Memaknai Hidup Melalui Kematian
Kelahiran manusia didunia semata hanyalah untuk mempersiapkan kematian.
Meski ditakuti, kematian memiliki hikmah yang apabila dipahami akan
mendatangkan ketakwaan dan ketenangan dalam menghadapinya.
Ketika berbicara kematian, terdapat dua obyek yang terkena dampaknya.
Pertama orang yang meninggal dunia
Kedua Keluarga atau orang-orang terdekat yang ditinggalkannya.
Bagi orang yang mengerti hikmah kematian, maka ia akan memandang hidup
sebagai ujian sekaligus ladang untuk menyuburkan amal ibadah yang
ditanamkan sepanjang hidup, hingga kelak memetik hasilnya ketika hayat
sudah lepas dari badan.
Hikmah secara bahasa diartikan sebagai pelajaran, yakni kebijaksanaan yang didapat melalui belajar (masmu) atau melalui ilmu yang didapat dengan mengikuti atau mengamalkannya (mathbu). Sedangkan kematian didalam Al-Quran disebut sebagai proses menuju kesempurnaan.
Di dalam Surat Az-Zumar ayat 42 dikatakan kematian disebut dengan “wafat” yang berarti sempurna, dan “imsak” yang berarti menahan. Ketika meninggal dunia, dikatakan bahwa Allah telah menyempurnakan jiwa manusia, yakni ketika manusia telah menyelesaikan tugasnya sebagai Khalifah yang mengemban amanah sebagai wakil Allah dimuka bumi dan tengah bersiap mempertanggungjawabkan amanahnya dihadapan sang Khalik.
Dari sini maka dapat diartikan bahwa hikmah kematian adalah memahami hakikat kematian serta mengikuti sifat-sifat yang dibawanya sebagai pelajaran hidup didunia agar selamat sampai diakhirat. Mempelajari hikmah kematian bukan hanya untuk mempersiapkan kematian saja, tetapi juga mempersiapkan diri apabila harus dipisahkan dari keluarga atau orang-orang tercinta akibat kematian.
Orang-orang Sufi menyikapi kematian sebagai pelajaran yang menghentikan mereka dari buaian nafsu dunia. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa sebaik-baik warisan adalah ilmu, dan sebaik-baik pelajaran adalah maut. Ummat yang mengingat kematian baik dimasa senggang atau masa sempitnya dikatakan oleh Rasulullah sebagai Ummat yang cerdas, sebagaimana sabda Rasulullah ketika seorang Anshor bertanya padanya:
“Mukmin manakah yang paling cerdas?”. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah ).
Pada hadis yang lain Rasulullah menyebutkan kematian sebagai pemutus nikmat, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah: “Perbanyaklah ingat kepada penghancur kenikmatan yaitu kematian, karena tidaklah suatu hari datang atas kuburan melainkan kuburan itu berbicara” (HR Ahmad)
Disebut sebagai pemutus nikmat karena ketika maut datang menjemput, tak seorang pun dapat mencegahnya, disitulah seluruh amal ibadah kita terputus kecuali tiga perkara, yakni ilmu yang bermanfaat, doa anak soleh dan amal jariyah.
Hikmah secara bahasa diartikan sebagai pelajaran, yakni kebijaksanaan yang didapat melalui belajar (masmu) atau melalui ilmu yang didapat dengan mengikuti atau mengamalkannya (mathbu). Sedangkan kematian didalam Al-Quran disebut sebagai proses menuju kesempurnaan.
Di dalam Surat Az-Zumar ayat 42 dikatakan kematian disebut dengan “wafat” yang berarti sempurna, dan “imsak” yang berarti menahan. Ketika meninggal dunia, dikatakan bahwa Allah telah menyempurnakan jiwa manusia, yakni ketika manusia telah menyelesaikan tugasnya sebagai Khalifah yang mengemban amanah sebagai wakil Allah dimuka bumi dan tengah bersiap mempertanggungjawabkan amanahnya dihadapan sang Khalik.
Dari sini maka dapat diartikan bahwa hikmah kematian adalah memahami hakikat kematian serta mengikuti sifat-sifat yang dibawanya sebagai pelajaran hidup didunia agar selamat sampai diakhirat. Mempelajari hikmah kematian bukan hanya untuk mempersiapkan kematian saja, tetapi juga mempersiapkan diri apabila harus dipisahkan dari keluarga atau orang-orang tercinta akibat kematian.
Orang-orang Sufi menyikapi kematian sebagai pelajaran yang menghentikan mereka dari buaian nafsu dunia. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa sebaik-baik warisan adalah ilmu, dan sebaik-baik pelajaran adalah maut. Ummat yang mengingat kematian baik dimasa senggang atau masa sempitnya dikatakan oleh Rasulullah sebagai Ummat yang cerdas, sebagaimana sabda Rasulullah ketika seorang Anshor bertanya padanya:
“Mukmin manakah yang paling cerdas?”. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah ).
Pada hadis yang lain Rasulullah menyebutkan kematian sebagai pemutus nikmat, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah: “Perbanyaklah ingat kepada penghancur kenikmatan yaitu kematian, karena tidaklah suatu hari datang atas kuburan melainkan kuburan itu berbicara” (HR Ahmad)
Disebut sebagai pemutus nikmat karena ketika maut datang menjemput, tak seorang pun dapat mencegahnya, disitulah seluruh amal ibadah kita terputus kecuali tiga perkara, yakni ilmu yang bermanfaat, doa anak soleh dan amal jariyah.
http://www.republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar