Tingkatan ujian Seorang Mukmin
Dalam kehidupan, misalnya ketika bersekolah, semakin tinggi jenjang
pendidikan maka semakin tinggi tingkat ujian, artinya semakin tinggi
tingkat kesulitan untuk bisa lulus melewati ujian tersebut. Dan
kelulusan tersebut merupakan tanda bahwa pelajaran yang dipelajari
benar-benar difahami dan diterapkan.
Ujian tersebut juga akan dialami oleh seseorang yang bergelar mukmin,
yakni manusia yang mengaku bertaqwa kepada Allah swt. Karena ujian
tersebutlah yang menjadi pertanda bahwa manusia tersebut benar-benar
beriman dan bertaqwa ataukah tidak.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja
mengatakan : ‘ Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi (2)
Dan sesunggunya KAMI telah menguji orang2 yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya ALLAH mengetahui orang2 yang benar dan sesungguhnya DIA
mengetahui orang2 yang dusta (3).” (Al-Qur’an, surat Al – Ankabuut (29), ayat 2-3).
Namun tentunya, ujian setiap manusia itu berbeda, tergantung kadar keimanan dan ketaqwaannya.
Dari Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya. Ayahnya berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW,” Manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Rasulullah SAW menjawab,” Para Nabi, kemudian disusul yang derajatnya seperti mereka, lalu yang di bawahnya lagi. Seseorang diuji sesuai keadaan agamanya. Jika agamanya itu kokoh maka diperberatlah ujiannya. Jika agamanya itu lemah maka ujiannya pun disesuaikan dengan agamanya. Senantiasa ujian menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi tanpa dosa sedikit pun.” (HR. al-Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn Majah,berkata al-Tirmidzi: hadits hasan shahih)
Dihadist lain Rasulullah saw bersabda :
“Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang shalih, kemudian disusul oleh orang-orang yang mulia, lalu oleh orang-orang yang mulia berikutnya. Seseorang diuji sesuai dengan kadar pengamalan agamanya. Bila dalam mengamalkan agamanya ia begitu kuat, maka semakin kuat pula cobaannya.” (HR.Imam At-Tirmidzi No.3298 – HR. Imam Ahmad I/172).
Kalau kita ibaratkan dengan dunia pendidikan, seseorang yang duduk di
bangku SD maka ujiannya pun setingkat dengan pendidikan di SD, dan
tidak mungkin seseorang diberi soal ujian perguruan tinggi padahal ia
baru duduk di sekolah menengah atas.
Tinggal kembali ke manusia nya lagi, apakah lulus atau tidak dengan
ujian tersebut, jika misalnya belum lulus berarti ia harus semakin
mempertebal kadar keimanan dan ketaqwaannya.
Ia harus semakin mencoba untuk lebih banyak bersabar dan bersyukur atas segala yang Allah swt berikan.
Ibarat ketika hendak berdo’a meminta sesuatu, sebelum menengadahkan wajah ke atas, sebaiknya ia melihat ke bawah dulu dan bersyukur atas apa yang telah diberi oleh Allah swt. Mensyukuri segala nikmat yang telah Allah swt berikan.
Kemudian bersabar atas segala ujian yang Allah swt berikan.
“Tak seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semisal tusukan
duri atau yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah
menghapuskan perbuatan buruknya serta menggugurkan dosa-dosanya
sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ujian Allah Bisa Berupa Nikmat
Dari Abu Hurairah bahwa ia mendengar Nabi bersabda, “Sesungguhnya
ada tiga orang dari kaum Bani Israil, yang berpenyakit sopak (belang
kulitnya), botak, dan buta. Kemudian Allah hendak menguji mereka, maka
Allah mengutus seorang malaikat kepada mereka. Maka malaikat itu
mendatangi orang sopak lalu bertanya,’Apakah yang kamu inginkan?’ Orang
sopak berkata, ‘Saya menginginkan warna yang indah dan kulit yang bagus,
serta hilang penyakit yang kuderita yang menyebabkan orang-orang
mengolok-olokku.’ Malaikat itu lalu mengusapnya dan lenyaplah penyakit
itu dari tubuhnya dan ia juga diberi warna yang indah. Malaikat itu
bertanya pula, ‘Harta apakah yang kamu senangi?’ Orang itu menjawab,
‘Unta.’ –Atau ia berkata, ‘sapi’ –perawi hadist ini ragu-. Ia lalu
dikaruniai unta yang tengah hamil sepuluh bulan. Kemudian malaikat
berkata, ‘Semoga Allah memberi keberkahan untukmu dalam unta ini.’
Kemudian malaikat itu mendatangi orang botak dan bertanya, ‘Apakah
yang paling kamu inginkan?’ orang botak menjawab, ‘Rambut yang rapi dan
hilangnya penyakit yang kuderita yang menyebabkan orang-orang
mengolok-olokku.’ Malaikat itu lalu mengusapnya dan hilanglah
penyakitnya. Dan tumbuhlah rambut yang indah. Malaikat itu bertanya
lagi, ‘harta apakah yang kamu senangi? Ia berkata, ‘sapi’, ia pun diberi
sapi yang tengah hamil, malaikat itu lalu berkata, ‘Semoga Alloh
memberi keberkahan untukmu pada sapi ini’.
Selanjutnya malaikat itupun mendatangi orang buta lalu bertanya,
‘Apakah yang paling kamu inginkan ?’ orang buta menjawab, ‘Alloh
mengembalikan penglhatanku sehingga aku dapat melihat semua orang.’ Lalu
malaikat mengusapnya dan Alloh mengembalikan penglihatannya. Malaikat
bertanya juga padanya, ‘Harta apakah yang paling kamu senangi?’ Ia
menjawab, ‘kambing’. kemudian ia diberi kambing yang tengah mengandung.
Selang beberapa waktu. Unta, sapi dan kambing itupun melahirkan anaknya dan berkembang biak yang akhirnya memenuhi suatu lembah.
Kemudian malaikat mendatangi si sopak dengan rupanya di saat
mendatanginya pertama kali. Ia berkata, ‘Saya adalah orang miskin yang
kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini, tidak ada yang
memberi pertolongan kepada saya kecuali dengan pertolngan Alloh kemudian
dengan pertolonganmu. Saya minta kepadamu dengan atas nama Alloh yang
telah memberikan warna yang indah, kulit yang halus dan harta yang
banyak. Saya minta seekor unta untuk bekal melanjutkan perjalanan saya’.
Orang sopak itu menjawab, ‘keperluan-keperluanku masih banyaksekali’.
Malaikat itu berkata lagi, ‘kalau tidak salah, saya mengenalmu. Bukan
kah engkau dahulu seorang yang berpenyakit sopak sehingga orang-orang
jijik kepadamu? Engkau dulu dalam keadaaan fakir, kemudian Allah
memberikan harta padamu.’ Orang sopak pun menjawab dengan angkuhnya,
‘Semua harta kekayaanku ini adalah warisan nenek moyangku.’ Kemudian
malaikat berkata, ‘Jika engkau berdusta, semoga Allah menjadikan engkau
kembali seperti keadaanmu semula.’
Selanjutnya malaikat itu mendatangi orang botak dengan rupanya di saat mendatanginya pertama kali juga. Kemudian ia berkata kepadanya sebagaimana yang dikatakan kepada orang sopak tersebut. Orang botak itu lalu menjawab permintaan malaikat seperti jawaban orang sopak. Maka malaikat itu pun berkata. ‘jika engkau berdusta, semoga Allah menjadikan engkau kembali seperti keadaanmu semula.’
Seterusnya malaikat itu mendatangi orang buta dengan rupanya di saat
mendatanginya pertama kali. Kemudian ia berkata, ‘Saya adalah orang
miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak
ada yang memberi pertolongan kepada saya kecuali dengan pertolongan
Alloh kemudian dengan pertolonganmu. Saya minta kepadamu dengan atas
nama Alloh yang mengembalikan penglihatan untukmu, seekor kambing untuk
bekal melanjutkan perjalanan. Orang itu berkata, ‘Saya dahulu pernah
menjadi orang buta, kemudian Alloh mengembalikan penglihatanku. Oleh
sebab itu, ambil mana saja yang engkau inginkan dan tinggalkanlah apa
yang tidak kamu senangi. Demi Alloh, sekarang saya tidak akan
memberatkan sesuatu kepadamu yang kamu ambil karena Alloh ’. Malaikat
itu lalu berkata, ‘Peliharalah harta kekayaanmu, karena sesungguhnya
kalian tengah diuji. Alloh telah meridhoi dirimu dan memurkai dua orang
sahabat mu. (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Jadi ujian itu tidak hanya berupa kesengsaraan, ujian juga bisa
berupa kenikmatan hidup, menguji manusia apakah ia kufur nikmat atau
seseorang bersyukur ketika mendapat nikmat dan bersabar ketika mendapat
kesulitan hidup.
