Kado Istimewa Untuk Orang Tua.
Saudaraku..
Anak keturunan merupakan sumber kebahagiaan kita dalam hidup. Sebuah keluarga yang jauh dari suara tawa dan tangisan anak-anak, terasa sepi, mencekam dan kaku. Tidak jarang hubungan pasutri menjadi hambar, pemicunya adalah karena buah hati yang didamba tak kunjung datang menghampiri keluarga.
Anak keturunan merupakan sumber kebahagiaan kita dalam hidup. Sebuah keluarga yang jauh dari suara tawa dan tangisan anak-anak, terasa sepi, mencekam dan kaku. Tidak jarang hubungan pasutri menjadi hambar, pemicunya adalah karena buah hati yang didamba tak kunjung datang menghampiri keluarga.
Aisyah radhiallahu anha, sering cemburu terhadap Khadijah radhiallahu
‘anha, karena Nabi saw sering menyebut nama Khadijah di depannya.
Bukankah salah satu penyebabnya adalah karena Khadijah satu-satunya
istri beliau yang dapat memberikan keturunan untuknya? Yang tentunya
tidak beliau dapatkan dari ummahatul mukminin lainnya?.
Anak adalah penyambung amal shalih setelah kepergian kita ke alam
baqa. Ia merupakan tali cinta dalam sebuah keluarga. Keberadaannya di
hati ini tak tergantikan oleh kekayaan dunia seberapa pun besarnya. Ia
merupakan investasi paling berharga dalam hidup kita.
Namun, saudaraku..
Jika kita memiliki anak-anak yang rapuh dalam kepribadian. Berperangai buruk. Berakhlak tercela. Memiliki iman yang ringkih dan yang senada dengan itu. Maka mereka bisa menghitamkan wajah kita. Mencoreng nama baik keluarga kita. Dan tentunya bisa menjadi investasi neraka bagi kita di akherat sana.
Jika kita memiliki anak-anak yang rapuh dalam kepribadian. Berperangai buruk. Berakhlak tercela. Memiliki iman yang ringkih dan yang senada dengan itu. Maka mereka bisa menghitamkan wajah kita. Mencoreng nama baik keluarga kita. Dan tentunya bisa menjadi investasi neraka bagi kita di akherat sana.
Untuk itu, kita perlu mendidik dan mengarahkan mereka. Agar mereka
senantiasa berada di atas jalan hidayah. Menapaki tangga-tangga
kebahagiaan yang hakiki serta terhindar dari jalan yang sesat dan
menyimpang. Di mana tujuan akhir dari pendidikan yang kita garap adalah
menyelamatkan anak-anak kita dari siksa neraka. “Wahai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.” At
tahrim: 6.
Mendidik anak tak semudah membalikan telapak tangan. Banyak
pengorbanan yang harus kita keluarkan. Berkorban harta, waktu, tenaga,
potensi yang kita miliki dan tak jarang kita mengorbankan perasaan kita.
Terkait dengan pendidikan anak, syekh Mustafa Siba’i dalam bukunya
“hakadza allamatnil hayat”, membagi pengalamannya dengan kita. Berikut
petikannya:
• Jauhkan anak-anak kita dari teman pergaulan yang rapuh
kepribadiannya seperti kita menjauhkannya dari penyakit berbahaya. Kita
mulai prinsip ini dari masa kecilnya. Jika tidak, maka kita seolah-olah
membiarkan anak kita terserang penyakit kronis, sehingga tiba masanya
obat penawar tak lagi memberikan manfaat baginya.
• Keras dalam mendidik anak, akan membawanya pada sifat durhaka.
Berlebih-lebihan dalam memanjakan anak, akan menyeretnya pada perilaku
menyimpang. Anak yang tumbuh dalam didikan keras dan terlalu dimanja
akan melahirkan perilaku kriminal.
• Anak itu seperti mahar. Jika kita memberi setiap apa yang diminta,
maka ia akan tumbuh menjadi anak yang keras kepala, sulit diarahkan.
Jika kita tolak semua permintaannya, maka ia akan menjadi anak yang
buruk perangainya, membenci semua orang yang ada di sekitarnya. Jadilah
kita orang yang bijak dalam memberi dan membatasi keinginan anak. Jangan
sekali-kali kita memanjakannya berlebihan atas nama cinta, karena hal
itu bisa merenggut kebahagiaan kita dan kebahagiaannya.
• Banyak orang tua yang lebih menyukai anak laki-laki daripada anak
perempuan. Padahal pengalaman mengajarkan; anak perempuan lebih banyak
mendatangkan kebahagiaan daripada anak laki-laki.
• Biasakan anak-anak kita hidup mandiri walaupun kita hidup dalam
kecukupan. Dan jika ia telah mampu membuka kran-kran rezki, tanpa
diimbangi dengan semangat menuntut ilmu pengetahuan, waspadalah! Jika
kita tetap memanjakannya dengan memberinya makan di meja makan kita.
Atau memberinya tempat tinggal di rumah kita. Atau memenuhi kebutuhannya
dari saku kita. Maka berarti kita telah membunuh ruh perjuangannya
dalam menjalani kehidupan. Pengalaman hidup telah membuktikan hal itu.
• Seorang anak yang putus asa karena tak mendapatkan curahan kasih
sayang orang tua, maka ia akan tumbuh menjadi anak durhaka. Tapi jika ia
terlalu kenyang mendapat curahan kasih sayang, maka ia akan tumbuh
menjadi anak pemalas. Sebaik-baik orang tua adalah orang yang tak
menghalangi anak keturunannya mendapat kasih sayangnya dan tidak pula
menjadikan anak bersandar pada kebaikan orang tua (tak mandiri).
• Teramat keras dalam mendidik anak, maka ia akan memutus tali
hubungan dengan kita. Terlalu lemah dalam mendidik (memanjakannya
berlebihan), berarti kita telah memutuskan tali-nya dari kita. Hendaknya
kita bijak dalam mendidiknya (di antara keduanya), karena jika tidak
maka akan terlepaslah tali kekang itu dari tangan kita.
• Membiasakan anak untuk merasakan beban tanggung jawab dalam
menjalani hidup, maka hal itu lebih baik daripada kita membiarkannya
tenggelam dalam kenikmatan hidup, bertumpu pada orang tua.
• Jangan sampai kita meninggalkan harta kekayaan kita kepada
anak-anak yang rusak akhlaknya. Karena sesungguhnya mereka akan
menghabiskan harta kita dalam sehari, padahal kita telah mengumpulkannya
bertahun-tahun lamanya. Lalu mereka mencoreng nama baik kita, melukai
kemuliaan keluarga kita serta memberatkan urusan kita kepada Zat yang
Maha cepat hisab-Nya.
• Anak yang shalih akan selalu mendo’akan kebaikan buat kita.
Karenanya manusia akan mengenang kebaikan kita lantaran kita mampu
mendidiknya. Setelah kita menghadap-Nya, maka anak-lah yang akan
menyambung kebaikan untuk kita atau sebaliknya menghadirkan keburukan
untuk kita. Anak-anak adalah bagian dari hati kita. Apakah kita ingin
hal yang buruk menggerogoti hati kita, yang menyebabkan hati kita sakit
dan terluka? Atau kita menginginkan hati kita selalu sehat wal afiat?.
• Sekiranya setiap orang tua (baca; ayah) mengkhususkan waktu
tertentu dalam setiap hari untuk menemani anaknya, tentulah para orang
tua tidak banyak merasa lelah dalam mendidik anak-anaknya.
• Orang tua yang tak memiliki pengetahuan, merasa senang dengan
tampilan lahir anaknya yang tampan atau cantik. Meskipun akhlaknya
kurang terpuji. Sedangkan orang tua yang cerdas, gembira dengan
keindahan akhlak anaknya, walaupun anaknya tak memiliki ketampanan wajah
atau berparas menarik.
• Orang tua yang besar adalah orang yang berusaha sekuat tenaga
menjadikan anaknya lebih besar darinya. Orang tua yang cerdas berupaya
menjadikan anaknya seperti dirinya. Tidak terbayang, jika ada orang tua
yang menginginkan anaknya lebih kecil darinya.
• Orang tua akan berbahagia dengan kelahiran anaknya. Namun
kebahagiaan itu sirna manakala menyaksikan anaknya tumbuh menjadi anak
yang perangai kurang terpuji. Siapa yang mampu menyandingkan dua
kebahagiaan yakni; kelahiran dan pertumbuhan anak shalih, maka ia
seolah-olah telah meraih kebahagiaan dengan dua kelahiran sekaligus.
• Saat kita meninggalkan anak yang shalih, maka kita seperti terlahir
kembali setelah kita wafat. Sebaliknya saat kita meninggalkan anak yang
rapuh kepribadiannya, maka seolah-olah kita meninggal dunia dua kali.
• Ya Tuhanku, sekiranya Engkau tidak menciptakan untuk kami perasaan
menjadi orang tua dan tidak Engkau janjikan pahala yang besar untuk kami
dalam mendidiknya, niscaya kelahiran anak-anak kami dan kesusahan dalam
mendidik mereka menjadi sia-sia. Yang sulit dipahami oleh orang yang
menggunakan akalnya.
• Orang tua tidak pernah lupa, beratnya mendidik anaknya, terkecuali
jika ia melihat anaknya berbakti dan istiqamah di atas jalan ketaatan.
Dan orang tua tak akan pernah dihinggapi penyesalan atas kelahiran anak
dan kesusahannya dalam mendidiknya, terkecuali jika ia menyaksikan
anaknya durhaka dan menyimpang dari jalan yang lurus.
• Medan perjuangan orang tua adalah medan pendidikan anak. Karena
mendidik anak lebih sulit daripada jihadnya para pahlawan di medan
perang.
• Salah satu kendala orang tua dalam mendidik anak adalah usia yang
telah uzur sementara anak-anak masih belia. Maka bersegeralah kita
menikah di usia dini, mengakhiri masa lajang setelah kita berstatus
mampu.
• Kepada Allah kita mengadu, dengan kesungguhan yang telah kita
kerahkan dalam mendidik anak-anak kita di rumah. Kita titipkan mereka
kepada Allah, agar Dia menjaga mereka di madrasah dan lingkungan tempat
mereka bergaul.
• Anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Di antara fitrahnya adalah
bahwa ia suka meniru hal-hal yang dilihatnya. Dan yang paling disukainya
adalah ia bisa meniru perilaku ayah dan ibunya. Bukankah ia senantiasa
memperhatikan kita saat berdekatan dengan kita atau ibunya? Bukankah ia
senantiasa memperhatikan kita bagaimana kita berinteraksi dengan dia dan
manusia di sekeliling kita?.
• Siapa yang membawa keburukan ke dalam rumahnya, berarti ia telah
mengundang anak dan istrinya berpartisipasi dalam keburukan tersebut,
meskipun ia beranggapan bahwa ia telah menghilangkan jejaknya itu dari
mereka.
• Pernah terjadi dialog antara seorang ayah dan anak yang sama-sama buruk perangainya.
Sang ayah berkata kepada anaknya, “Tidakkah kamu malu denganku? Kamu berlaku buruk kepadaku padahal aku telah mendidikmu?.”
Sang anak menjawab, “Seharusnya engkau lebih malu kepada Tuhan-mu.
Engkau telah berbuat buruk terhadap-Nya padahal Dia telah menciptakanmu
dan mengucurkan berbagai nikmat kepadamu.”
Ayahnya berkata, “Akan tetapi Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sang anak berkata, “Seharusnya, itu yang aku dapatkan darimu. Engkau memaafkan kesalahanku dan menyayangiku.”
Sang ayah berkata, “Namun, rahmat Allah akan memasukkan aku ke dalam
surga, sedangkan rahmatku untukmu akan memasukkanmu ke dalam neraka.”
Sang anak berkata, “Sekiranya engkau memperhatikan pendidikanku sejak
kecil, tentulah aku mencukupkan rahmat-Nya untukku dan tak membutuhkan
rahmatmu.”
Sang ayah berkata, “Maukah kamu mentaatiku?.”
Sang anak berkata, “Mustahil! Sebelum engkau kembali mentaati Allah Swt.”
Sang ayah berkata, “Bukankah kamu tidak menghormatiku selaku orang tua di hadapan manusia?.”
Sang anak berkata, “Kedua tanganmu berbisa dan mulutmu berbusa.”
• Seorang anak sejak lahir membawa tabiat tertentu. Kedua orang tua
tak mampu merubah tabiat pada anaknya. Hanya saja keduanya mampu untuk
memperhalusnya. Adapun akhlak budi pekerti anak sangat dipengaruhi oleh
lingkungan dan pendidikannya. Dari sini, hendaknya orang tua menjalankan
perannya yang vital untuk membahagiakannya atau sebaliknya malah
menyengsarakannya.
• Anak laki-laki lebih banyak terwarnai ayahnya. Sedangkan anak
perempuan banyak dipengaruhi ibunya. Para ibu yang tak terdidik akan
mendidik anak-anak perempuannya dengan jalan; melontarkan celaan dan
memberikan kutukan kematian dan kebinasaan. Para ayah yang sempit
pengetahuannya, mendidik anak laki-laki mereka dengan cara memukul dan
merendahkannya.
“Ya Rabb, jadikanlah anak-anak kami penyejuk mata hati kami. Dan
jadikanlah mereka imam bagi hamba-hamba-Mu yang bertakwa, amien.”
0 komentar:
Posting Komentar