Rabu, 24 Oktober 2012

Mengendalikan Stres Dalam Perspektif Islam

MENGELOLA STRES DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN PSIKOLOGI

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan menjelaskan bagaimana kajian stres dalam Islam, khususnya tentang pengelolaan stres. Metode kajian yang dipakai adalah menelaah hasil kajian beberapa ahli terhadap ayat Al Qur’an terkait dengan stres dan pengelolaannya. Agama Islam memaknai stres sebagai cobaan dari Allah SWT yang mampu menyebabkan munculnya penyakit hati. Islam mengajarkan beberapa strategi untuk mengelola stres yaitu niat ikhlas, sabar dan shalat, bersyukur dan berserah diri, doa dan dzikir. Strategi ini juga diungkapkan dalam versi ahli psikologi seperti relaksasi, berpikir positif, dan mengatur waktu. Kata Kunci : mengelola, stress, kajian Islam


PENDAHULUAN

Setiap manusia di dalam kehidupan sehari-harinya tentu pernah mengalami kegagalan atau ketidaksesuaian kenyataan yang dihadapi dengan harapan sebelumnya. Kondisi ini dapat mengarahkan dia ke situasi yang tidak nyaman, yang membuat dirinya sedih, cemas, ragu-ragu, atau bingung. Kondisi ini adalah salah satu ciri adanya gangguan psikis, yang mana di bidang psikologi di antaranya dikenal sebagai kondisi stres. Stres di dalam istilah bahasa asing dikenal dengan stress, diartikan oleh seorang psikolog perkembangan JW Santrock (2000) sebagai respon individu terhadap situasi dan peristiwa yang dianggap mengancam. Ahli lain, Magill (1996) juga menyatakan bahwa stres merupakan reaksi adaptif individu terhadap situasi yang dipersepsikan sebagai ancaman. Situasi mengancam ini menjadi situasi yang sulit diatasi oleh individu yang bersangkutan. Seringkali membutuhkan waktu lama dan bahkan tidak jarang gagal mengatasinya, sehingga pada tahap berikutnya ia mengalami kesulitan dalam bekerja ataupun melakukan aktivitas keseharian lainnya. Islam mengenalkan stres di dalam kehidupan ini sebagai cobaan. Allah SWT berfirman di dalam Al Qur’an surat Al Baqarah (2) ayat 155 yang artinya “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. Datangnya cobaan kepada diri kita inilah yang akan dirasakan sebagai suatu stres (tekanan) dalam diri, atau disebut juga sebagai beban. Banyak contoh dalam keseharian kita bentuk-bentuk cobaan ini, misalnya kematian, sakit, dan kehilangan. Bukan hanya kondisi yang buruk menjadi cobaan, namun kekayaan, anak, kepandaian dan jabatan juga menjadi cobaan bagi manusia. Surat al Baqarah ayat 10 menyatakan kondisi stres dan gangguan psikologis yang mengikuti manusia sebagai penyakit hati. Lebih jelasnya berbunyi “dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” Penyakit hati ini diartikan sebagai sifat kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap orang lain. Sifat dan perasaan ini menjadikan seseorang senantiasa
merasa terancam oleh sesuatu yang sesungguhnya dapat dihindari. Situasi atau peristiwa yang memunculkan stres disebut sebagai stressor atau sumber stres. Segala sesuatu yang ada di lingkungan manusia dapat menjadi stressor, baik berupa lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, tempat kerja, dan tempat umum. Orang lain yang ada di sekitar kita juga dapat menjadi stressor, sebagaimana benda fisik seperti ruangan, angkutan umum, kemacetan, cuaca, dan sebagainya.

