Senin, 06 Februari 2012

Shalawat Sebaik-baik Shalawat


Hukum Menambah Lafadz "Sayyidina" Dalam Shalawat Nabi. Termasuk di antara kesalahan yang banyak dilakukan kaum muslimin dalam bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penambahan lafadz “sayyidina” (bagian kami). Lafadz ini sama sekali tidak pernah diriwayatkan dalam hadits yang shahih. Jika hal ini disyariatkan, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada para shahabatnya.
Oleh karena itu, telah dinukilkan pengingkaran atas hal ini dari sebagian ulama. Termasuk di antaranya adalah salah seorang ulama besar bermadzhab Asy-Syafi’iyyah yaitu Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah.

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Gharabili-murid yang selalu mendampingi Al-Hafidz Ibnu Hajar-menukilkan: Telah ditanya (Al-Hafidz Ibnu Hajar, red) tentang cara bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baik di dalam shalat atau di luar shalat, baik dikatakan wajib atau sunnahnya (dibaca di waktu tersebut), apakah disyaratkan padanya untuk menyifati beliau dengan “sayyid”, misalnya dikatakan: “Allahumma shalli ‘alaa sayyidina muhammad” (Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Sayyidina Muhammad), atau “Allahumma shalli ‘alaa sayyidil khalq” (Ya Allah, berikanlah shalawat kepada pemimpin seluruh makhluk), atau ‘kepada pemimpin anak cucu Adam’? Ataukah cukup dengan mengucapkan ‘Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad’? Mana yang lebih afdhal? Menyebutkan lafadz sayyid karena itu adalah sifat yang melekat pada diri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam? Atau tidak menyertakannya karena tidak ada dalam riwayat? Beliau menjawab: “Ya, mengikuti lafadz yang telah ma’tsur (ada riwayatnya) itu lebih rajih (kuat). Dan janganlah berkata: ‘Jangan-jangan Rasulullah meninggalkan itu karena sikap tawadhu beliau sebagaimana beliau tidak pernah menyebut dirinya dengan tambahan ‘shallallahu ‘alaihi wasallam’, sementara umatnya dianjurkan mengucapkan hal ini setiap (nama) beliau disebutkan’. 

Karena itu kita katakan: ‘Jika sekiranya (penyebutan sayyidina) itu lebih rajih, tentunya ada (riwayat) dari para shahabat kemudian dari tabi’in. Dan kita belum mendapati satupun riwayat dari salah seorang shahabat. Dan tidak pula para tabi’in mengucapkan hal itu dari sekian banyak riwayat mereka dalam hal ini.’ Inilah Al-Imam Asy-Syafi’i -semoga Allah meninggikan derajatnya, dan beliau termasuk orang yang paling banyak dalam mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau berkata dalam pembukaan kitabnya yang merupakan sandaran kitab para pengikut madzhabnya: “Allahumma shalli ‘alaa Muhammad”, dan seterusnya.

Demikian pula Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah. Ia telah mengkhususkan satu bab tentang cara bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kitabnya Asy-Syifa dan menukilkan beberapa riwayat yang marfu’ dari beberapa shahabat dan tabi’in. Namun tidak satupun riwayat dari kalangan shahabat dan lainnya dengan lafadz “sayyidina”.

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata setelah menyebutkan perkataan Al-Hafidz: “Dan apa yang telah menjadi pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah tentang tidak disyariatkannya tambahan ‘sayyidina’ dalam bershalawat adalah karena mengikuti perintah yang mulia. Dan inilah yang menjadi pegangan para pengikut madzhab Hanafi. Inilah yang sepantasnya kita berpegang dengannya, sebab merupakan pertanda kejujuran kita atas kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. “Katakanlah: jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintaimu.” (Ali ‘Imran: 31) Oleh karenanya, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Ar-Raudhah: “Shalawat yang paling sempurna kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ‘Allahumma shalli ‘alaa Muhammad…” tanpa menyebutkan lafadz: ‘sayyidina’. (Selengkapnya lihat: Sifat Shalat An-Nabi, karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, hal. 172-175) Termasuk dalam kesalahan juga adalah melantunkan shalawat Nabi dengan berirama dan terkadang dilakukan secara berjamaah. Bahkan ada yang diiringi dengan lantunan musik piano, genderang, rebana dan lainnya. 

Sungguh, ini merupakan suatu kebatilan yang nyata yang dikemas dalam bentuk ibadah. Bagaikan najis yang dicampur dengan setetes air suci. Allahul musta’an. Tak hanya itu. Tujuan shalawat pun kini telah bias. Yang awalnya untuk mendoakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kini menjadi hiburan yang dapat dinikmati suara dan iringan musiknya.

[Lihat Majalah Asy Syariah no. 07/I/1425 H/2004 pada artikel "Shalawat Nabi Antara Sunnah dan Bid'ah Bagian 2", hal. 34-35]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution