Entah mengapa, ada dari kita yang selalu punya kecenderungan untuk
menjadi sosok yang gemar sekali mencari-cari kesalahan orang lain.
Lihat saja betapa mudahnya seseorang menuntut dan mengkritik orang
lain. Sebenarnya boleh-boleh saja mengkritik teman atau siapa pun, tapi
dalam menyampaikan kritik, saran atau sebuah koreksi, sebaiknya kita
tetap menghormati orang yang kita kritik.
Karena itu dalam
menyampaikan informasi yang sifatnya sebuah koreksi, sebaiknya kita
menyampaikannya dengan cara yang baik, ramah dan lembut. Dan jangan pernah menyampaikan dengan cara yang lansung menyudutkan dan menyalahkan, tapi kemukakanlah pendapat kita dengan cara yang baik, santun dan bijak.
Berkatalah yang baik atau diam. Ya, kita sebagai manusia
memang telah diberikan banyak sekali nikmat oleh Allah SWT termasuk
nikmat dapat berbicara. Akan tetapi, banyak yang salah menggunakan
nikmat ini. Mereka tidak mengerti bahwa mulut yang telah dikaruniakan
oleh-Nya seharusnya dapat dijaga dengan baik dan digunakan hanya untuk
kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Muttafaq ‘Alaihi) Lalu dalam hadist lain disebutkan: “Allah SWT memberi rahmat keapda orang yang berkata baik lalu mendapat keuntungan, atau diam lalu mendapat keselamatan.” (HR. Ibnul Mubarak)
Demikianlah, lidah seseorang itu sangat berbahaya sehingga dapat
mendatangkan banyak kesalahan. Imam Ghazali telah menghitung ada 20
bencana karena lidah antara lain berdusta, ghibah (membicarakan orang
lain), adu domba, saksi palsu, sumpah palsu, berbicara yang tidak
berguna, menertawakan orang lain, menghina orang lain, mencari-cari
kesalahan orang lain, dsb.
Dalam mengkritik, kita harus bijak, kita juga harus memusatkan
perhatian pada kemampuan orang yang kita kritik. Carilah satu kelebihan
dalam diri orang tersebut. Walaupun tampaknya dimata kita kemampuannya
kecil/sepele dan kita masih bisa jauh lebih baik dari orang tersebut.
Namun cobalah bertanya pada diri sendiri, bagaimana bila kita berada di posisi orang yang kita kritik, tanpa mempertimbangkan sedikitpun, kebenaran dan kamampuannya? Kita juga harus memeriksa kembali apa motif kita
mengkritik (tanyakan dengan jujur pada diri sendiri). Dan tanyakan juga
apa keuntungan yang kita raih setelah mengkritik dan mencari-cari
kesalahan orang lain.
Karena, apabila yang namanya kritik itu,
hanyalah sebuah upaya untuk menonjolkan konsep tentang diri
sendiri. Atau kadang untuk membuktikan bahwa kita lebih pintar dari
orang yang kita kritik (yang kita cari-cari kesalahannya, kelemahannya).
Jika motif kita seperti itu, maka segeralah berhenti untuk mengkritik
dan mencari-cari kesalahan orang lain. Ketahuilah, tidak ada orang yang
luput dari salah dan khilaf, dan begitupun diri kita.
Daripada kita terus menerus menyibukkan dan melelahkan diri kita dengan mengorek-ngorek dan mencari-cari kesalahan dan kelalaian orang lain, yang bisa kita jadikan senjata untuk menyerangnya, bukankah lebih baik kita berpikir
positif.
Coba tanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri, sudah
mampukah kita berbuat lebih baik dari orang yang kita kritik atau kita
cari-cari kesalahannya? Caranya hanya satu, yakni dengan pembuktian, lakukanlah ”sama persis” ”segala hal” yang dilakukan orang yang kita cari-cari kesalahannya.
Kita buktikan pada diri sendiri dan dunia, apakah kita bisa
melakukannya sama dengan orang yang kita cari-cari kesalahan/
kekurangannya, atau kita bisa melakukannya lebih baik dari orang
tersebut? Semua ini hanya bisa diketahui dengan "pembuktian".
Istilahnya, jangan cuma sekedar bisa meng-kritik atau mencari-cari kesalahan orang lain saja, coba lakukan terlebih dahulu, ”semua hal” yang dilakukan orang yang kita kritik atau yang kita cari-cari kesalahannya, kemudian lihat hasil yang kita capai,
apakah hasil yang kita capai lebih baik darinya, sama dengannya atau
lebih buruk darinya? Mampukah kita berbuat seperti dia, sebaik dia,
atau lebih baik dari dia?
Dan kalaupun ternyata kita memang
mampu berbuat lebih baik daripada orang yang kita cari-cari
kesalahannya/kritik, maka bersyukurlah, jangan sampai hal tersebut
menjadikan kita ujub dan tidak berarti hal tersebut membolehkan kita
meneruskan mencari-cari kesalahan orang lain, perhatikanlah
hadits-hadits shahih terkait.
Seorang ahli hikmah berkata, aku tidak pernah menyesali apa yang
tidak aku ucapkan, namun aku sering sekali menyesali perkataan yang aku
ucapkan. Ketahuilah, lisan yang nista lebih membahayakan pemiliknya
daripada membahayakan orang lain yang menjadi korbannya. (mengutip
perkataan, Dr. Aidh Bin Abdullah Al-Qarni. M.A.)
Kita sebagai umat islam tidak berhak untuk mencari-cari kesalahan
orang lain lalu menyebarkannya apalagi berusaha mempermalukan orang
tersebut didepan umum, dengan menggunakan ilmu/kepandaian kita.
Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: ”Aku
peringatkan kepada kalian tentang prasangka, karena sesungguhnya
prasangka adalah perkataan yang paling bohong, dan janganlah kalian
berusaha untuk mendapatkan informasi tentang kejelekan dan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling dengki, saling benci, saling memusuhi, jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara” (H.R Bukhari, no (6064) dan Muslim, no (2563).
Perhatikan firman Allah SWT berikut ini: ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara
kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hujuraat [49] : 12)
Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: ”Tahukah kalian apa itu ghibah? Jawab
para sahabat : Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Maka kata
Nabi saw: “engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak
disukainya. Kata para sahabat: Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu? Jawab Nabi SAW:
Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya maka kamu telah
mengghibah-nya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka
kamu telah membuat kedustaan atasnya.”(HR Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935)
Abdullah bin Umar ra menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, ”
suatu hari Rasulullah SAW naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan
suara yang tinggi :”Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan
lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian
menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan
mencari cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari cari aurat saudaranya sesama muslim, Allah akan mencari cari auratnya. dan siapa
yang dicari cari aurotnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya
walau ia berada di tengah tempat tinggalnya (HR. At Tirmidzi no. 2032, HR. Ahmad 4/420. 421, 424 dan Abu Dawud no. 4880. hadits shahih) (keterangan:
yang dimaksud dengan aurat disini adalah aib/cela atau cacat, kejelekan
dan kesalahan. Dilarang mencari cari kejelekan/kesalahan seorang muslim
untuk kemudian diungkapkan kepada manusia – tuhfatul Ahwadzi).
Dari hadits di atas dapat digambarkan dengan jelas pada kita betapa
besarnya kehormatan seorang muslim. Sampai sampai ketika suatu hari
Abdullah bin Umar ra memandang Ka’bah, ia berkata: ” Alangkah agungnya engkau dan besarnya kehormatanmu. Namun seorang mukmin lebih besar lagi kehormatannya disisi Allah darimu. (HR Tirmidzi no. 2032)
Jadi, sebaiknya kita memelihara perkataan dan perbuatan kita, memang
tampaknya enak dan menyenangkan mengkritik orang lain, apalagi bila
kita bisa menemukan celah dari hasil kita mengorek-ngorek kesalahan orang yang kita kritik,
karena hal tersebut bisa kita jadikan senjata untuk melontarkan kritik
kita. Tapi sebelum itu semua, cobalah terlebih dulu berusaha menjadi
orang yang kita kritik, sangat penting untuk “melakukan sama persis, semua hal yang dilakukan orang yang kita kritik dan yang kita cari-cari kesalahannya” kita buktikan terlebih dahulu hasil pencapaian kita, apakah hasil yang kita capai sebaik dia, lebih baik dari dia, atau lebih buruk dari dia.
Bagi seorang mukmin yang senantiasa merasa diawasi oleh Allah, wajib
mengerti bahwa “perkataan” itu termasuk amalannya yang kelak akan
dihisab: amalan baik maupun buruk. Karena pena Ilahi tidak
meng-alpakan, tidak pernah lalai ataupun menghapuskan satupun perkataan
yang diucapkan manusia. Ia pasti mencatat dan memasukkannya ke dalam
buku amal. Ingatlah bahwa semuanya, kelak harus kita
pertanggungjawabkan.
0 komentar:
Posting Komentar