Hukum Berjabat Tangan Antara Laki-laki Dan Perempuan
Berjabat tangan adalah sesuatu yang baik
dan bagian dari kesopanan. Bahkan orang yang tidak mau berjabat tangan
ketika bertemu atau hadir di suatu pertemuan, biasanya, dianggap sebagai
orang sombong dan kurang beradab.
Menurut Imam An-Nawawi, berjabat tangan
(salaman) telah disepakati sebagai bagian dari sunnah ketika bertemu.
Ibn Batthal juga menjelaskan, “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal
yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al-Bukhari Ibn Batthal, 71/50).
Menurut Imam An-Nawawi, berjabat tangan (salaman) telah disepakati sebagai bagian dari sunnah ketika bertemu.
Dalam beberapa riwayat, jabat tangan juga diamalkan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, di antaranya:
Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al-Bukhari, 5908).
Abdullah bin Hisyam mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al-Khattab.” (HR. Al-Bukhari 5909).
Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku
dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari 4156).
Ibn Batthal juga menjelaskan, “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.”
Keutamaan berjabat tangan
Berjabat tangan dengan sesama saudara seiman memiliki banyak keutamaan, antara lain:
Pertama, orang yang berjabat tangan akan diampuni dosanya.
Dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan
kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu
Daud, 4343). Dari Hudzifah bin Al-Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain,
kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa
keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.”
(Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525).
Kedua, Berjabat tangan bisa menjadi sebab hilangkannya kebencian dalam hati.
“Lakukanlah jabat tangan, karena jabat
tangan bisa menghilangkan permusuhan.” Tetapi hadis ini didhaifkan oleh
Syaikh Al Albani (Ad Dha’ifah, 1766) “Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan kedengkian dalam hati kalian.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ dan didhaifkan oleh Syaikh Al-Albani)Terdapat beberapa hadis dalam masalah
ini, namun semuanya tidak lepas dari cacat. Terlepas dari hadis di atas,
telah terbukti dalam realita bahwa berjabat tangan memiliki pengaruh
dalam menghilangkan kedengkian hati dan permusuhan.
Ketiga, Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut.
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama
kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan
Syaikh Al Albani, As Shahihah, 527). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mengabarkan bahwa penduduk Yaman adalah orang yang hatinya lebih lembut
dari pada para sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera
untuk mengajak jabat tangan.
Namun, perlu diperhatikan bahwa
penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara
sesama laki-laki atau sesama wanita. Sedangkan berjabat tangan antara
laki-laki dengan wanita yang bukan mahram hukumnya adalah haram,
dalilnya sangat jelas, antara lain :
1. Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menegaskan :
إِنَّ
اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ
لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ
زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan
bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut
secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya
adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah
memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan
berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau
didustakan.”
Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim
(8/457) mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan
perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya,
yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang
zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang haram, atau
mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha
untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh
wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…”
Sedangkan pada (16/316), An-Nawawi
menjelaskan: “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan
menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan
zina kemaluan”.
“Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan.” (Imam An-Nawawi)
Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahih-nya.
Beliau meletakkan hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah
zina untuk tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (Shahih Ibn Hibban, 10/269). Dalam kesempatan yang lain, Ibnu Hibban
memberikan judul: “Bab, digunakan istilah zina untuk anggota badan yang
melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban, 10/367). Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya
yang dilakukan Ibn hibban di sini menunjukkan bahwa beliau memahami
bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang mengantarkan
zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para
penulis hadis adalah pernyataan pendapat beliau. Al Jash-shas mengatakan: “Digunakan
istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk majaz (bukan zina sesungguhnya
dengan kemaluan, -pen).” (Ahkam Al-Qur’an, 3/96). Kesimpulannya, istilah zina bisa
digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan pelanggaran, karena
perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan
zina yang hakiki adalah zina kemaluan.
2. Hadits Ma’qil bin Yasar radhyiallahu ‘anhu :
لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Andaikata kepala salah seorang dari
kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada
menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnad-nya no.1282, Ath-Thabrani 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226). Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin-Nisa' hal.123). Berkata Asy-Syinqithy dalam Adwa` Al-Bayan
(6/603): “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat
menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih
kuat dibanding fitnah memandang”. Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitami (Az-Zawajir 2/4) bahwa: “dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”.
“dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”. (Abu Abbas al-Haitami)
3. Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
"Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (HR. Malik 1775, Ahmad 6/357, Ibnu Majah 2874, An-Nasa'i 7/149, dan lainnya).
"Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” al-Hadits
Hadits ini dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari 12/204, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain). Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid (12/243): "Dalam sabda beliau 'aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita'
ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan
perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh
tangannya dan berjabat tangan dengannya.”
4. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Shahihain, beliau berkata:
وَاللهِ
مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ
بِالْكَلاَمِ
“Demi Allah tidak pernah sama sekali
tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyentuh tangan wanita
dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan".
Berkata Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (13/16): “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”. Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya
(4/60): “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan
tanpa dengan menyentuh tangan.”
Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan
dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at
adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini
menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram
dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan
bai’at tentu dosanya lebih besar lagi. (PurWD/voa-islam)
0 komentar:
Posting Komentar