PENYEBAB STRES

Stressor sebagai pemicu stres jenisnya bervariasi antar individu. Stressor yang sama belum tentu memiliki pengaruh stres yang sama bagi orang yang berbeda, sehingga kemampuan mengatasi satu kondisi yang sama juga berbeda antara satu orang dengan orang lainnya (Wallace, 2007). Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik stressor dan persepsi serta toleransi individu terhadap stressor (Bucker, 1991). Karaktristik stressor meliputi makna stressor bagi individu, jumlah dan durasi stressor, kompleksitas pengaruh, dan waktu munculnya stressor. Stressor yang memiliki makna tinggi bagi individu dirasakan lebih berat daripada yang kurang bermakna, misalnya meninggalnya isteri menjadi stressor yang lebih tinggi daripada meninggalnya tetangga. Makin banyak jumlah stressor dan makin lama stressor tersebut menerpa, makin tinggi juga akibat yang dirasakan individu. Seseorang yang kematian anggota keluarga, kemudian kehilangan mobil, dan dipecat dari pekerjaan akan merasakan beban yang berat karena diterpa lebih dari satu macam stressor. Apabila stressor tersebut terjadi dalam durasi yang lama menyebabkan stres yang dirasakan makin berat. Pemecatan dari pekerjaan akan menimbulkan rentetan persitiwa yang dapat menjadi stressor lain, misalnya kondisi ekonomi keluarga memburuk, keharmonisan keluarga hilang, konflik dengan orangtua, tuntutan biaya sekolah anak, dan sebagainya, yang kesemuanya menjadi stressor berat juga. Bagi individu yang berasal dari keluarga kaya mungkin tidak akan merasakan berat stressor pemecataan ini. Stressor yang muncul secara mendadak atau pada waktu yang tidak diharapkan akan dirasakan lebih berat daripada kalau individu sudah mampu memperkirakan munculnya stressor ini. Toleransi individu terhadap stressor akan menentukan apakah ia akan
menjadi terganggu atau tidak dengan munculnya stressor ini. Sejauhmana ia mampu menyesuaikan diri dengan stressor sehingga dirinya tetap merasa nyaman. Hal ini juga menunjukkan ia mampu menghilangkan kekhawatiran terhadap ancaman stressor itu. Toleransi tersebut juga dipengaruhi oleh bagaimana individu mempersepsikan stressor itu. Individu yang memaknai stressor tersebut sebagai sesuatu yang tidak mengancam akan cenderung mudah menghadapinya. Sebaliknya, apabila menganggap stressor itu sangat menakutkan maka akan menyulitkan dalam menghadapinya. Kebiasaan berpikir positif dalam memandang segala permasalahan memunculkan kekuatan psikis yang mendorong untuk mampu mengatasi permasalahan tersebut. Jenis stressor sesuai dengan ayat 155 Al Baqarah sebagaimana di atas sudah menjelaskan hal-hal apa saja yang dapat menjadi cobaan bagi manusia. Secara tersurat dinyatakan oleh Allah SWT bahwa rasa takut, kekurangan makan, kemiskinan, dan kehilangan harta dapat menjadi cobaan yang berat. Hal yang sama diuraikan oleh Bucker (1991) dan Wallace (2007), bahwa ada beberapa macam jenis sressor, yaitu :

1. Kematian

meninggalnya seseorang yang dekat akan menimbulkan rasa kehilangan yang dalam, misalnya kematian pasangan hidup, anak, dan orangtua. Kehilangan ini menjadi awal dari perasaan terancam, yang terkait dengan kehidupannya kelak. Siapa yang akan mendampingi, siapa yang akan dijadikan tempat curhat, siapa yang akan memberi uang/nafkah, dan perasaan terancam lainnya. Stres yang muncul dapat mengarahkan individu pada kesedihan yang tinggi. Apalagi kalau individu tersebut terbiasa hidup manja dan tidak pernah bekerja keras.

2. Perceraian

sebagaimana kematian, perceraian juga memunculkan ketakutan terhadap figur yang akan mendampingi atau memberikan nafkah dan perhatian kepada pasangan ataupun keluarga. Anak akan mengalami kecemasan karena kehilangan figur pelindung orangtuanya. 

