Selasa, 28 Februari 2012

Berfikir Baik, Berkata Baik atau Diam

Indahnya Menjaga Lisan, Berkatalah yang Baik atau Diam.

“Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasululloh bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam…” (HR Mutafaqun ‘alih).

Lidah tak bertulang, namun ketajamanannya dapat menembus hingga lubuk hati yang paling dalam. Luka yang diakibatkannya pun seringkali sulit untuk bisa dilupakan dalam waktu yang singkat. Lidah atau lisan, adalah salah satu nikmat yang diberikan kepada kita oleh Allah swt. Selain sebagai salah satu indera perasa (indera pengecap). Lidah atau lisan juga sebagai salah satu bagian dari ‘alat’ komunikasi kita. Dibandingkan dengan alat komunikasi yang lain seperti telinga kita cenderung lebih sering menggunakan lidah.
Artinya dibandingkan mendengar kita lebih menyukai berbicara. Dari hadis di atas, Rasululloh mensinyalir bahwasanya lisan dapat membawa ‘kerusakan’ yang besar kalau kita tidak dapat menjaganya. Untuk itu Rasululloh mendahulukannya dengan kata-kata, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir…”. Dengan kata lain menjaga lisan itu adalah hal yang harus benar-benar kita perhatikan. Sehingga dimasukan dalam salah satu ciri atau tanda berimannya seseorang. Dalam realitanya pun kita dapat melihat seberapa besar bahaya yang diakibatkan oleh ‘kejahatan lisan’.

Persaudaraaan, kekerabatan, pertemanan, perceraian, bahkan pertumpahan darah pun bisa terjadi karena bahaya yang dihasilkan oleh lisan. Bahaya tersebut antara lain adalah berupa hasud, fitnah, celaan, dan yang lainnya. Terlebih bagi kaum wanita yang sangat rentan sekali dengan kebohongan berita atau ‘gosip’. Sudah menjadi rahasia umum ‘ngegosip’ adalah ‘hobi’ para wanita, baik itu ibu-ibu maupun yang masih lajang. Seringkali kita tidak pernah sadar akan kemadhorotan yang besar dan merugikan bagi orang lain juga diri kita sebagai akibat dari tidak bisanya kita menjaga lisan.

Dalam kitab-Nya yang suci Al-Qur’anul Karim Allah swt berfirman, “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) di sisi Allah…” (QS Al-Baqoroh [2]:217). Ini memperkuat betapa pentingnya memperhatikan lisan kita agar tidak melukai perasaan orang lain, terlebih sampai menimbulkan kemadhorotan yang lebih besar. Kita juga tak asing dengan sebuah pepatah bijak yang mengatakan, “Diam itu emas’. Dan itu memang sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Islam.

Pada zaman sekarang menjaga lisan sudah sering tidak kita perhatikan lagi. Bahkan parahnya hal tersebut dijadikan sebagai barang komoditi. Seperti infotainment yang menyajikan acara ‘ghibah’ atau gosip. Membicarakan hal pribadi atau kejelakan orang lain, terlepas dari siapa dan apa yang dibicarakannya. Dengan tidak melihat kemadhorotannya yang lebih besar sebagai akibat dari tidak menjaga lisan mereka. Di sisi lain, lagi-lagi Islam menuniukkan kesempurnaannya sebagai agama yang diridhoi di sisi-Nya. Sampai hal yang kecil dan sering dianggap remeh ternyata Islam sangat begitu memperhatikannya.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Wallahu ‘alam bi showab.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution