasih menawarkan padanya untuk mengikuti kursus merias pengantin yang sudah lama didambakannya misalnya. Juga, hati seorang istri akan sangat berbahagia bila suami sepulang bekerja, dengan senyum yang tulus menyodorkan formulir pendaftaran untuk mengikuti lomba penulisan novel di sebuah majalah wanita, atau dengan sepenuh kasih menawarkan diri menemani sang istri mengikuti workshop seputar masalah kecerdasan anak.
Mempersiapkan Generasi Unggul
Intinya, sudah sejauh mana suami dan istri telah saling memahami dan
mempersiapkan apa yang akan dilakukan seorang istri ketika ia total
“bertugas” di rumah. Sudahkah si istri memiliki keterampilan untuk
mengisi hari-harinya? Sudahkah ia juga memiliki keterampilan ketika
mengurus dan mengurus si buah hati? Tentu akan jadi sebuah kesia-siaan
manakala si ibu berada di samping anak tetapi tidak memiliki ilmu yang
cukup untuk mempersiapkan fisik dan mental seorang anak tumbuh dengan
baik.
Sejatinya, pengetahuan- pengetahuan seperti inilah yang seharusnya
dimiliki seorang istri sebelum dia benar-benar berkiprah di rumah.
Sehingga profesi ibu rumah tangga tak lagi identik dengan
ketidakproduktifan dan ketertinggalan. Bila seorang ibu rumah tangga
kerjanya hanya menonton sinetron setelah selesai mengerjakan tugas rumah
atau gaptek (gagap teknologi) saat harus mengoperasikan sebuah
perangkat elektronik, maka sebaiknya jangan menyalahkannya semata. Ini
semua tentu bukan terjadi dengan sendirinya.
Yang lebih menyedihkan bila kaum wanita sendiri yang memaklumkan diri
dengan mengatakan, “ Yaaa…maklumlah ibu rumah tangga, sehari-hari hanya
mengurus anak.”
Bila seorang istri, apalagi seorang ibu sampai berkata demikian,
sesungguhnya tugas mulia sebagai seorang kreator peradaban umat sudah
gagal. Sebab, sangat mustahil seorang kreator bisa menciptakan generasi
tangguh yang unggul, bila ia pun bukan seorang kreator yang unggul. Jika
seorang istri atau ibu sudah memaklumkan ini pada dirinya sendiri, maka
mustahil peradaban Islam yang berjaya akan segera hadir di depan mata.
Generasi unggul di kemudian hari hanya bisa hadir dari sepasang
orangtua yang visioner, yang memiliki visi jauh kedepan untuk
menyongsong peradaban Islam yang gilang-gemilang. Tak akan mungkin
generasi ini muncul dari seorang suami dan ayah yang hanya berpikir
bahwa sang istri atau sang ibu, hanya harus berada di rumah. Tanpa
membekali pasangannya agar mumpuni melaksanakan tugasnya dan
menghasilkan karya terbaik seorang perempuan, yaitu anak-anak yang
shaleh dan shalehah.
Sebab itu, inilah saatnya untuk sama-sama meningkatkan kualitas
pribadi. Bila kita semua sepakat bahwa kewajiban utama para istri dan
ibu adalah di rumah, mengasuh dan merawat keluarga, maka inilah saatnya
bagi para suami untuk meng-up grade kemampuan istri dengan berbagai
macam pengetahuan dan keterampilan, hingga sang istri pun akan bisa
memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya di rumah. Hingga sabda
Rasulullah bahwa “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.” (Riwayat
Muslim) benar-benar tercipta dari ketangguhan pribadi seorang wanita
yang akan senantiasa menghiasi rumah dengan ilmu dan cinta.
Rumah memang tempat paling mulia bagi wanita. Benarkah ia menjadi surga bagi wanita, bila tanpa ilmu dan cinta?
0 komentar:
Posting Komentar