3. Kesulitan ekonomi

kesulitan ekonomi yang terjadi akibat berkurangnya pendapatan akan memunculkan ketakutan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup diri dan No.2, Juli 2010 keluarga. Bagaimana memperoleh makan, pakaian, rumah, dan kebutuhan lainnya. Apalagi kalau individu tersebut terbiasa hidup mewah dan manja.

4. Frustrasi

kegagalan yang terjadi secara berulang-ulang ketika usaha yang dilakukan dirasakan sudah maksimal, akan menimbulkan rasa frustrasi. Rasa frustrasi ini akan menimbulkan ketakutan terhadap pencapaian target usaha yang dituntut oleh diri sendiri atau orang lain, misalnya keluarga, masyarakat, dan atasan di kantor.

5. Konflik

perbedaan dan pertentangan yang berujung pada konflik dapat memunculkan ketakutan akan keberlangsungan hidupnya, misalnya konflik di keluarga dapat mengancam kelanggengan pernikahan, atau konflik di kantor akan memunculkan kekhawatiran terhadap karirnya.

6. Tekanan (pressure)

tuntutan yang tinggi dari orang lain dapat menjadi sumber stres juga, misalnya atasan yang mematok target tinggi akan menimbulkan kekhawatiran tercapai tuntutan yang tinggi dari orang lain dapat menjadi sumber stres juga, misalnya atasan yang mematok target tinggi akan menimbulkan kekhawatiran tercapai atau tidaknya target tersebut. Begitupun keluarga yang terlalu tinggi tuntutannya kepada suami akan menyebabkan suami terbebani dan menjadi khawatir juga. Secara umum, proses terjadinya stres dapat dijelaskan melalui bagan berikut :

Stressor Potensial --- Persepsi --- Stres atau Tanpa Stres

Stressor potensial yang muncul akan ditangkap oleh indera individu, yang kemudian dimaknai melalui proses persepsi. Hasil pemaknaan ini akan memunculkan kesimpulan apakah stressor tersebut mengancam atau tidak. Apabila mengancam, maka akan terjadi stres dan sebaliknya, apabila dipersepsi sebagai bukan ancaman tidak akan terjadi stres (Wallace, 2007).

AKIBAT STRES

Stres yang terjadi akan menimbulkan berbagai komplikasi gangguan, baik fisik, sosial maupun psikologis. Louis Kaplan (1996) menyebutkan bahwa stres dapat menyebabkan gangguan proses berpikir, konstentrasi berkurang, dan pengambilan keputusan terhambat. Selain itu, disebutkan oleh Cardwell (1996) bahwa akibat stres berupa efek subyektif (kelelahan, harga diri menurun), efek perilaku (nafsu makan berkurang, tidak tenang), efek fisiologis (tensi darah naik, sulit bernafas), efek kognitif (sulit konsentrasi). Kemampuan berpikir individu pada kondisi stres mengalami perubahan, terutama dalam konsentrasi, kemampuan memahami situasi, pengambilan keputusan dan menemukan solusi. Hal ini muncul karena emosi yang lebih dominan dan menutup peran pikiran dalam menghadapi permasalahan. Kontrol emosi yang lemah ini juga dapat menjadi pintu bagi perasaan kurang percaya diri, yang kemudian bermuara pada lemahnya upaya untuk segera mengatasi situasi. Individu yang sudah memiliki indikasi seperti ini seringkali kemudian melakukan upaya menyakiti diri sendiri dan orang lain, bahkan bunuh diri. Secara fisik, individu merasakan lelah dan seringkali muncul pula sakit kepala, peningkatan tekanan darah dan gejala gangguan jantung. Indikator yang nampak dari perilaku antara lain gugup, berkeringat, tidak tenang, dan napas tidak teratur. Pada individu tertentu sering ditemukan gangguan pola makan dan pola tidur, sehingga berat badan menurun dan kelelahan luar biasa. Akibat tersebut akan mengarahkan individu kepada kontak sosial yang lemah, sehingga perhatian dan kepedulian kepada lingkungan sosial menjadi hilang. Perilaku yang kemudian muncul adalah mengurung diri di rumah, tidak bersedia menerima tamu, tidak bersedia menghadiri undangan, dan sebagainya. No.2, Juli 2010

