Memilih Pemimpin Amanah
Dalam sejarah peradaban Islam disebutkan, bahwa Ketika Umar Bin
Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah,
menggantikan khalifah sebelumnya, Sulaiman Bin Abdul Malik, Sang
Khalifah bukan berpesta pora merayakan kemenangan selayaknya pemimpin
zaman sekarang yang menghamburkan uang untuk melampiaskan kesenangannya
saat terpilih menjadi pemimpin. Umar justru menangis terisak-isak.
Di
dalam tangisnya, Umar mengucapkan kalimat yang biasanya dilontarkan
oleh kaum muslimin ketika mendapat musibah : “Innaa Lillaahi wa Innaa
ilaihi Raji’uun”, sambil berujar, “Demi Allah, sungguh aku tidak
meminta urusan ini sedikitpun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun
dengan terang-terangan”. Ya mungkin saja, Umar menganggap amanah
tersebut sebagai musibah hingga akhirnya dia mengucapkan kalimat itu.
Umar sadar sebagai seorang hamba yang lemah, dia takut tidak bisa
mempertanggung jawabkannya, kendatipun Umar justru sukses dalam
kepemimpinannya.
Melihat kejadian yang tak lazim ini, istrinya Fatimah tentu saja
merasa heran. Padahal biasanya Umar adalah sosok orang yang tegas dalam
setiap menghadapi keadaan. Fatimah bertanya kepada Umar “Wahai suamiku,
mengapa engkau menangis seperti itu ? Umar pun menjawab. “Sesungguhnya
aku telah diangkat menjadi khalifah untuk memimpin urusan umat Nabi
Muhammad SAW”.
Sang Khalifah kembali berkata “Aku termenung dan terpaku memikirkan
nasib para fakir miskin yang sedang kelaparan dan tidak mendapat
perhatian dari pemimpinnya. Aku juga memikirkan orang-orang sakit yang
tidak mendapati obat yang memadai. Hal yang sama terpikir olehku
tentang orang-orang yang tidak mampu membeli pakaian, orang-orang yang
selama ini dizalimi dan tidak ada yang membela, mereka yang mempunyai
keluarga yang ramai dan hanya memiliki sedikit harta, orang-orang tua
yang tidak berdaya, orang-orang yang menderita di pelosok negeri ini,
dan lain sebagainya”.
Umar kembali melanjutkan kesedihannya. “Aku sadar dan memahami
sepenuh hati, bahwa Allah SWT pasti akan meminta pertanggungjawaban
dariku, sebab hal ini adalah amanah yang terpikul di pundakku. Namun
aku bimbang dan ragu, apakah aku mampu dan sanggup memberikan bukti
kepada Allah swt, bahwa aku telah melaksanakan amanah itu dengan baik
dan benar sesuai dengan tuntunan Tuhanku. Atas dasar itulah, wahai
istriku, sehingga aku menangis”. Kita bisa melihat bagaimana kisah Umar
Bin Abdul Aziz di atas. Ketika dilantik menjadi Khalifah dia menangis,
bukan karena terharu bahagia, namun karena takut tidak bisa
mempertanggung jawabkan apa yang diamanahkan kepadanya. Dia takut akan
balasan dari Allah kelak diakhirat.
Coba kita bandingkan dengan kondisi sekarang. Kenyataan yang terjadi
saat ini berbanding terbalik, orang-orang yang haus akan jabatan,
justru berlomba-lomba untuk mendapatkan kedudukan tertinggi dengan
menghalalkan segala cara. Suatu amanat yang teramat berat
pertanggungjawaban diakhirat kelak. Mendekati tahun politik seperti
sekarang ini, banyak para calon seolah menjadi orang paling dermawan
dan paling baik. Mereka berlomba dengan calon lain untuk memikat hati
masyarakat, gelontoran bantuan, bahan pangan, perhatian seperti tidak
ada habisnya. Mereka menempatkan dirinya sebagai sosok penolong yang
bisa mengangkat harkat martabat manusia.
Namun semua itu bukanlah sesuatu yang gratis, ada harga yang harus
dibayar dengan semua kebaikan yang mereka berikan. Yakni dengan
memberikan hak suaranya pada dirinya. Tahukah kita, kebaikan dengan
imbal balik seperti ini hanya akan berlangsung sesaat, yakni saat
menjelang pemilihan, setelah itu mereka bagai hilang ditelan bumi. Yang
miskin tetap miskin yang kaya semakin kaya. Kedermawanan seperti ini
menjadi wabah kronis, yang terjadi di negeri kita saat ini. Bentuk
kedermawanan sesaat seperti ini seperti kewajiban rutin agar apa yang
ia inginkan bisa terwujud.
Amalan seperti ini bukan saja tidak diterima oleh Allah, namun juga
akan merusak moral banyak orang. Bagi yang mencalonkan diri mereka
menganggap itu hanya kewajiban sesaat. Sedangkan bagi orang kecil
mereka akan terbiasa dengan pemberian, terbiasa dengan janji dan
kebaikan sesaat, yang akhirnya akan membawa dampak bagi mereka
bertahun-tahun. Semangat menjadi pemimpin serta gairah merebut jabatan
dan kedudukan, tidak sebanding dengan apa yang dia lakukan, setelah
terpilih jadi pemimpin. Dia bahkan lupa, bahwa sesungguhnya jabatan dan
kedudukan yang diraih olehnya, selain harus dipertanggungjawabkan
kepada rakyat, juga harus dipertanggungjawabkan kelak di akhirat, di
hadapan Sang Khaliq Azza wa Jalla.
Tetapi begitulah dunia, kegairahan untuk berkuasa dan meraih
kekuasaan, menyebabkan seseorang menjadi lupa daratan, lupa tujuan
hakiki dari kekuasaan itu, dan bahkan lupa terhadap hari pembalasan
nanti. Kita mungkin tahu dan sering menyaksikan dari berbagai media,
baik tv, media cetak dan lain sebagainya, di mana para pemimpin banyak
yang terjerat dalam kasus hukum karena melakukan tindakan kejahatan
korupsi.
Betapa menyedihkan nasib para pemimpin di negeri kita dewasa ini.
Bayangkan saja dari 32 Gubernur seluruh Indonesia, 17 di antaranya
terjerat masalah hukum. Dari 480 an Bupati dan Walikota seluruh
Indonesia, 50 persen lebih di antaranya tersangkut masalah hukum. Dan
yang baru-baru ini juga terjadi, di mana mantan pejabat di Kalbar
terpaksa harus menghuni sel karena terjerat kasus korupsi, juga ada
pejabat negara asal Kalbar yang juga terjerat kasus yang sama. ini
sesuatu yang sangat menyedihkan tentunya. Ini adalah pertanda yang
sangat bahaya. Di mana negara kita telah krisis pemimpin yang amanah.
Diriwayatkan Abdullah bin Maslamahdari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin umarr.aberkata :saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan di minta pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan di tanya perihal keluarga yang dipimpinnya.
Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya
perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja
rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan
ditanya dar ihal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan
ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang
dipimpinnya.(HR.Bukhori,Muslim)[1]
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah swt.untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannyaoleh Allah swt. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya, karena ketidak adilannya, misalkan, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah swt. kelak di akhirat.
Oleh karenaitu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap
dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa
saja kepada rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya, ia harus berusaha
memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat,
sebagaimana firman-Ny adalam al-Quran:
Bandingkan dengan sikap Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, selepas
dilantik menjadi Khalifah, menyadari dengan sepenuh hati, jiwa dan
raga, bahwa ternyata di sekelilingnya masih banyak rakyat yang miskin,
menderita, sengsara, terlunta-lunta, dan hidup di bawah garis
kemiskinan. Sungguh sikap luar biasa yang dilakukan oleh Sang Khalifah.
Karena rasa tanggung jawabnya yang besar. Kemudian Khalifah Umar
membuat keputusan tidak tinggal di istana, tapi hanya menempati rumah
sederhana tanpa pengawal pribadi, istana dan pengawal keselamatan.
Dia tidak pernah mengikrarkan janji dan visi misi. Namun dia bekerja
dengan penuh tanggung jawab dan bersungguh-sungguh. Untuk menjalankan
roda pemerintahannya, Umar Bin Abdul Aziz, memiliki konsep yang jelas
untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh rakyatnya, khususnya dalam
hal pengentasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Umar
menerapkan konsep zakat secara tepat dan cermat. Rakyatnya yang kaya
dan para pegawai pemerintahan, bergegas membayar zakat dan sedekah
kepada fakir miskin. Hasilnya, hanya dalam rentang waktu dua setengah
tahun atau tiga puluh bulan masa kepemimpinannya, seseorang yang kaya
raya, merasa kesulitan mendapatkan orang yang berhak (mustahiq)
menerima zakat, sebab fakir miskin yang selama ini berhak menerima
zakat, kini telah berubah menjadi orang yang berkewajiban membayar
zakat (muzakki). Semua rakyatnya, hidup dalam kesejahteraan yang
memadai.
Adakah pemimpin di negeri ini yang bersikap seperti Umar Bin Abdul
Aziz? Pemimpin yang menolak segala fasilitas yang diberikan negara
karena khawatir menyakiti hari rakyat yang masih banyak menderita
karena kemiskinannya? Jawabannya tentu saja kita tahu sendiri.
Alih-alih menolak fasilitas negara, yang ada justru memanfaatkan
fasilitas negara sebanyak-banyaknya untuk kepentingan politik. Jikapun
ada mungkin itu hanya sekedar pencitraan saja, karena ada maunya?
Mudah-mudahan, para calon pemimpin bangsa kita hasil pemilu 9 April
mendatang, dan khususnya di Kabupaten Melawi bisa mengikuti jejak Umar
Bin Abdul Aziz yang memimpin negara dengan hati. Bukan pemimpin yang
ambisi. Tapi pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat
ketimbang kepentingan pribadi dan golongan. Mudah-mudahan saja para
calon terpilih nantinya juga bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan yang diamanahkan rakyat kepadanya.
Kita juga berharap mereka yang terpilih bisa menunaikan semua ucapan
yang pernah dijanjikan saat kampanye. Sehingga bangsa kita, daerah kita
menjadi daerah yang maju bersih dari segala sesuatu yang buruk apalagi
korupsi. Kita berharap daerah kita bisa menjadi daerah yang lebih baik.
Bukan hanya maju dari segi ekonomi dan pembangunan, namun juga ahklak
masyarakatnya. Harapan ini tentu saja akan menjadi sia-sia jika kita
sebagai rakyat tidak memberikan dukungan yang terbaik kepada calon
pemimpin kita. Jangan sampai kita salah pilih. Maka pilihlah calon
pemimpin yang sesuai dengan hati nurani anda. Yakni calon pemimpin yang
amanah.
Mungkinkah masih ada pemimpin yang seperti Khalifah Umar sekarang
ini. Meskipun saya sendiri tidak yakin, namun berusahalah, karena tidak
ada yang tidak mungkin, meskipun ibarat mencari mutiara diantara
tumpukan pasir. Meskipun tidak sehebat umar setidaknya mereka tidak
mengkhianati rakyat yang telah memberikan amanah kepada dirinya. Maka
dari itu sebagai orang yang mengaku beriman dan masih percaya akan
Tuhan, kita jangan pernah terlena dengan bujuk rayu ataupun iming-iming
tak seberapa yang dijanjikan sang calon kepada kita.
Sebab pada hakekatnya pemberian yang masih ada embel-embel di
belakangnya hanya akan membawa kita pada penderitaan yang
berkepanjangan. Kita jangan hanya siap memilih calon pemimpin yang
berani “Berjuang” berjuang dalam artian Memberikan “Beras Baju dan
Uang. Sebab jika itu yang terjadi, keinginan kita untuk mempunyai
pemimpin yang amanah dan bisa menjalankan tugasnya dengan baik juga
tidak akan pernah terwujud. Kita tidak lagi bisa menuntut janji karena
kita sudah lebih dulu menerima pemberian. Jika kita melakukan semua
itu, percaya atau tidak yang terjadi justru sebaliknya.
Mungkin sejumlah bencana yang terjadi di negeri kita baru-baru ini
juga ada sangkut pautnya dengan tindakan kita. Karena kita telah salah
memilih pemimpin. Banjir di DKI Jakarta, Banjir di Riau, dan erupsi
Gunung Sinabung Sumatra yang menewaskan belasan korban jiwa, sebagai
peringatan Allah kepada kita semua. Allah sengaja menurunkan bencana
agar kita mengambil hikmah dari semua yang telah terjadi. Masih adakah
kepedulian kita dengan sesama, masih adakah sosok pemimpin yang
menangis melihat penderitaan rakyatnya ketika tertimpa musibah.
Semoga sekelumit tulisan ini bisa menjadi pengingat kita semua. Bisa
menjadi air seteguk di tengah padang tandus nan gersang. Mudah-mudahan
sedikit goresan dari saya ini bisa mengerem keburukan yang selama ini
masih terus terjadi. Mari kita sama-sama berdoa kepada Allah agar kita
diberikan pemimpin yang amanah, pemimpin yang mengutamakan kepentingan
rakyatnya. Bukan sebaliknya memanfaatkan kekuasaan untuk menindas
rakyatnya.
0 komentar:
Posting Komentar