Rabu, 31 Oktober 2012

Dua Sisi Timbangan Dunia Dan Akhirat

Merugilah Orang Yang Menjadikan Dunia Sebagai Tujuan

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati dunia dengan firman-Nya:

“… Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” [Qs Al-Mukmin: 39]


Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan kepada manusia akan fitnah (cobaan) berupa harta dan anak-anak dengan firman-Nya:

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” [Qs Al-Anfaal: 28]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang manusia agar tidak selalu memperhatikan apa yang dimiliki orang lain dengan firman-Nya.

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya ….” [Qs Thahaa: 131]

Ayat-ayat al-Qur-an yang mencela dunia sangatlah banyak, bahkan sebagian besar mencakup pencelaan terhadap dunia, memalingkan manusia dari dunia, mengajak mereka menuju kehidupan akhirat. Sangatlah jelas apa yang diungkap dalam al-Qur-an tentang hal ini, maka tidak diperlukan lagi untuk mengungkap dalil dari al-Qur-an yang menjelaskan tentang kesucian akhirat. [1] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan dunia dengan lisannya, dengan sabdanya:

“Aku sama sekali (tidak memiliki keakraban) dengan dunia, perumpamaanku dengan dunia adalah bagaikan seseorang yang ada di dalam perjalanan, dia beristirahat di bawah sebuah pohon rindang, lalu dia pergi dan meninggalkannya.” [2]

Karena banyaknya kesibukan dunia dan pekerjaan di dalam kehidupan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian khusus kepada umatnya untuk mempersiapkan sebuah hari perjalanan dan berbekal diri untuk kehidupan akhirat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang pengembara.” [HR. Al-Bukhari]

Barangsiapa yang melihat manusia berkerumun terhadap dunia dan mereka khusyu’ dalam mengumpulkan hartanya, baik yang halal maupun yang haram, maka ingatlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Jika engkau melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan (harta) duniawi kepada seorang hamba atas kemaksiatan yang ia sukai, maka itu merupakan istidraj (tipuan yang memperdaya).” [3]

Siapa yang dirinya tergantung kepada dunia yang fana dan berjalan dengan terengah-engah di belakang materi dunia, maka semua itu akan memalingkan dirinya dari ketaatan, ibadah, dan dari melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya. Juga dari melaksanakan kewajiban secara sempurna.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Hari Kiamat telah dekat, tidak ada yang bertambah dalam (diri) manusia terhadap dunia kecuali ketamakan, dan mereka tidak bertambah kepada Allah melainkan semakin (bertambah) jauh.” [4]

Sedangkan mengumpulkan kekayaan dunia secara halal dengan menggunakannya di jalan yang halal adalah sebuah ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun jika mendapatkannya dengan cara yang haram atau menggunakannya di jalan yang haram, maka hal itu merupakan sebuah bekal yang menjerumuskan pelakunya ke dalam api Neraka.
Yahya bin Mu’adz berkata,

“Aku sama sekali tidak memerintahkanmu untuk meninggalkan dunia, akan tetapi aku memerintahkanmu untuk meninggalkan dosa-dosa. Meninggalkan dunia hanya merupakan keutamaan, sedangkan meninggalkan dosa adalah suatu kewajiban. Dan menegakkan kewajiban lebih penting bagimu daripada sebuah kebaikan-kebaikan dan keutamaan (yang sifatnya tidak wajib-ed.).”

Dunia itu -wahai saudaraku yang mulia!- adalah materi yang nampak di hadapan manusia, di dalamnya ada sebuah karunia. Yaitu bumi beserta isinya, karena sesungguhnya bumi adalah tempat tinggal bagi manusia, sedangkan apa yang ada padanya berupa pakaian, makanan, minuman beserta kebutuhan biologis. Semuanya hanya merupakan makanan badan orang yang sedang berjalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Manusia tidak akan menetap di dunia kecuali dengan semua ini. Sebagaimana unta yang tidak akan bisa melakukan perjalanan menuju haji kecuali dengan dipenuhi berbagai macam kebutuhannya. Maka siapa yang mengambilnya sebatas yang dianjurkan, berarti dia akan terpuji. Dan siapa yang mengambilnya melebihi batas kebutuhan, maka kejelekan akan menghampirinya, kemudian dia menjadi tercela. Sebenarnya dia dilarang untuk mengambil dunia dengan cara yang jelek, karena hal itu akan mengeluarkannya dari kemanfaatan menuju kemudharatan. Dia akan sibuk dengan dunia yang dapat melupakan kehidupan akhiratnya, sehingga tujuan utama hilang dari dirinya. Dia bagaikan seseorang yang terus saja memberikan makanan kepada untanya, memberinya air, bahkan memakaikan pakaian yang bermacam-macam kepadanya. Akan tetapi, dia melupakan sekawanan lainnya yang telah pergi, akhirnya dia dan untanya berada di daerah menjadi buruan bagi binatang buas.

Manusia sama sekali tidak boleh lalai dalam memenuhi kebutuhannya, karena unta tidak akan sanggup melakukan perjalanan kecuali jika semua kebutuhannya telah terpenuhi. Cara yang tepat adalah dengan sikap pertengahan, yaitu mengambil dunia sesuai dengan kebutuhan dirinya (pertengahan) sebagai bekal dari sebuah perjalanan, walaupun dia menginginkan yang lainnya, karena memberikan kebutuhan diri adalah sikap yang benar dalam mem-berikan haknya. [5] 

‘Aun bin ‘Abdillah berkata,

“Dunia dan akhirat di dalam hati bagaikan dua sisi timbangan. Jika sisi salah satunya lebih berat, maka sisi lainnya akan lebih ringan.” [6]

Siapa saja yang memuji dunia karena kehidupan yang mensejahterakannya, maka sungguh dia akan mencela karena bagiannya yang sedikit. Jika dia (dunia) meninggalkan seseorang, maka itu adalah sebuah kerugian, dan jika dia datang maka itu adalah sebuah kegalauan. [7]
Al-Hasan pernah ditanya,

“Wahai Abu Sa’id, ‘Siapakah manusia yang paling keras teriakannya pada hari Kiamat?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang dikaruniai sebuah nikmat, tetapi dia menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah.” [8]

Tidak diragukan bahwa orang yang menggunakan dunianya untuk ketaatan adalah sebuah kebaikan yang sangat agung, dia bershadaqah dan berinfak dengannya, dia pun ikut serta di dalam menebarkan ilmu dan membangun masjid dengannya. Ini adalah sebuah karunia yang sangat besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya, yaitu bahwasanya Dia mengarahkan harta tersebut untuk menggunakannya pada hal-hal yang bermanfaat baginya di Akhiratnya. Orang yang mencintai harta dengan selalu mengumpulkan emas dan perak dari semenjak lahir sampai mati, sesungguhnya dia berjalan di belakang dirham dan dinar, akan tetapi, apa yang ia capai dan kemana akhir perjalanannya?! Seorang pemuda berjalan untuk sesuatu yang tidak akan ia temukan, sedangkan jiwa hanya satu dan kegalauan menyebar. Seseorang tidak akan hidup dengan umur yang terus memanjang, mata tidak akan terhenti sehingga berakhir sebuah kehidupan.

Dunia terkadang datang dan pergi, dari kecukupan kepada kekurangan, dari senang kepada tidak senang (sempit), dia tidak akan terus-menerus dan tidak tetap dalam satu keadaan… . Inilah ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada makhluk-Nya, sebenarnya manusia berlari di belakang fatamorgana, bertahun-tahun dan berhari-hari… lalu dia akan mati. Ia hanyalah bangkai yang berubah, padanya ada anjing-anjing yang selalu menginginkannya. Jika engkau menjauhinya, maka engkau menyerahkan kepada penghuninya, dan jika engkau mengambilnya, maka anjing-anjingnya akan memusuhimu. [9]
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Zuhud di dunia adalah ketenteraman hati dan badan.” [10]

Al-Hasan rahimahullah berkata,

“Aku mendapati suatu kaum (para Sahabat Nabi,-ed.)yang tidak pernah berbahagia dengan sesuatu pun dari dunia yang mereka dapatkan dan tidak pernah menyesal dengan sesuatu pun dari dunia yang hilang darinya.” [11]

Semua ini terangkum dalam perkataan Imam Ahmad, beliau berkata,

“Zuhud di dunia adalah dengan tidak memiliki angan-angan yang panjang.”

Seorang mukmin tidak layak untuk menjadikan dunia sebagai tanah air, tempat tinggal, dan merasa tenteram di dalamnya. Bahkan seharusnya dia merasakan seakan-akan dia berada dalam suatu perjalanan. [12] Inilah pemahaman yang benar dan ilmu yang bermanfaat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Yahya bin Mu’adz, beliau berkata,

“Bagaimana aku tidak mencintai dunia, makananku ada di dalamnya, dengannya aku menjalani kehidupan dan melaksanakan ketaatan, yang pada akhirnya aku mendapatkan Surga.” [13]

Sangat pantas jika kita merasa iri kepada mereka, tidak kepada orang-orang yang memiliki rumah-rumah atau istana-istana yang megah, sedangkan mereka lalai dalam beribadah dan menyia-nyiakan ketaatan. Jika zaman tidak memberikan pakaian kesehatan kepadamu dan tidak memberikan makanan yang manis dan tawar Maka janganlah engkau iri terhadap orang-orang yang kaya, karena apa-apa yang ada pada mereka akan dirampas sesuai dengan apa yang diberikan oleh masa kepada mereka. [14]
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘amhu berkata,

“Sesungguhnya dunia itu adalah Surga bagi orang kafir dan penjara bagi orang yang beriman. Dan sesungguhnya perumpamaan seorang mukmin ketika dirinya keluar dari dunia adalah bagaikan seorang yang sebelumnya berada di dalam penjara, lalu dia dikeluarkan darinya. Sehingga dia berjalan di atas bumi dengan mencari keluasan.” [15]

Wahai manusia! Panah kematian tepat mengenai kalian, maka perhatikan dengan jeli. Dan jerat angan-angan ada di hadapan kalian, maka berhati-hatilah. Bahaya fitnah dunia telah mengelilingi kalian dari berbagai arah, maka jagalah diri kalian. Dan janganlah kalian tertipu dengan indahnya keadaan kalian sekarang ini, karena semuanya akan hilang, akan pergi, akan menyusut, dan akan hancur. [16] Hari-hari berlalu kepada kita semua dengan berurutan, kita hanyalah digiring kepada ajal, sedangkan mata melihatnya. Masa muda yang telah berlalu tidak akan pernah kembali, dan uban yang telah keruh tidak akan pernah hilang. [17] Maka barangsiapa yang merenungi akibat dari kehidupan dunia, niscaya dia akan berhati-hati mengarunginya. Dan siapa saja yang meyakini panjangnya perjalanan (akhirat), maka dia akan mempersiapkan bekal untuk perjalanan tersebut. [18] Kita telah melakukan kelalaian di dunia ini, sedangkan dosa datang silih berganti. [Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Al-Ihyaa’ dengan ringkasan (III/ 216).
[2]. HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.
[3]. HR. Ahmad, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.
[4]. HR. Al-Hakim dari Ibnu Mas’ud dan hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani.
[5]. Mukhtashar Minhaajil Qaashidiin, hal. 211.
[6]. Tazkiyatun Nufuus, hal. 129.
[7]. Bustaanul ‘Aarifiin, hal. 17.
[8]. Al-Hasan al-Bashri, hal. 47.
[9]. Syadzaraatudz Dzahab (XX/10).
[10]. Taariikh ‘Umar, hal. 26.
[11]. Az-Zuhd, hal. 230, karya Imam Ahmad.
[12]. Jaami’ul ‘Uluum, hal. 3780.
[13]. Tazkiyatun Nufuus, hal. 128.
[14]. Az-Zuhd, hal. 116, karya al-Baihaqi.
[15]. Syarhush Shuduur, hal. 13.
[16]. Al-‘Aaqibah, hal. 69.
[17]. Syadzaraatudz Dzahab (VI/231).
[18]. Shaidul Khaathir, hal. 25.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution