Belajar dari Hajar Menjemput Rezeki yang Halal
Suri teladan
yang sering kali luput dari pengamatan kita saat membahas sejarah
kehidupan keluarga Nabi Ibrahim adalah usaha keras mereka dalam
menjemput rezeki. Siti Hajar yang berlari ke sana ke mari untuk mencari
air demi kelangsungan hidupnya dan hidup bayinya, Ismail yang
meronta-ronta kehausan, memberi penjelasan kepada kita betapa gigihnya
menjemput rezeki dari Allah itu. Usaha keras Hajar yang tak mengenal lelah ini seperti sebuah kalimat,
“banting tulang peras keringat.” Bukit Shofa dan Marwa menjadi saksi
bisu yang menyejarah. Hasilnya, air zam-zam yang segar menyegarkan
dihadiahkan oleh Allah yang bisa dinikmati sampai detik ini. Ikhtiyar
Hajar dinobatkan menjadi bagian dalam prosesi ibadah haji. Yaitu Sa`i
antara Shafa dan Marwah. Allah sangat mencintai Hajar sebab selain merupakan pendamping setia
nabi-Nya, ia telah membuktikan secara nyata tidak pernah lelah dan putus
asa dalam menjemput rezeki, meski keadaan ketika itu tidak didukung
sarana yang memadai. Tapi tidak sedikitpun menyurutkan langkahnya. Hajar sadar bahwa rezeki seseorang sudah tersedia.
Setiap orang telah
diberi alokasi rezeki untuk membiayai hidup guna keperluan memasak,
sekolah, membeli kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Tidak ada satupun
yang tidak mendapat bagian, bahkan hewan melata. Tinggal kemauan dan
kerja keras disertai tawakkal kepada Allah-lah yang akan mendorong
seseorang untuk bisa memperoleh rezeki dengan cara yang benar. Ibarat anak yang kita sekolahkan lalu kita jemput pada saatnya,
rezeki kita sudah Allah titipkan di pabrik, perkantoran, jalan-jalan,
pertokoan, sawah, ladang, laut, dan sebagainya. Kembali kepada kemauan
kuat untuk mendatangi lokasi rezeki dengan segenap kemampuan yang kita
miliki.
Islam sangat menghargai seseorang yang bekerja dan memainkan peran
sosial di tengah kehidupannya. Rasul SAW menempatkan bekerja sebagai
salah satu amal perbuatan yang dapat menggugurkan dosa. Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, Rasul menegaskan,
“Sesungguhnya di
antara dosa itu ada dosa yang tidak dapat dihapus oleh shalat, puasa,
haji, dan umrah, tetapi dapat terhapus oleh lelahnya seseorang dalam
mencari nafkah.”
Dalam hadits yang lain, dijelaskan bahwa Allah suka kepada seorang
hamba yang memiliki karya, professional dalam bekerja, dan pekerja
seperti ini tergolong sebagai seorang pejuang agama. (HR. Ahmad).
Dalam buku yang ditulis Aidh Al-Qarni, La Tahzan, disebutkan
Umar bin Khattab menyatakan perang terhadap semua bentuk pengangguran,
kemalasan, dan ketidakgiatan. Bahkan Umar bin Khattab pernah menarik
keluar para pemuda yang diam di dalam masjid dan tidak melakukan
apa-apa. Umar memukul mereka dan berkata, “Keluar kalian, cari rezeki. Langit tidak akan menurunkan emas dan perak.”
Alkisah, suatu waktu hari Rasul bertemu dengan Sa`ad bin Mu`adz
Al-Anshari. Ketika itu Nabi Muhammad melihat tangan Sa`ad yang kulitnya
gosong kehitam-hitaman dan melepuh seperti terpanggang matahari. Sa`ad pun memperlihatkan tangannya kepada Sang Rasul. Rasul pun
bertanya kepada Sa’ad, “Mengapa tanganmu?” “Wahai Rasulullah, jawab
Sa`ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul
itu untuk mencari nafkah halal bagi keluarga yang menjadi tanggunganku.” Mendengar keterangan tersebut, Nabi mengambil tangan Sa`ad bin Mu`adz
Al-Anshari dan menciumnya seraya bersabda, “Inilah tangan yang tidak
akan pernah disentuh api neraka.” Dari kisah tersebut, kita mesti
meyakini tidak ada yang berlalu sia-sia dari tiap tetesan keringat yang
kita seka karena lelah dan penat bekerja. Yakinlah, Allah sebagai Maha
Pemberi Rezeki, yang telah menentukan rezeki, walau seseorang
berdomisili di gurun pasir yang tandus. Karena Allah telah berjanji;
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا
وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah
yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS: Huud [11] : 06).
Dari kisah Sa`ad pula, kita bisa memetik hikmah, di tengah-tengah
himpitan krisis di berbagai sektor, bangsa Indonesia sangat membutuhkan
semangat Sa`ad bin Mu`adz Al-Anshari guna menyegarkan dan menghidupkan
bangsa ini, sehingga mampu mengembalikan identitas bangsa ini menjadi
bangsa yang bermartabat di mata dunia.
Karena selama ini, kita telah
kehilangan jati diri sebagai bangsa besar, disebabkan
pemimpin-pemimpinnya yang selalu berharap untuk mendapatkan bantuan dari
bangsa lain. Hal ini mengakibatkan ketergantungan rakyatnya untuk
senantiasa mendapatkan sesuatu tanpa didasari usaha. Bukankah bangsa ini
sangat kaya dengan sumber daya alamnya? Ini adalah modal dasar yang
telah kita miliki.
Untuk itu, selanjutnya tinggal bagaimana kita mampu
mengolahnya. Apabila rezeki seseorang sudah dialokasikan secara tepat,
pertanyannya kemudian untuk alasan apa seseorang melakukan tindakan
pidana korupsi dalam proyek pengadaan alat Simulator, Wisma Atlet,
Hambalang, bahkan dalam proyek pengadaan Al-Qur`an? Uang rakyat yang begitu besar jumlahnya diambil tanpa hak untuk
dinikmati segelintir orang. Padahal dirinya sudah hidup berkecukupan
bahkan dapat dikata hidup dalam kelayakan di atas rata-rata orang-orang
di sekitarnya. Bukankah rezeki yang sedikit tapi disyukuri jauh lebih
baik daripada banyak namun dikufuri?
Berlari-lari antara Shafa dan Marwah yang dilakukan oleh Hajar
menjadi simbol seorang hamba yang tidak ingin menadahkan tangan,
meminta-minta atau mengemis kepada sesama makluk. Kerja keras sebagai
usaha mewujudkan cita-cita menjadi skala prioritas, tanpa lupa untuk
berbagi kepada sesama. Allah cinta kepada hambanya yang mau bekerja
keras dengan penuh dedikasi demi meraih prestasi. Belajar dari Siti
Hajar, belajar menjemput rezeki yang benar.
Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang
0 komentar:
Posting Komentar