Jumat, 12 Oktober 2012

Bertawaduklah

Tawaduk Kepada Manusia

Suatu hari, Imam Musa bin Ja’far as lewat di hadapan seorang laki-laki berkulit hitam yang buruk rupa. Imam as pun turun dari kudanya, duduk bersamanya, dan terlibat percakapan yang panjang dengannya. Ketika hendak pamit, Imam as bertanya kepada laki-laki tersebut, “Apakah Engkau mempunyai keperluan yang dapat kami bantu?”


Sebagian yang hadir ketika itu merasa heran dan berkata, “Wahai putra Rasulullah, mengapa Anda merendah sedemikian rupa dari kedudukanmu, kemuliaanmu, dan ilmumu?”

Imam Musa as menjawab, “Mengapa tidak? Sesungguhnya dia adalah salah seorang dari hamba Allah, saudara dalam Kitab Allah, dan tetangga di negeri Allah. Sungguh telah mempersatukan kita dengannya sebaik-baiknya bapak, yaitu Adam, dan seutama-utamanya agama, yaitu Islam.”

Diriwayatkan bahwa Imam ar-Ridha as mengadakan jamuan makan di Khurasan. Beliau pun mengumpulkan para budaknya bersama para tamu yang lain, baik yang berkulit hitam maupun yang bukan. Salah seorang tamu yang berasal dari kalangan kaya berkata, “Aku menjadi tebusanmu, mohonlah kiranya tuan menyingkirkan mereka (para budak).”

Imam ar-Ridha berkata kepada orang tersebut, “Apa-apaan ini! Sesungguhnya Tuhan kita satu, ibu kita satu, bapak kita satu.”

Mungkin orang bertanya: Apa itu tawaduk? Kepada siapa kita harus tawaduk?
Tawaduk adalah merendah, lawan dari sombong dan takabbur. Tawaduk adalah ketundukan yang bersumber rasa memiliki kekuatan, kemuliaan, penghormatan pada orang lain, dan bukannya ketundukan yang bersumber dari rasa memiliki kekurangan, kelemahan, kehinaan, dan keperluan kepada orang lain. Manakala seorang manusia merasa bahwa dirinya adalah hamba Allah yang mulia, dan ketawadukan yang ditunjukkan kepada saudara-saudaranya yang mukmin adalah ketawadukan kepada Allah SWT, maka dia akan merasa memiliki kemuliaan dan keluhuran, bukan kehinaan dan kelemahan.

Sebagian orang mengira bahwa tawaduk berarti merendahkan diri bukan pada tempatnya. Sikap ini jelas salah. Sebagian orang lagi bersikap sombong dan takabbur manakala orang lain merendah di hadapannya. Mereka berusaha membenamkan lebih dalam perasaan lemah pada orang lain. Mereka merasa mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari orang lain, dan oleh karena itu mereka tidak layak menerima ketawadukan dari orang lain. Sikap ini pun jelas salah.

Mengenai pertanyaan kepada siapa kita harus bersikap tawaduk, maka pertama-tama kita wajib bertawaduk kepada Allah SWT. Karena, Dia adalah Zat yang Maha Tinggi dan Maha Perkasa. Dia adalah Zat yang telah menciptakan kita dari ketiadaan. Kita adalah hamba-Nya yang hina di hadapan-Nya. Setelah itu kita harus bersikap tawaduk kepada nilai-nilai Ilahi, dan baru kemudian kepada manusia.

Muncul pertanyaan, Apakah semua manusia layak kita tawaduki?
Jelas tidak! Manusia yang layak kita tawaduki adalah saudara-saudara kita yang mukmin dan juga manusia yang baik-baik, apapun agama mereka, bahasa mereka, suku bangsa mereka, strata sosial mereka, dan ras mereka. Adapun orang-orang yang lalim, borjuis, sombong, munafik, mereka itu tidak layak kita tawaduki. Bahkan Islam mengajarkan kepada kita bahwa bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah ibadah.

Tawaduk (rendah hati) termasuk pilar penting dalam pergaulan dengan manusia. Dengan tawaduk, seseorang dapat masuk ke dalam hati manusia dan memperoleh kecintaan mereka.

Bersikap tawaduk kepada manusia mencakup banyak hal diantaranya: Anda menjadikan diri Anda sepadan (tidak lebih tinggi) dengan mereka. Manusia akan tertarik dan suka kepada orang yang merendah di hadapannya, dan sebaliknya akan lari dan menjauh dari orang yang bersikap sombong di hadapannya. Termasuk tawaduk adalah Anda sama-sama melakukan ap ayang mereka lakukan, tidak mengistimewakan diri Anda di tengah-tengah teman Anda, dan memberikan kepada manusia apa yang Anda suka jika Anda diberi.

Rasululllah Saw meskipun seorang Nabi yang agung ditengah-tengah kaumnya, tidak ubahnya seperti salah satu dari mereka. Rasulullah Saw menambatkan sendiri untanya, menyapu rumahnya, memerah susu dombanya, menjahit sendalnya, menjemur pakaiannya, makan bersama pembantunya, menggantikan pembantunya menggiling gandum jika si pembantu capek, membeli sendiri keperluannya ke pasar, dan sebagainya.

Rasulullah selalu mengulurkan tangan mengajak bersalaman kepada setiap orang, baik orang kaya maupun miskin, anak-anak maupun orang dewasa, orang yang berkulit hitam maupun berkulit putih. Beliau selalu mendahului dalam mengucapkan salam. Jika beliau diundang walaupun oleh orang yang asing, beliau pasti memenuhi undangan tersebut. Tidak pernah beliau menghina makanan yang dihidangkan di dalam undangan, walaupun hanya sepotong roti atau segelas air.

Imam Ali as sebagai pemimpin yang memimpin lima puluh propinsi, dengan segala kebesaran dan kemuliaannya, masih suka berjalan di gang-gang sempit, membantu orang-orang yang butuh, dan mengenakan pakaian sederhana. Beliau memanggul sendiri barang-barang keperluannya. Ketika orang-orang datang kepadanya menawarkan bantuan, “Wahai Amirul Mukminin, biar kami yang membawanya, ” beliau menolaknya seraya berkata, “Penanggung jawab keluarga lebih berkewajiban membawanya.”

Supaya Anda bisa meletakkan satu dasar penting bagi pergaulan dengan sesama manusia, dan supaya Anda dapat merebut hati mereka, dicintai dan dihormati oleh mereka, maka Anda harus memperhatikan pesan yang sangat berharga ini: BERTAWADUKLAH!

Dari buku “Bagaimana Menyukseskan Pergaulan Anda”, karya Khalil Al-Musawi, Penerbit Lentera.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution