Berlindunglah Kepada Allah Ta’ala dari fitnah, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sering sekali berdoa meminta perlindungan dari Allah agar tidak terkena fitnah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan sudah memperingatkan umatnya akan timbulnya fitnah, sebagaimana dalam sebuah hadits shahih:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ
وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ ». قَالُوا وَمَا الْهَرْجُ
قَالَ « الْقَتْلُ »
Artinya: “Zaman akan semakin dekat, dicabutnya ilmu,
akan timbul fitnah-fitnah, dimasukkan (ke dalam hati) sifat kikir dan
akan banyak al harj”, mereka (para shahabat) bertanya: “Apakah al harj, wahai Rasulullah?”, beliau menjawab: “Pembunuhan”. HR. Bukhari dan Muslim.
Fitnah jika sudah datang maka akan datang bersamaan
dengannya kerusakan sampai hari kiamat. Allah Ta’ala telah
memperingatkan adanya fitnah, coba perhatikan firman-Nya:
{وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ
خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ} [الأنفال: 25
Artinya: “Dan peliharalah dirimu dari pada fitnah yang
tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu. Dan
ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. 8:25).
Makna fitnah adalah sesuatu yang genting, berubah-rubah, tidak ada
stabilitas dan semisalnya, akibat dari penyimpangan terhadap ajaran
islam.
Kaidah-kaidah penting untuk seorang muslim dalam menghadapi fitnah:
1. Jika timbul fitnah, maka hendaklah hadapi dengan sikap hati-hati, tidak gegabah dan penuh kesabaran.
Hadapi dengan lemah lembut dan ramah tamah, karena Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
« إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ ».
Artinya: “Sesungguhnya kelemah lembutan (keramah
tamahan) tidaklah ada di dalam sebuah perkara kecuali menghiasinya dan
tidak dicabut (kelemah lembutan) dari sesuatu kecuali memburukkannya“. HR. Bukhari dan Muslim.
Hadapi dengan sikap hati-hati (tidak gegabah) dan kesabaran, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Asyajj Abdul Qais radhiayallahu ‘anhu:
إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ
Artinya: “Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu; kesabaran dan pelan-pelan (tidak gegabah)”. HR. Muslim.
2. Tidak menghukumi sesuatu kecuali sesudah mengetahui kejadian sebenarnya, sesuai dengan kaedah fiqih:
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
Artinya: “Menghukumi sesuatu itu adalah termasuk bagian tentang gambaran sesuatu tersebut.”
Dan perlu diingat, suatu perkara tidak bisa diketahui kecuali
dengan dua: dari kabar kaum muslim yang terpercaya dan dari berita orang
yang meminta fatwa akan perkara tersebut meskipun orang yang minta
fatwa tersebut adalah orang fasik.
3. Hendaklah selalu memegang sikap adil dan pertengahan (tidak berlebih-lebihan).
Karena firman Allah Ta’ala:
{وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى} [الأنعام: 152]
Artinya: “…Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu…,” (QS. 6:152).
Juga firman Allah Ta’ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ
شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ } [المائدة: 8]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu
kerjakan.” (QS. 5:8).
Dan arti sikap adil dan sikap pertengahan bukanlah berarti
membenarkan yang salah dan menyalahkan yang batil tetapi menempatkan
standar kesalahan dan standar kebenaran sesuai dengan syari’at Islam
bukan dengan hawa nafsu, harap diperhatikan point ini.
4. Selalu bersatu dalam kesatuan kaum muslim di bawah kepemimpinan yang sah.
Karena hal inilah yang ditunjukkan Allah dalam firman-Nya:
{وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ} [آل
عمران: 103]
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat
Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. 3:103).
Dan berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ
Artinya: “Hendaklah kalian berjama’ah (di dalam kesatuan kaum muslimin) dan jauhilah dari perpecahan”. HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani.
Dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berpecah belah
ketika sudah jelas keterangan dan dalil bagi dia, firman Allah Ta’ala:
{وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104) وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا
وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيمٌ (105)} [آل عمران: 104، 105]
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
(QS. 3:104) Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang
berat.” (QS. 3:105).
5. Slogan, bendera, visi dan yang semisalnya yang dibawa ketika fitnah harus ditimbang oleh seorang muslim dengan timbangan syari’at agama Islam, timbangannya Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Dan timbangan yang digunakan ada dua macam: pertama, timbangan
yang digunakan untuk mengukur apakah bendera, visi, misi, slogan
merupakan agama Islam, kalau tidak, berarti kebalikan Islam yaitu
kekufuran. Dan kedua, timbangan yang digunakan untuk mengukur
apakah bendera, visi, misi dan yang semisalnya sesuai dengan islam yang
benar, kalau tidak, berarti kebalikan Islam yang benar adalah Islam yang
tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Ta’ala berfirman:
{وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا
تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ
أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ} [الأنبياء: 47]
Artinya: “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada
hari kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan
jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan
(pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan”. (QS. 21:47).
6. Setiap perkataan dan perbuatan di dalam setiap fitnah harus ada dhawabith (ukuran yang tepat).
Karena tidak semua perkataan yang anda anggap baik itu cocok untuk dikatakan dalam fitnah tertentu, begitu pula tidak semua perbuatan yang anda anggap baik itu cocok untuk diperbuat di dalam fitnah tertentu.
Karena setiap perkatan ataupun perbuatan akan mendatangkan beberapa perkara yang lain.
Oleh sebab itu ada riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً.
Artinya: “Tidak anda berbicara dengan suatu kaum sebuah
pembicaraan yang tidak bisa dipahami oleh akal mereka kecuali akan
menjadi fitnah bagi sebagian dari mereka”. HR.Muslim.
7. Jika terjadi fitnah, maka bersatulah dengan kaum muslimin apalagi para ulama.
Dan para ulama yang merupakan referensi (tempat kembali kaum muslimin) adalah mereka yang mempunyai dua sifat: pertama,
dari ulama Ahlus sunnah yang mengerti tentang tauhid, sunnah dan yang
lainnya yang berdasarkan pemahaman para shahabat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kedua, yang
benar-benar paham akan hukum-hukum islam secara menyeluruh, paham akan
kaedah-kaedah dasar, akar-akar permasalahan, sehingga mereka tidak
mempunyai kesamaran dalam menghadapi permasalahan.
8. Seorang muslim tidak boleh menurunkan hadits-hadits tentang fitnah yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada fitnah yang lagi berlangsung, misalkan dengan mengatakan : “Inilah fitnah yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, atau dengan mengatakan: “Inilah orang yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal fitnah tersebut masih berlangsung belum selesai, boleh kita mengatakan seperti itu ketika fitnah tersebut sudah selesai sebagai pernyataan seorang muslim akan berita yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
---------------------------------------------------
Tulisan ini disarikan dari kitab berjudul “Adh Dhawabit Asy Syar’iyyah Limauqif Al Muslim Min Al Fitan” (kaidah-kaidah Syariat tentang sikap seorang muslim dalam menghadapi keadaan-keadaan genting), karya Syeikh Shalih Alu Syeikh hafizhahullah, Menteri Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan untuk Kerajaan Arab Saudi. Alih Bahasa: Abu Abdillah Ahmad Zainuddin.
0 komentar:
Posting Komentar