Istri Menjengkelkan, Tidak Boleh Langsung Diceraikan
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu
'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Sandungan dalam kehidupan rumah tangga pastilah ada. Satu, dua, tiga kali atau lebih, kehidupan suami istri terjadi slek.
Sehingga istri di mata suami sangat-sangat menjengkelkan. Lalu suami,
karena keputusan cerai ada di tangannya, semena-mena menceraikan
istrinya tersebut.
Terlebih saat perjalanan rumah tangga
sudah berjalan beberapa tahun dan beberapa anak sudah lahir darinya.
Saat itu tubuh dan penampilan istri (ibu dari anak-anak itu) sudah tidak
seindah dahulu. Dalam kondisi demikian, terkadang seorang suami (ayah
adari anak-anak tadi) berkurang perasaan cinta dan sayang kepada
istrinya. Saat terjadi slek, lalu ia menjelek-jelekkan istrinya
dan membencinya. Bahkan lebih parah, dia ingin menceraikannya dan
mencari wanita yang lebih menarik secara fisik di matanya.
Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu-
berkata kepada seorang laki-laki yang ingin menceraikan istrinya:
“Kenapa kamu mau menceraikannya ?”
Dia menjawab: “Saya tidak mencintainya”.
Beliau berkata: “Apakah setiap rumah
tangga itu dibangun oleh rasa cinta?, lalu mana sisi penjagaan dan rasa
tanggung jawab untuk menjaga kehormatan ?!! (‘Uyuun Akhyar: 3/18).
Maksudnya adalah: Bersabarlah atas
masalah yang disebabkan oleh teman dan keluarga anda; karena kondisi
semua orang dengan keluarga dan teman-temannya seperti kondisi anda
juga, dan bisa jadi suatu kaum bisa berkumpul satu sama lain namun tidak
saling menyetujui satu sama lain, tidak saling mencintai, akan tetapi
karena kebutuhan masing-masing dari mereka lah yang menjadikan mereka
bertemu !
Maka dengan semangat saling menjaga maka
semua anggota keluarga saling menyayangi di antara mereka, dan
masing-masing juga akan mengetahui kewajibannya kepada yang lain.
Dan dengan adanya rasa tanggung jawab
untuk menjaga kehormatan maka akan terhindar dari kesulitan karena
setiap anggota keluarga saling memperingatkan agar tidak sampai terpecah
belah dan bersengketa.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini hendaknya bisa menjadi pertimbangan bagi suami mukmin.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kalian tidak menyukai
mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), berkata:
“Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”),
dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan
karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan)
(bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut.
Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih
yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para
istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka,
akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan
rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada
kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/173)
Syeikh As Sa’di –rahimahullah- berkata
tentang ayat di atas, “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Yaitu; sebaiknya bagi kalian para suami
untuk mempertahankan para istri anda meskipun anda tidak menyukainya,
karena yang demikian itu terdapat kebaikan yang banyak, di antaranya
sebagai bentuk pengamalan dari perintah Allah, menerima wasiat-Nya yang
mengandung kebahagiaan dunia akherat.
Memaksakan diri untuk mempertahankannya
–meskipun ia tidak mencintainya- termasuk mujahadatus nafs (berjihad
dengan dirinya sendiri) dan akhlak yang baik. Bisa jadi nantinya
kebencian akan berubah sebagai rasa cinta seperti realita yang terjadi.
Dan bisa jadi keduanya dikaruniai anak yang sholeh yang akan memberikan
manfaat kepada kedua orang tuanya di dunia dan akhirat. Semua itu bisa
terjadi kalau dia mempertahankannya tapi jika tidak ada sesuatu yang
membahayakan.
Namun jika ternyata harus berpisah dan
tidak mungkin dipertahankan lagi, maka mempertahankannya tidak lah
menjadi suatu kewajiban. (Tafsir as Sa’di: 172).
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci
seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa
jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya
seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada
istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa
dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya
tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas
cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan
halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj: 10/58)
Karenanya, berpikirlah panjang jika
ingin ambil keputusan perceraian. Penilain cantik secara fisik bukanlah
satu-satunya alasan untuk mempertahankan rumah tangga. Tapi menjaga
kehormatan istri, pertimbangan anak, melaksanakan perintah Allah dan
melaksanakan wasiatnya, dan mencari keridhaan Allah lebih layak untuk
lebih diperhatikan.
Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar