MENGAPA PELUANG KEBAIKAN TAK TERMANFAATKAN?
Peluang-peluang kebaikan dan kebajikan dalam hidup ini tidak
hanya ada, tapi bahkan sangat banyak sekali, sampai tak terbilang. Kita
saja yang lebih sering tidak menyadari dan tidak memanfaatkan
peluang-peluang yang selalu datang dalam hidup kita dari waktu ke waktu. Karena
kaedahnya memang mengatakan bahwa, selama ada orang baik dan juga niat
baik, maka peluang-peluang kebaikan dan kebajikan itu otomatis akan ada
dan hadir bersamanya atau karenanya.
Jadi mari semua fokus membaikkan
dan membajikkan diri, baik diri sendiri masing-masing, maupun juga diri
orang lain secara bersama-sama.
Nah, jika demikian halnya, lalu
mengapa banyak peluang kebaikan dan kebajikan justru tidak termanfaatkan
atau tidak teroptimalkan pemanfaatannya? Jawabannya bisa banyak dan
bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:
1. Karena potensi,
semangat dan spirit kebaikan dan kebajikan dalam diri kita dan di
masyarakat, masih minim dan lemah. Nah, jika potensi, semangat dan
spirit kebaikan dan kebajikan dalam diri, minim dan lemah, maka
jangankan untuk memanfaatkan atau apalagi mengoptimalkan pemanfaatan
setiap peluang kebaikan dan kebajikan yang ada, bahkan sekadar untuk
menyadari dan mengetahuinya sajapun tidak bisa. Karena jika semangat
kebaikan dan kebajikan dalam diri seseorang lemah, apalagi tidak ada,
maka tentu ia akan abai dan tidak peduli, apakah peluangnya ada ataukah
tidak.
2. Karena tanpa sadar ternyata kita masih sering
diskriminatif tentang bidang-bidang kebaikan dan kebajikan. Begitu pula
bidang dan jenis kebaikan dan kebajikan sering dibatasi hanya yang
sesuai dengan mood dan selera sebagian kita saja. Dimana untuk
jenis-jenis kebaikan, kebajikan dan ketaatan yang sesuai dengan mood,
selera dan keinginan pribadi, tidak jarang sampai dipaksa-paksakan,
meskipun sebenarnya peluang yang tersedia tidaklah cukup memadai, atau
jenis kebaikan, kebajikan dan ketaatan yang diingini itu bukan termasuk
yang utama. Sementara itu sebaliknya, untuk jenis-jenis kebaikan,
kebajikan dan ketaatan yang kurang atau tidak sesuai dengan mood, selera
dan keinginan pribadi, umumnya terabaikan dan tidak atau kurang
terpedulikan secara memadai, meskipun peluang-peluangnya sebenarnya
sangatlah besar dan banyak. Sebagai contoh misalnya, betapa sering
berlebihannya mood dan semangat masyarakat muslim untuk menunaikan
ibadah haji dan umrah. Sampai-sampai yang sebenarnya belum wajib karena
belum berkemampuan pun memaksakan diri dengan beragam jalan dan cara
untuk bisa sampai ke Tanah Suci. Sehingga tak sedikit dampak negatif dan
akibat buruk pun terjadi, gara-gara semangat berlebihan dan pemaksaan
diri tersebut. Di sisi lain banyak kaum muslimin berkemampuan finansial
tinggi, yang juga “memaksakan diri” untuk berhaji dan berumrah
berkali-kali, dengan beaya yang sangat besar. Padahal seandainya
sebagian saja, tidak harus semua, dari beaya haji dan umrah sunnah yang
berkali-kali itu, diinfakkan untuk menutup sebagian kecil kebutuhan yang
sangat mendesak di jalur sosial, pendidikan dan dakwah, niscaya akan
lebih besar manfaatnya dan lebih tinggi nilai dan pahalanya. Namun fakta
dan realitanya, memang sangat sedikit sekali yang memiliki mood dan
semangat berinfak dengan kadar separoh dari mood dan semangat berhaji
dan berumrah, apalagi setara atau melebihi.
3. Karena ternyata
para pendukung keburukan dan kejahatan sering justru lebih gigih dan
lebih “istiqamah” dalam membela dan memperjuangkan keburukan dan
kejahatan mereka, serta menciptakan peluang-peluannya dan sekaligus
mengoptimalkan pemanfaatannya, daripada para pegiat kebaikan dan
kebajikan dalam menemukan dan memanfaatkan peluang-peluang yang telah
tersedia. Termasuk ikatan “wala’” dan jalinan kerja sama antar kelompok
pertama itu, juga tak jarang lebih riil dan lebih kuat dibandingkan
dengan ikatan dan jalinan yang sama yang ada dan terjadi di antara
kelompok kedua.
4. Karena kebanyakan orang baik dan saleh justru
lebih memilih posisi pasif dan peran pengikut, yang baru mau bergerak
untuk mendukung kebaikan dan kebajikan serta memanfaatkan
peluang-peluangnya, hanya kala ada unsur penggerak dan pelopor yang
memulai dan mengajak mereka. Nah, karena sikap pasif saling menunggu
ajakan dan kepeloporan yang lain inilah, peluang-peluang kebaikan dan
kebajikan seringkali terabaikan dan tidak termanfaatkan. Sehingga
akibatnya, peluang-peluang itupun kebanyakan “menguap” begitu saja. Oleh
karena itu, agar peluang-peluang kebaikan dan kebajikan senantiasa bisa
teroptimalkan pemanfaatannya, adanya individu-individu penggerak dan
pelopor adalah salah satu prioritas utama di dalam dakwah, dan bahkan
merupakan sebuah keniscayaan dan kemutlakan. Sementara itu, untuk
menjadi unsur pelopor dan penggerak kebaikan serta kebajikan di
tengah-tengah masyarakat dan ummat memang berat sekali. Makanya nilai
dan pahalanya pun berlipat-berlipat sesuai jumlah orang-orang yang
digerakkan dan ikut.
5. Faktor dan fenomena perselisihan ekstrem
antar berbagai kelompok ummat. Harap dicatat bahwa, masalah yang
dimaksud disini bukanlah sekadar faktor keragaman dan perbedaan kelompok
serta golongan ummat. Namun yang dimaksud secara khusus adalah faktor
perselisihan ekstrem. Sekali lagi: faktor perselisihan ekstrem, yang
sudah tidak ditolerir, baik secara logika, maupun apalagi dalam
ketentuan hukum syariah. Ya, akibat faktor perselisihan ekstrem dan
perpecahan tercela antar kelompok, golongan, organisasi, jamaah dan
harakah di dalam tubuh ummat inilah, seringkali kita saksikan atau kita
dengar tentang berbagai peluang kebaikan dan kebajikan yang telah ada di
depan mata, akhirnya justru terlewatkan secara sia-sia dan lenyap
begitu saja entah kemana.
Wallahul Musta’an!
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri
0 komentar:
Posting Komentar