Disebutkan dalam hadits riwayat Abu Jahya (Shuhaib) bin Sinan Arrumy radhiyallaahu ‘anhu berkata : “Bersabda
Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ’Sangat mengagumkan keadaan
seorang mukmin, karena segala keadaan untuknya selalu sangat baik dan
hal ini tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Jika
mendapat nikmat ia bersyukur, maka syukur itu lebih baik baginya, dan
bila menderita kesusahan ia sabar, maka sabar itu lebih baik baginya.‘” (HR. Imam Muslim, Riadus Shalihin I – Bab. Sabar No. 3, hal.52).
Bersedih Bila Tak Mendapat Ujian
Memang, sebagaimana dijelaskan di atas, ujian itu bukan hanya berupa
kesulitan hidup, namun juga kenikmatan hidup yang Allah swt berikan.
Dua-dua nya adalah ujian. Ketika manusia ditimpa kesulitan hidup maka
Allah swt ingin melihat sejauh mana manusia tersebut bersabar, dan
ketika manusia diberikan nikmat kehidupan maka Allah swt ingin melihat
sejauh mana manusia tersebut bersyukur.
Allah lah yang berkuasa untuk memberikan ujian berupa kesulitan
ataupun kenikmatan. Dia maha mengetahui kadar keimanan dan ketaqwaan
masing-masing hambaNya. Oleh karenanya kita tidak boleh merasa sombong
ketika merasa diri telah mampu bersabar atau bersyukur.
Diceritakan, pernah Imam Al Ghazali rahimahullah merasa telah sabar
dan mampu menghadapi ujian, lalu beliau meminta diuji oleh Allah. Lalu
dia mendapat ujian dengan tidak mampu buang air kecil. Dengan ujian itu,
beliau menyerah dan merasa sangat hina (di hadapan Allah Ta’ala).
Konon, begitu besarnya rasa penyesalan beliau sehingga meminta anak-anak
kecil untuk memukuli wajahnya.
Namun saya melihat, apa yang dilakukan oleh Imam al Ghazali tersebut
bukanlah karena beliau merasa sombong, namun karena beliau faham dan
sadar bahwa ketika hidup terasa nyaman tanpa ada ujian, maka itu
pertanda jauhnya rahmat dan kasih sayang Allah swt terhadap hambanya,
jadi menurut saya pribadi, “tantangan” Imam al Ghazali tersebut adalah
dalam rangka ingin mendapatkan rahmat dan kasih sayang dari Allah swt.
Suatu hari, Rasulullah shalallahu wa sallam diundang ke rumah salah
seorang muslim. Sewaktu beliau tiba di rumahnya, beliau melihat seekor
ayam sedang bertelur di sebuah sarang di samping rumah. Beliau melihat
telor ayam tersebut tidak jatuh, dan kalaupun jatuh ternyata tidak
pecah. Betapa takjubnya Rasulullah saw melihat kejadian tersebut. Karena
itu, pemilik rumah tersebut bertanya kepada beliau, “Engkau heran
melihatnya, ya Rasullah? Demi Allah yang telah memilih Anda sebagai
Nabi, sesungguhnya saya selama ini tidak pernah sakit” Rasulullah segera meninggalkan rumah tersebut, seraya berkata, “Barangsiapa yang tidak pernah mengalami ujian , maka ia jauh dari kasih sayang Allah.” (Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar 15 : 1 : 53)
Atau dalam hadits lainnya, Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, ”Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba niscaya Dia tenggelamkan hamba tersebut ke dalam cobaan.” (Bihar al-Anwar 15 : 55)
Semoga kita termasuk hamba-hamba yang selalu bersabar akan setiap
ujian, baik ujian kesulitan hidup dan ujian nikmat nikmat di kehidupan
dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang Allah swt berikan, serta
selalu sedih saat merasa hidup berjalan tanpa ujian yang berat.
Wallahu
A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar