Selasa, 24 Juli 2012

Kesadaran Memiliki Tuhan

Bersyukur Adalah Tampilan Nyata Orang Beriman

Tidak jarang orang memahami istilah “syukur” itu sedemikian sederhana dan pragmatis. Seolah-olah kalau ada orang mau berterima kasih kepada Allali SwT dan mengucapkan lafal “al-hamdu li- ’llaahi rabbi-’l-’aalamiin” sudah dianggap cukup untuk disebut sebagai orang yang “bersyukur”. Apakah demikian itu pengertian “syukur” kalau dilihat dari perspektif orang beriman?

Dari perspektif orang beriman, bangunan atau struktur tampilan “syukur” itu memiliki 2 (dua) komponen inti, yaitu komponen “kesadaran memiliki Tuhan” dan komponen “kesadaran mengelola diri sendiri”. Setiap komponen inti tersebut memiliki subkomponen yang mau tidak mau harus ada dan harus dimunculkan. Bagaimana penjelasan rincinya?

Komponen inti yang pertama, yaitu “kesadaran memiliki Tuhan”. Kesadaran ini sungguh-sungguh penting. Bahwa dalam hidup ini perlu disadari adanya pihak yang senantiasa menemani. Tetapi sekaligus mengawasinya, yaitu Tuhan, Allah SwT.

Bagi orang beriman, karena dia selalu merasa ditemani dan diawasi oleh Tuhan, Allah SwT, maka apa pun yang diusahakan dan dikerjakan merasa dirinya bukan satusatunya yang berusaha atau bekerja. Temannya dan pengawasnya, yaitu Allah SwT ikut andil besar terhadap keseluruhan usaha dan pekerjaannya itu. Karena itu, komponen inti yang pertama, yaitu “kesadaran memiliki Tuhan” mengandung subkomponen yang jumlahnya 2 (dua) saja, yaitu: “sadar berterima kasih” dan “sadar untuk terus berdoa/memohon” .

Kalau di atas dikatakan bahwa setiap usaha dan pekerjaan itu terdapat andil dari Allah SwT. Sekarang pertanyaannya adalah “apakah Allah SwT memerlukan bagian dari keberhasilan tersebut?” Hal ini dijawab sendiri oleh Allah SwT lewat Al-Qur’an yang berbunyi (Q.s. Luqman [31]: 12): wa man yasykur fa innamaa yasykuru li nafsihi wa man kafara fi inna-‘l-laahaa ghaniyyun hamiidun = Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya (sendiri), dan barangsiapa kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Dengan pernyataan ayat ini, jelas ditunjukkan bahwa Allah SwT tidak minta bagian. Sebab Allah SwT adalah Dzat yang sudah Maha Kaya (ghaniyyun) dan yang sudah sangat Maha Terpuji. Karena itu, Allah SwT sudah tidak membutuhkan apa pun, termasuk pujian.

Selanjutnya, komponen inti yang kedua, yaitu “kesadaran mengelola diri sendiri”. Kesadaran ini sungguh-sungguh penting pula. Bahwa hidup kita, umatmanusia, senantiasa dipenuhi oleh bermunculannya keinginan. Keinginan yang paling tampak adalah keinginan memiliki dan keinginan menikmati. Keinginan memiliki ini meliputi jumlah/ kuantitas (misalnya tabungan uangnya banyak, rumahnya banyak, tanahnya luas, perusahaannya beranak-pinak, kesehatannya prima, dan sebagainya) dan mutu/ kualitas (misalnya terlihat indah, terdengar merdu, terbau harum, terasa enakmenyelerakan, terasa halus-empuk, terasa nyaman badan, terasa segar-bugar, terasa gembira-menyenangkan, terasa menyejukkan- menenangkan, dan sebagainya). Kalau berbagai keinginan ini dibiarkan, maka orang akan tergulung dan dipermainkan o.leh “sang keinginan” itu sendiri. Pada hakikatnya, justru keinginan itu sekedar energi dan semangat untuk melakukan gerak, usaha, dan bekerja, bukan sebagai tujuan. 0leh sebab itu, kalau sampai terjadi “sang keinginan” menjadi tujuan atau penyetirnya, maka kondisi seperti itu benarbenar terbalik secara hakiki.

Agar apa yang disebut “keinginan” di atas berjalan sebagaimana mestinya, wajar, dan proporsional, maka perlu 2 (dua) hal, yaitu: “membatasi medan keinginan” dan “menikmati secara maksimal hal yang dihadapi”. Yang dimaksud dengan “membatasi medan keinginan” ini adalah bahwa bertambahnya jumlah keinginan itu tidak terbatas. Apa saja diingini, terutama yang menyangkut keinginan “memiliki” dan “menikmati”. Pembatasannya adalah dengan memilah dan memilih, mana keinginan yang benar-benar perlu. Untuk proses memilah dan memilih ini faktor penalaran harus difungsikan, bukan faktor perasaan yang menjadi acuan. Inilah yang disinggung Al-Qur’an sebagai berikut (Q.s. Al-A’raf [7]: 31): wa kuluu wa’asy-rabuu wa laa tusrifun innahu laa yuhibbu-‘l-musyrifiina = Dan makanlah serta minumlah dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan.

Berkaitan dengan komponen inti yang kedua di atas, maka subkomponen yang harus ada adalah “membatasi medan keinginan” dan “menikmati secara maksimal hal yang dihadapi”. Dua subkomponen ini perlu dilatihkan dan dibiasakan.

Berdasarkan uraian menyeluruh di atas, maka bagi seorang yang beriman, pengertian “syukur” yang perlu diresapi adalah bahwa dalam perjalanan hidup ini perlu “kesadaran memiliki Tuhan” (komponen inti yang pertama) dan “kesadaran untuk mengelola diri sendiri” (komponen inti yang kedua). Kesadaran memiliki Tuhan akan mempertajam “rasa terima kasih” dan “menyatakan doa dan permohonan” kepada Tuhan. 
 
Selanjutnya, kesadaran mengelola diri sendiri akan mempertajam “pembatasan medan keinginan” dan kesanggupan “menikmati secara maksimal hal yang dihadapi”. Jadi, bersyukur tidak sekedar mengucapkan hamdalah (“al-hamdu li-’llaahi rabbi-’l-’aalamiin”) saja. Perlu lebih dalam daripada itu. 
 
Bagaimana dengan Anda selama ini?l

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution