Pujian + Sanjungan = Kebinasaan
Saudaraku…
Jika kita memiliki prestasi yang baik di hadapan manusia atau kelebihan dan keunggulan lain di mata mereka. Baik itu di bidang ubudiyah, ilmu pengetahuan, kelebihan fisik, ketajaman akal pikiran, kemudahan dalam usaha dan bisnis, kelancaran dalam komunikasi dan yang seirama dengan itu.
Jika kita memiliki prestasi yang baik di hadapan manusia atau kelebihan dan keunggulan lain di mata mereka. Baik itu di bidang ubudiyah, ilmu pengetahuan, kelebihan fisik, ketajaman akal pikiran, kemudahan dalam usaha dan bisnis, kelancaran dalam komunikasi dan yang seirama dengan itu.
Maka pada saat itu, pujilah Allah swt dan agungkan Dia dan kembalikan
segala kemudahan, keluasan dan berbagai warna anugerah kepada-Nya.
Jangan kita biarkan setan memperdaya kita lewat lisan orang-orang di
sekitar kita. Dengan pujian, sanjungan, dan julukan menggiurkan yang
dialamatkan kepada kita.
Nafi’ pernah menceritakan bahwa ada seseorang datang menemui Ibnu
Umar ra seraya berkata, “Ya khairannas wa ya ibna khairinnas”, wahai
manusia terbaik dan putera manusia terbaik.”
Ibnu Umar berkata:
مَا أَنَا بِخَيْرِ النَّاسِ وَلاَ ابْنِ خَيْرِ النَّاسِ, وَلَكِنِّيْ
عَبْدٌ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ. أَرْجُو اللَّهَ تَعَالَى وَأَخَافُهُ.
وَاللَّهِ,
لَنْ تَزَالُوا بِالرَّجُلِ حَتَّى تُهْلِكُوْهُ.
“Aku bukanlah orang terbaik dari manusia dan bukan pula putera
manusia terbaik. Tetapi aku hanyalah salah seorang dari hamba Allah swt,
yang mengharap kucuran rahmat-Nya dan takut kepada azab-Nya. Demi
Allah, tidaklah kalian terus menerus menyanjung seseorang sehingga
kalian membinasakannya.” (Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku..
Siswa teladan, mahasiswa berprestasi, anak cerdas dan santun, karyawan rendah hati, ulama panutan, ustadz favorit, pendidik yang membumi, pejabat yang merakyat, pemain terbaik, mertua pilihan, orang tua kebanggaan, menantu idola, Yusuf-nya zaman ini, pengusaha sukses, petani jujur dan seterusnya.
Siswa teladan, mahasiswa berprestasi, anak cerdas dan santun, karyawan rendah hati, ulama panutan, ustadz favorit, pendidik yang membumi, pejabat yang merakyat, pemain terbaik, mertua pilihan, orang tua kebanggaan, menantu idola, Yusuf-nya zaman ini, pengusaha sukses, petani jujur dan seterusnya.
Itu sekadar contoh dari pujian, sanjungan dan gelar yang mungkin
pernah orang sematkan kepada kita. Yang apabila kita salah dalam
mensikapinya, akan menjadi bencana bagi kita. Di dunia kini. Terlebih di
akherat sana. Dan sejarah telah mencatat, bahwa tidak sedikit orang
yang terpuruk dengan segudang prestasi yang pernah diraihnya lantaran
tersanjung dengan pujian dan julukan baik yang disematkan orang
kepadanya.
Bila kita meraih sebuah kesuksesan, berada di puncak prestasi,
kemenangan datang menyapa kita, maka kita kembalikan seluruhnya kepada
Allah swt. Kita bertasbih memuji kebesaran-Nya dan beristighfar
kepada-Nya.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu
lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.” An
Nashr: 1-3.
Saudaraku..
Sungguh kita telah terpedaya, jika kita terlena dengan pujian dan sanjungan dari manusia. Yang lebih buruk dari itu adalah jika kita beribadah, beraktifitas, belajar, berjuang, bekerja dan beramal baik, hanya untuk mendapat pujian, sanjungan, tempat dan meraih penghargaan dari manusia. Wal ‘iyadzubillah.
Sungguh kita telah terpedaya, jika kita terlena dengan pujian dan sanjungan dari manusia. Yang lebih buruk dari itu adalah jika kita beribadah, beraktifitas, belajar, berjuang, bekerja dan beramal baik, hanya untuk mendapat pujian, sanjungan, tempat dan meraih penghargaan dari manusia. Wal ‘iyadzubillah.
Dan yang terpenting, kita tak perlu sungkan untuk mengingatkan orang
yang biasa memuji kebaikan kita di hadapan kita. Sebab hal itu merupakan
awal dari kebinasaan kita dan juga dirinya sendiri.
Ibnu Umar setelah dipuji setinggi langit, dia justru menyadarkan
orang yang memujinya perihal hakikat dirinya sebagai seorang abdi Allah.
Yang berusaha untuk selalu mendapat kucuran rahmat dan menghadirkan
neraka di depan mata.
Rasulullah saw mengajari kita do’a, saat kita mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain:
اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ، وَاغْفِرْلِيْ مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ
“Ya Allah, janganlah Engkau hukum diriku karena apa yang mereka
katakan, ampunilah aku terhadap apa yang tidak mereka ketahui (tentang
diriku), dan jadikanlah diriku lebih baik daripada apa yang mereka
kira.” H.R; Bukhari dalam kitab “Al adabul mufrad”.
Sedangkan dalam riwayat Baihaqi, disebutkan:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ
بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ
وَاغْفِرْ لِى
مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ
“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku
sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang
memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari sangkaan mereka,
ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui tentang diriku, dan
janganlah Engkau hukum diriku karena apa yang mereka katakan.”
Saudaraku..
Mari kita selalu membentengi diri kita dengan do’a dan munajat kepada-Nya. Dengan pertolongan-Nya kita menjadi kuat dalam kelemahan. Menjadi semangat dalam kelesuan. Menjadi sabar dalam ujian. Dan tentunya menjadi tak terlena dalam pujian dan tidak tersanjung dalam sanjungan.
Mari kita selalu membentengi diri kita dengan do’a dan munajat kepada-Nya. Dengan pertolongan-Nya kita menjadi kuat dalam kelemahan. Menjadi semangat dalam kelesuan. Menjadi sabar dalam ujian. Dan tentunya menjadi tak terlena dalam pujian dan tidak tersanjung dalam sanjungan.
Sudahkah kita hafal dan terbiasa membaca do’a di atas saat dipuji dan disanjung oleh orang lain?. Wallahu a’lam bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar