Tawaduk Kepada Manusia
Suatu hari, Imam Musa bin Ja’far as lewat
di hadapan seorang laki-laki berkulit hitam yang buruk rupa. Imam as
pun turun dari kudanya, duduk bersamanya, dan terlibat percakapan yang
panjang dengannya. Ketika hendak pamit, Imam as bertanya kepada
laki-laki tersebut, “Apakah Engkau mempunyai keperluan yang dapat kami
bantu?”
Sebagian yang hadir ketika itu merasa
heran dan berkata, “Wahai putra Rasulullah, mengapa Anda merendah
sedemikian rupa dari kedudukanmu, kemuliaanmu, dan ilmumu?”
Imam Musa as menjawab, “Mengapa tidak?
Sesungguhnya dia adalah salah seorang dari hamba Allah, saudara dalam
Kitab Allah, dan tetangga di negeri Allah. Sungguh telah mempersatukan
kita dengannya sebaik-baiknya bapak, yaitu Adam, dan seutama-utamanya
agama, yaitu Islam.”
Diriwayatkan bahwa Imam ar-Ridha as
mengadakan jamuan makan di Khurasan. Beliau pun mengumpulkan para
budaknya bersama para tamu yang lain, baik yang berkulit hitam maupun
yang bukan. Salah seorang tamu yang berasal dari kalangan kaya berkata,
“Aku menjadi tebusanmu, mohonlah kiranya tuan menyingkirkan mereka (para
budak).”
Imam ar-Ridha berkata kepada orang tersebut, “Apa-apaan ini! Sesungguhnya Tuhan kita satu, ibu kita satu, bapak kita satu.”
Mungkin orang bertanya: Apa itu tawaduk? Kepada siapa kita harus tawaduk?
Tawaduk adalah merendah, lawan dari
sombong dan takabbur. Tawaduk adalah ketundukan yang bersumber rasa
memiliki kekuatan, kemuliaan, penghormatan pada orang lain, dan bukannya
ketundukan yang bersumber dari rasa memiliki kekurangan, kelemahan,
kehinaan, dan keperluan kepada orang lain. Manakala seorang manusia
merasa bahwa dirinya adalah hamba Allah yang mulia, dan ketawadukan yang
ditunjukkan kepada saudara-saudaranya yang mukmin adalah ketawadukan
kepada Allah SWT, maka dia akan merasa memiliki kemuliaan dan keluhuran,
bukan kehinaan dan kelemahan.
Sebagian orang mengira bahwa tawaduk
berarti merendahkan diri bukan pada tempatnya. Sikap ini jelas salah.
Sebagian orang lagi bersikap sombong dan takabbur manakala orang lain
merendah di hadapannya. Mereka berusaha membenamkan lebih dalam perasaan
lemah pada orang lain. Mereka merasa mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi dari orang lain, dan oleh karena itu mereka tidak layak menerima
ketawadukan dari orang lain. Sikap ini pun jelas salah.
Mengenai pertanyaan kepada siapa kita
harus bersikap tawaduk, maka pertama-tama kita wajib bertawaduk kepada
Allah SWT. Karena, Dia adalah Zat yang Maha Tinggi dan Maha Perkasa. Dia
adalah Zat yang telah menciptakan kita dari ketiadaan. Kita adalah
hamba-Nya yang hina di hadapan-Nya. Setelah itu kita harus bersikap
tawaduk kepada nilai-nilai Ilahi, dan baru kemudian kepada manusia.
Muncul pertanyaan, Apakah semua manusia layak kita tawaduki?
Jelas tidak! Manusia yang layak kita
tawaduki adalah saudara-saudara kita yang mukmin dan juga manusia yang
baik-baik, apapun agama mereka, bahasa mereka, suku bangsa mereka,
strata sosial mereka, dan ras mereka. Adapun orang-orang yang lalim,
borjuis, sombong, munafik, mereka itu tidak layak kita tawaduki. Bahkan
Islam mengajarkan kepada kita bahwa bersikap sombong kepada orang yang
sombong adalah ibadah.
Tawaduk (rendah hati) termasuk pilar
penting dalam pergaulan dengan manusia. Dengan tawaduk, seseorang dapat
masuk ke dalam hati manusia dan memperoleh kecintaan mereka.
Bersikap tawaduk kepada manusia mencakup
banyak hal diantaranya: Anda menjadikan diri Anda sepadan (tidak lebih
tinggi) dengan mereka. Manusia akan tertarik dan suka kepada orang yang
merendah di hadapannya, dan sebaliknya akan lari dan menjauh dari orang
yang bersikap sombong di hadapannya. Termasuk tawaduk adalah Anda
sama-sama melakukan ap ayang mereka lakukan, tidak mengistimewakan diri
Anda di tengah-tengah teman Anda, dan memberikan kepada manusia apa yang
Anda suka jika Anda diberi.
Rasululllah Saw meskipun seorang Nabi
yang agung ditengah-tengah kaumnya, tidak ubahnya seperti salah satu
dari mereka. Rasulullah Saw menambatkan sendiri untanya, menyapu
rumahnya, memerah susu dombanya, menjahit sendalnya, menjemur
pakaiannya, makan bersama pembantunya, menggantikan pembantunya
menggiling gandum jika si pembantu capek, membeli sendiri keperluannya
ke pasar, dan sebagainya.
Rasulullah selalu mengulurkan tangan
mengajak bersalaman kepada setiap orang, baik orang kaya maupun miskin,
anak-anak maupun orang dewasa, orang yang berkulit hitam maupun berkulit
putih. Beliau selalu mendahului dalam mengucapkan salam. Jika beliau
diundang walaupun oleh orang yang asing, beliau pasti memenuhi undangan
tersebut. Tidak pernah beliau menghina makanan yang dihidangkan di dalam
undangan, walaupun hanya sepotong roti atau segelas air.
Imam Ali as sebagai pemimpin yang
memimpin lima puluh propinsi, dengan segala kebesaran dan kemuliaannya,
masih suka berjalan di gang-gang sempit, membantu orang-orang yang
butuh, dan mengenakan pakaian sederhana. Beliau memanggul sendiri
barang-barang keperluannya. Ketika orang-orang datang kepadanya
menawarkan bantuan, “Wahai Amirul Mukminin, biar kami yang membawanya, ”
beliau menolaknya seraya berkata, “Penanggung jawab keluarga lebih
berkewajiban membawanya.”
Supaya Anda bisa meletakkan satu dasar
penting bagi pergaulan dengan sesama manusia, dan supaya Anda dapat
merebut hati mereka, dicintai dan dihormati oleh mereka, maka Anda harus
memperhatikan pesan yang sangat berharga ini: BERTAWADUKLAH!
Dari buku “Bagaimana Menyukseskan Pergaulan Anda”, karya Khalil Al-Musawi, Penerbit Lentera.
0 komentar:
Posting Komentar