MENGELOLA STRES 

Menilik akibat yang sangat besar pada stres, maka dibutuhkan kemampuan untuk mengelola stres. Stres tidak mungkin selamanya dihindari, karena ujian dan cobaan dari Allah SWT tidak dapat diatur oleh manusia. Langkah terbaik adalah menyiapkan sikap dan perilaku mengelola stres sehingga mampu menangkal akibat stres. Anjuran Allah SWT tentang menghindari dan mengelola stres sangat jelas, sebagaimana yang telah digariskan dalam surat Ali ‘Imron ayat 139  QS 3 : 139. “janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. Secara rinci, beberapa cara mengelola stres yang telah diajarkan oleh Islam adalah sebagai berikut (Athar, 1991; Athar, 2008; Hawari, 1997; Heru, 2006):

1. Niat Ikhlas. Upaya yang dilakukan oleh individu senantiasa diliputi oleh bermacam motivasi. Motivasi inilah yang menentukan bagaimana upaya yang dilakukan dan bagaimana bila tujuan tidak tercapai. Islam sudah mengajarkan agar senantiasa berniat ikhlas dalam berusaha, dengan tujuan agar nilai usaha tinggi di mata Allah SWT dan dia mendapat ketenangan apabila usaha tidak berhasil sesuai harapan. Ketenangan ini bersumber dari motif hanya karena Allah, bukan karena yang lain, sehingga kegagalan juga akan selalu dikembalikan kepada Allah SWT. Sebagaimana dalam surat At Taubah ayat 91. QS 9 : 91. “tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” 

2. Sabar dan Shalat. Sabar dalam Islam adalah mampu berpegang teguh dan mengikuti ajaran agama untuk menghadapi atau menentang dorongan hawa nafsu. Orang yang sabar akan mampu mengambil keputusan dalam menghadapi stressor yang ada. Sebagaimana dalam ayat 155 surat Al Baqarah di depan yang menekankan kepada kesabaran akan mampu menghadapi cobaan yang diberikan. Di dalam ayat 153 surat yang sama Allah SWT juga menyatakan  QS 2 : 153. “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Melalui shalat maka individu akan mampu merasakan betul kehadiran Allah SWT. Segala kepenatan fisik, masalah, beban pikiran, dan emosi yang tinggi kita tanggalkan ketika shalat secara khusyuk. Dengan demikian, shalat itu sendiri sudah menjadi obat bagi ketakutan yang muncul dari stressor yang dihadapi. Selain itu, shalat secara teratur dan khusyuk akan mendekatkan individu kepada penciptanya. Hal ini akan menjembatani hubungan Allah SWT dengan individu sehingga Allah SWT tidak akan membiarkan individu tersebut sendirian. Segala permasalahan yang ada akan selalu dibantu oleh Allah SWT dalam menyelesaikannya. Keyakinan terhadap hal ini dapat menenangkan hati dan mengurangi kecemasan atau rasa terancam yang muncul.

3. Bersyukur dan Berserah diri (Tawakkal). Salah satu kunci dalam menghadapi stressor adalah dengan selalu bersyukur dan menerima segala pemberian Allah SWT. Allah SWT sudah mengajarkan di dalam Al Qur’an Surat Al Fatihah ayat 2 dan Al Baqoroh : 156 : (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Kedua ucapan di atas sangat familier dilidah kita, dan apabila kita pahami maknanya setiap kali mengucapkannya saat menghadapi cobaan maka niscaya
akan muncul kekuatan psikologis yang besar untuk mampu menghadapi musibah itu. "Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”, dan “Kami ini kepunyaan Allah, dan kepadanya jua kami akan kembali". Cara berpikir negaatif yang menekankan kepada persepsi stressor sebagai sesuatu yang mengancam dan merugikan, perlu diubah menjadi berpikir positif yang menekankan kepada pengartian stressor sebagai sesuatu yang tidak perlu dicemaskan. Bahkan individu perlu melihat adanya peluang-peluang untuk mengatasi stressor dan harapan-harapan positif lainnya. Saat stressor musibah datang menghampiri, biasanya akan mudah timbul rasa kehilangan sesuatu dari dalam diri. Hal ini membutuhkan rasa percaya (keimanan) bahwa diri kita ini bukan siapa-siapa, diri ini adalah milik Allah SWT, dan apa pun yang ada pada sekeliling kita adalah milik Allah SWT. Mensyukuri apa yang sudah diberikan dan selalu berserah diri akan menghindarkan kita dari perasaan serakah dan beban pikiran lainnya.

4. Doa dan Dzikir. Sebagai insan beriman, doa dan dzikir menjadi sumber kekuatan bagi kita dalam berusaha. Adanya harapan yang tinggi disandarkan kepada Allah SWT, demikianpun apabila ada kekhawatiran terhadap suatu ancaman, maka sandaran kepada Allah SWT senantiasa melalui doa dan dzikir. Melalui dzikir, perasaan menjadi lebih tenang dan khusyuk, yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan konsentrasi, kemampuan berpikir secara jernih, dan emosi menjadi lebih terkendali. Hentakan kemarahan dan kesedihan, ataupun kegembiraan yang berlebihan senantiasa dapat dikendalikan dengan baik. Sebagaimana dalam surat Ar Ra’d ayat 28 QS 13 : 28. ”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” Ketenangan hati (emosi) ini akan mengarahkan individu pada kekuatan untuk menyelesaikan masalah. Dalam bahasa yang berbeda, Wallace (2007) menyebutkan beberapa cara menghadapi stres, yaitu

1. Cognitive restructuring, yaitu dengan mengubah cara berpikir negative menjadi positif. Hal ini dapat dilakukan melalui pembiasaan dan pelatihan. 

2. Journal writing, yaitu menuangkan apa yang dirasakan dan dipikirkan dalam jurnal atau gambar. Jurnal dapat ditulis secara periodik tiga kali seminggu, dengan durasi waktu 20 menit dalam situasi yang memungkinkan penuangan secara optimal (suasana tenang, tidak diinterupsi kegiatan lain). Setelah menggambar dan menulis jurnal, individu dapat melihat kembali apa yang telah dilakukan dan dapat belajar mengantisipasi dengan strategi yang tepat. Gambar dapat menjadi ekspresi perasaan diri yang tidak mampu diutarakan dalam tulisan, dan setelah menggambar dapat dirasakan kelegaan perasaan. Psikolog juga dapat membantu individu dalam menemukan solusi yang tepat melalui jurnal dan gambar ini. 

3. Time management, yaitu mengatur waktu secara efektif untuk mengurangi stres akibat tekanan waktu. Ada waktu dimana individu melakukan teknik relaksasi dan sharing secara efektif dengan psikolog dalam membentuk kepribadian yang kuat.

4. Relaxation technique, yaitu mengembalikan kondisi tubuh pada homeostatis, yaitu kondisi tenang sebelum ada stressor. Ada beberapa teknik relaksasi, antara lain yaitu yoga, meditasi dan bernapas diphragmatic. Sementara Lamontagne dkk (2007) menyebutkan beberapa model pengelolaan stres dalam setting kelembagaan atau perusahaan, yaitu dilakukan melalui 3 tahapan yaitu:

1. Tahap prevensi proaksi, yang ditujukan kepada sumber stresor yang potensial dan iklim organisasi, melalui penataan kembali jabatan/tugas, pengurangan beban kerja, peningkatan komunikasi, dan keterampilan manajemen konflik.

2. Tahap ameliorasi, yang ditujukan kepada kemampuan individu dalam menghadapi stres melalui cognitive behaviour therapy (CBT), pelatihan koping, dan manajemen kemarahan.

3. Tahap reaksi, yang ditujukan untuk meredakan stres yang sudah ada melalui occupational therapy, medical intervention Model pengelolaan kelembagaan Lamontagne dkk (2007) menuntut peran aktif dari manajemen lembaga terkait dalam melaksanakan tahapan-tahapan tersebut. Berbeda dengan Wallace (2007) yang lebih bersifat individual dan tidak tergantung kepada manajemen lembaga. Namun demikian, kedua model pengelolaan stres ini sebenarnya sejalan dengan 4 strategi mengelola stres dalam Islam. Sebagai contoh adalah berpikir positif, termasuk ke dalam semua strategi dalam Islam. Niat ikhlas, sabar, bersyukur dan berserah diri memiliki unsur berpikir positif ini. Unsur relaksasi muncul dalam proses shalat dan doa. Shalat, doa dan dzikir juga memiliki unsur manajemen waktu, mengingat manusia membutuhkan waktu-waktu khusus dalam proses shalat, doa dan dzikir. Hal ini berarti manusia perlu meluangkan waktu khusus dan tidak melupakan strategi shalat, doa dan dzikir ini. Kajian terhadap beberapa ibadah lain dalam Islam juga memberikan pengaruh positif dalam menyiapkan manusia dalam mengelola stres, misalnya puasa, shadaqah, zakat, dan haji (Yuwono, 2004).

KESIMPULAN

Uraian di atas menunjukkan bahwa Islam sudah menyediakan penawar terhadap munculnya stres melalui berbagai macam bentuk ibadah di dalamnya. Shalat, doa, dan dzikir dan ibadah lainnya adalah sebagian ibadah yang membentuk kesiapan manusia dalam menghadapi stresor. Dengan demikian, apabila umat Islam mampu mengamalkan ibadah-ibadah secara benar maka akan mendapatkan manfaat dalam pengelolaan stres yang dialaminya.

Oleh : Susatyo Yuwono*)
*) Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
--------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA
Athar, S. 1991. Bagaimana Jika Stress Menyerang. Solo: Ramadhani
Athar, S. 2008. Health Concerns For Believers Contemporary Issues.
http://www.teachislam.com/dmdocuments/33/BOOK/Health%20Concern
s%20For%20BELIEVERS%20Contemporary%20Issues.pdf. Accessed
at 29 Juni 2008
Bucker, C. 1991. Abnormal Psychology. Boston : McGraw-Hill
Cardwell, M. 1996. The Complete A-Z Psychology Handbook. London : Hodder
& Stoughton
Hawari, D. 1997. Al Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta :
Dharma Bhakti
Heru, SS. 2006. Life Mapping. Bandung : Progressio
Kaplan, LS. 1996. Helping gifted students with stress management. Accessed at
27 Juni 2008 in http://www.hoagiesgifted.com/eric/e488.html
Lamontagne, AD, Keegel, T, Louie, AM, , Ostry, A, Landsbergis, PA, 2007. A
Systematic Review of the Job-stress, Intervention Evaluation Literature,
1990–2005. International Journal of Occupational Environmental
Health, 2007;13:268–280.
Magill, FN (1996). International encyclopedia of Psychology. V-2. London :
Fitzroy Dearborn Publishers
Santrock, JW. 2000. Psychology. 6 th ed. Boston : McGraw-Hill
Wallace, EV. 2007. Managing Stress : What Consumers Want To Know From
Health Educators. American Journal of Health Studies; 2007; 22, 1;
Academic Research Library , pg. 56
Yuwono, S. 2004. Ibadah Haji sebagai Prediktor Pembeda Intensi Prososial.
Indigeneous. v. 6, no 2, November 2002



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution