Penjelasan Firman Allah Surat al-fath (48) Ayat 13
Surat al-Fath berarti surat kemenangan. Surat ini, menurut para ahli tafsir, termasuk surat Madaniyyah, artinya surat yang diturunkan setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Jumlah ayatnya ada 29 ayat.
Ibnu
Katsir dalam tafsirnya mengatakan, bahwa surat ini turun ketika
Rasulullah SAW kembali dari Hudaibiyyah yaitu salah satu kampung kurang
lebih 25 KM dari Mekkah menuju Madinah, tepat pada bulan Dzulqa’dah
tahun 6 H. Rasulullah saw saat itu bersama kurang lebih 1400 sahabat
bermaksud melakukan Umrah di Masjidil Haram, namun dihalau oleh
orang-orang Musyrik, sehingga tidak jadi melakukannya. Beliau hanya
sampai di kampung Hudaibiyyah, kemudian pulang lagi menuju Madinah,
setelah sebelumnya mengadakan perjanjian dengan orang-orang Musyrikin
Mekkah, yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyyah.
Sebelum
menjelaskan lebih jauh seputar maksud ayat-ayat di atas, ada baiknya
penulis menyampaikan satu hal pentng. Hal penting dimaksud adalah, jika
kita perhatikan surat-surat dalam al-Qur’an, terdapat beberapa surat
atau ayat-ayat yang turun setelah terjadinya peperangan atau perjanjian
damai. Misalnya, setelah terjadinya perang Badar, Allah menurunkan surat
al-Anfal, yang oleh Ibnu Abbas disebut surat Badar.
Setelah
perang Uhud, Allah juga menurunkan puluhan ayat dari surat Ali Imran.
Setelah perang Bani Nadhir, Allah juga menurunkan beberapa ayat dari
surat al-Hasyr. Setelah perang Ahzab, Allah juga menurunkan beberapa
ayat dari surat al-Ahzab. Demikian juga, setelah Perjanjian Hudaibiyyah,
Allah menurunkan surat al-Fath ini, yang isinya banyak menceritakan
kejadian pada perjanjian dimaksud.
Menurut
para ahli tafsir, di antara hikmah semua hal di atas, agar kita semua
mengambil pelajaran dari ayat-ayat dan surat-surat dimaksud untuk
kebaikan dan kemaslahatan ummat Islam pada umumnya.
Kini,
mari kita kembali kepada surat dan ayat yang ditanyakan. Sebagaimana
disampaikan Ibnu Katsir, juga jumhur mufassirin lainnya, bahwa surat ini
diturunkan berkaitan dengan Perjanjian Hudaibiyyah. Meskipun, ada
sebagian pendapat ulama yang mengatakan bahwa surat ini turun berkaitan
dengan Fathu Mekkah (Pembebasan Kota Mekah).
Lalu apa yang dimaksud dengan Perjanjian Hudaibiyyah? Mari kita sama-sama lihat buku-buku sîrah. Ibnu Hisyam dalam Sîrahnya,
misalnya, mengatakan bahwa Rasulullah saw bersama kurang lebih 1400
para sahabat berangkat dari Madinah menuju Mekkah bermaksud menunaikan
ibadah umrah di Masjidil Haram. Keinginan ini muncul setelah sebelumnya
Rasulullah saw bermimpi bahwasannya beliau dapat masuk ke dalam Masjidil
Haram dengan penuh keamanan dan dapat menggunting rambut (tahallul).
Mimpi beliau ini sebagaimana disampaikan oleh Allah dalam surat al-Fath ayat 28: “Sesungguhnya
Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya
dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki
Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut
kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah
mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu
kemenangan yang dekat”.
Imam
Qatadah, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya,
mengatakan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan Perjanjian
Hudaibiyyah. Dan sebagaimana disampaikan para ulama, bahwa mimpi para
nabi dan rasul adalah di antara bentuk juga bagian dari wahyu.
Setelah
mimpi tersebut, Rasulullah saw dengan para sahabat berangkat menuju
Mekkah, untuk umrah, bukan untuk berperang. Karena untuk tujuan umrah,
beliau dan para sahabat juga membawa hewan ternak (hadyu) untuk disembelih sebagai bagian dari rangkaian ibadah kepada Allah swt.
Namun,
orang-orang musyrikin Mekkah menafsirkan lain. Mereka berkesimpulan
bahwa kedatangan Rasulullah saw dan para sahabatnya dimaksud untuk
memerangi mereka. Akhirnya mereka mengumpulkan seluruh kekuatan dan
pasukan untuk menghalau Rasulullah dan para sahabatnya memasuki kota
Mekkah.
Singkat
cerita, sampailah Rasulullah saw di salah satu kota bernama
Hudaibiyyah, kurang lebih 20-25 KM dari kota Mekkah. Setelah terjadi
saling mengirim utusan untuk damai, akhirnya musyrikin Mekkah mengutus
salah seorang anggotanya bernama Suhail bin ‘Amer, untuk mengadakan
perjanjian dengan Rasulullah saw. Terjadilah perjanjian damai antara
Rasulullah saw dengan musyrikin Mekkah. Karena perjanjian tersebut
terjadinya di kota Hudaibiyyah, maka para sejarawan muslim menyebutnya
dengan nama Perjanjian Hudaibiyyah (Shulh al-Hudaibiyyah).
Di antara isi perjanjian dimaksud, sebagaimana disampaikan para sejarawan muslim seperti Ibnu Hisyam, adalah:
- Ummat
Islam akan kembali ke Madinah pada tahun tersebut, dan tidak jadi
melakukan Umrah di Mekkah. Namun pada tahun berikutnya, Rasulullah saw
dan para sahabat diizinkan melakukan umrah selama tiga hari.
- Tidak terjadi peperangan (gencatan senjata) untuk waktu 10 tahun.
Ketika
Rasulullah saw dan para sahabat sedang diperjalanan pulang menuju
Madinah, turunlah surat al-Fath ini. Dan jumhur mufassirin mengatakan,
bahwa yang dimaksud dengan al-Fath tersebut adalah Perjanjian
Hudaibiyyah.
Di
awal ayat, Allah menegaskan kepada Rasulullah saw bahwa dengan
Perjanjian Hudaibiyyah tersebut, Allah telah memberikan kemenangan yang
nyata untuk Rasulullah saw.
Imam
az-Zuhri sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hisyam mengatakan, Perjanjian
Hudaibiyyah adalah kemenangan yang sangat besar. Karena dengan
perjanjian tersebut orang-orang musyrik dapat hidup bercampur dengan
kaum muslim, mereka mendengarkan penjelasan ummat Islam, sehingga
karenanya banyak di antara mereka yang masuk Islam.
Ibnu
Hisyam kemudian memperkuat penjelasan Imam az-Zuhri dimaksud.
Menurutnya, bukti kongkrit dari apa yang disampaikan Imam az-Zuhri
tersebut adalah, bahwa ketika Perjanjian Hudaibiyyah Rasulullah saw
keluar bersama 1400 sahabat menuju Mekkah. Sementara pada Penaklukan
Kota Mekkah, tepatnya dua tahun setelah Perjanjian Hudaibiyyah,
Rasulullah saw keluar dengan jumlah sangat signifikan, sepuluh ribu
sahabat. Ini artinya, dalam waktu kurang dari dua tahun sejak Perjanjian
Hudaibiyyah, hampir sembilan ribu orang memeluk agama Islam. Semua itu
di antara hasil positif dari Perjanjian Hudaibiyyah, yang ketika
pernjian tersebut dibuat banyak para sahabat yang kurang setuju, karena
dipandang merugikan ummat Islam.
Kini
mari kita lihat kepada ayat 13 dari surat al-Fath tersebut sebagaimana
yang ibu pertanyakan. Sebagaimana saya singgung sebelumnya, bahwa dalam
menafsirkan ayat al-Qur’an, kita juga di antaranya, perlu melihat
ayat-ayat sebelumnya (as-sibâq). Ayat 13 ini alur ceritanya masih berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, khususnya ayat ke 11.
Imam ar-Râzî dalam tafsirnya, at-Tafsîr al-Kabîr atau sering disebut juga dengan Mafâtîhul Ghaib,
mengatakan, bahwa setelah Allah menjelaskan keadaan orang-orang
munafik, Allah kemudian dalam ayat ke 11 menjelaskan keadaan sebagian
orang-orang Arab yang tidak ikut keluar bersama Rasulullah saw menuju
Mekkah untuk Umrah yang kemudian berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyyah.
Sebagian
orang-orang Arab tersebut tidak ikut keluar bersama Rasulullah saw,
karena menurut keyakinan mereka, ummat Islam akan kalah. Jika penduduk
Mekkah dapat memerangi ummat Islam sampai di pintu Madinah, lalu
bagaimana seandainya ummat Islam memasuki kota mereka langsung? Tentu
mereka akan lebih dapat mengepung dan mengalahkan ummat Islam. Demikian
perkataan dan keyakinan mereka saat itu, sehingga mereka tidak turut
keluar bersama Rasulullah saw.
Syaikh Thantawi dalam tafsirnya, at-Tafsîr al-Wasîth,
mengatakan, bahwa di antara kabilah Arab badui yang tidak mau ikut
keluar bersama Rasulullah saw dimaksud adalah dari Kabilah Ghifar,
Muzainah, Juhainah, Asyja’, Aslam dan Kabilah al-Dîl.
Dalam
ayat 11 ini, Allah mewahyukan kepada Rasulullah saw, bahwa mereka akan
beralasan kepada Rasulullah saw, ketidak ikut sertaan mereka itu bukan
keinginan mereka sendiri, akan tetapi karena tuntutan dan keterpaksaan.
Keterpaksaan dimaksud karena mereka sibuk menjaga keluarga, harta,
anak-anak, juga kaum wanita.
Karena
itu, mereka juga akan memohon kepada Rasulullah saw untuk memohonkan
ampun kepada Allah ketidak ikutan mereka itu. Allah berfirman: “Orang-orang
Badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan:
"Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan
untuk kami" (QS. Al-Fath [48]: 11).
Lalu
apa firman Allah berikutnya tentang mereka? Allah langsung menjawabnya
bahwa perkataan mereka itu tidak benar. Apa yang diucapkan mereka, bukan
seperti apa yang ada dalam hati mereka. Penyebab sebenarnya mereka
tidak ikut tersebut, bukan seperti yang mereka katakan, akan tetapi
sebab utamanya adalah karena lemahnya keimanan mereka, sakitnya hati
mereka, dan keragu-raguan yang selalu menyelimuti diri mereka. Allah
melanjutkan firmanNya: “Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya” (QS. Al-Fath [48]: 11).
Masih
dalam lanjutan ayat di atas, Allah juga menegaskan kepada Nabi Muhammad
saw, agar beliau menyampaikan kepada orang-orang Arab badui yang tidak
ikut tersebut bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menahan ketentuan
Allah apapun yang akan menimpa mereka. Jika Allah berkehendak
kemadaratan, berupa kematian atau kekalahan, ataupun berkehendak
manfaat, berupa kemenangan dan harta rampasan, semua itu tidak akan ada
yang dapat menghalangiNya.
Jika
Allah berkehendak mematikan mereka sekalipun berada di rumah dan di
kampung mereka, tidak ikut pergi bersama Rasulullah saw, bagi Allah
sangat mudah. Dan tidak akan ada seorang pun yang dapat menolak juga
menahannya. Dalam ayat lain Allah berfirman: “Apa saja yang Allah
anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang
dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak
seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Fathir [35]: 2).
Di
akhir ayat 11 Allah kembali menegaskan, bahwa alasan utama mereka tidak
ikut keluar bukan karena apa yang mereka sampaikan, akan tetapi
lagi-lagi karena lemahnya keimanan mereka. Allah Maha Mengetahui keadaan
hati mereka sebenarnya, dan Allah akan membalas ketidak ikut sertaan
mereka itu kelak. Perhatikan firman Allah dimaksud: “Katakanlah :
"Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah
jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki
manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Fath [48]: 11). Pertanyaan seperti ini, menurut para ahli tafsir dikenal dengan nama istfham inkari, pertanyaan sebagai wujud pengingkaran terhadap mereka, dan tidak memerlukan jawaban.
Ayat
ke-12, Allah semakin memperkuat kebohongan orang-orang Arab Badui
tersebut. Allah menegaskan, sebagaimana disampaikan Syaikh Thantawi,
bahwa ”Kalian wahai orang-orang Arab Badui, yang membuat kalian tidak
mau keluar bersama Rasulullah saw itu bukanlah karena kalian sibuk
menjaga harta, keluarga, anak-anak dan kaum wanita, namun sebenarnya
karena kalian yakin bahwa musuh dapat mengalahkan orang-orang mukmin.
Musuh dapat membunuh dan menghancurkan Rasulullah saw dan orang-orang
beriman, sehingga mereka tidak dapat kembali hidup bersama keluarga
mereka di Madinah.
‘Setan
juga telah menggoda kalian untuk memandang benar prasangka jelek kalian
itu, juga karena kalian selalu buruk sangka dalam segala hal yang
menyangkut Rasulullah saw juga para sahabatnya. Karena itu, kalian di
mata Allah, benar-benar kaum yang binasa, kaum yang rusak, dan kalian
tidak berhak mendapatkan sedikitpun kebaikan. Kalian hanya berhak
mendapatkan kehinaan dan siksaan”.
Demikian penjelasan dari ayat ke 12 dari firman Allah di bawah ini: “Tetapi
kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali
akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan telah
menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu
telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang
binasa” (QS. Al-Fath [48]: 12)
Dengan
demikian, Allah telah mencela dan menjanjjikan balasan yang keji untuk
orang-orang Badui yang tidak ikut bersama Rasulullah saw untuk melakukan
Umrah pada peristiwa Hudaibiyyah tersebut, karena empat sebab. Pertama, karena mereka selalu berburuk sangka kepada Allah juga kepada Rasulullah saw (QS. Al-Fath ayat 6). Kedua,
karena mereka mengira bahwa Rasulullah saw dan para sahabat akan mati
terbunuh oleh orang-orang musyrikin Mekkah sehingga tidak dapat kembali
ke kampung halaman, Madinah.
Ketiga, alasan mereka ketidakikutan tersebut karena sibuk menjaga harta dan keluarga, dan keempat, karena kebohongan mereka yang mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati mereka.
Pada
ayat ke-13 Allah kemudian mengakhiri celaan dan ancaman bagi
orang-orang Arab Badui yang tidak ikut keluar bersama Rasulullah saw
tersebut dengan firmanNya: “Dan barangsiapa yang tidak beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya Kami menyediakan untuk
orang-orang yang kafir neraka yang bernyala-nyala” (QS. Al-Fath [48]: 13).
Maksudnya,
siapa yang tidak beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya, juga
tidak beriman kepada Rasulullah saw dengan jalan membenarkan juga
mengikuti setiap perintah atau larangannya, maka Allah akan
menghukuminya sebagai orang kafir. Di mana balasan bagi orang kafir
adalah api neraka yang sangat panas, menyala-nyala, yang akan membakar
seluruh tubuh dan menghancurkan seluruh badan.
Demikian
Ibu, maksud dari ayat ke 13 surat al-Fath tersebut. Konteksnya memang
untuk orang-orang Arab Badui yang tidak ikut keluar bersama Rasulullah
saw dan para sahabat untuk melakukan umrah pada peristiwa Hudaibiyyah
itu. Namun secara umum, makna dan maksudnya juga untuk kita semua selaku
ummat beliau.
Di antara pelajaran sangat penting untuk kita dari ayat 13 dimaksud adalah:
1.
Wajibnya kita seluruh manusia untuk mengimani atau meyakini Nabi
Muhammad saw sebagai rasul dan nabi Allah yang terakhir. Karena siapa
yang tidak beriman kepada Rasulullah saw, mereka dipandang sebagai
manusia yang kafir sebagaimana firman Allah di atas. Dalam ayat lain, Allah juga berfirman: “Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya
dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang
Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (QS. An-Nisa [4]: 136).
Dalam
hadits Shahih riwayat Imam Muslim juga, Rasulullah saw menegaskan
pentingnya mengimani beliau, baik orang Yahudi, Nashrani atau lainnya.
Siapa yang meninggal tidak mengimani Rasulullah saw, maka sungguh orang
yang celaka. Rasul bersabda: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw
bersabda: “Demi diri Muhammad yang berada dalam kekuasaanNya, tidak ada
seorang pun dari ummat ini, baik orang Yahudi juga Nashrani, yang tidak
mendengarkan risalah yang aku bawa, kemudian ia mati, dan tidak beriman
kepada risalah yang aku bawa, melainkan ia akan menjadi penghuni neraka” (HR. Muslim).
2.
Wajibnya kita mentaati segala petunjuk dan aturan Rasulullah saw.
Karena, di antara bukti kita beriman kepada Rasulullah saw adalah dengan
mengikuti segala titah dan ajarannya, sebagaimanaa firman Allah berikut
ini: “Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman." (QS. Al-Anfal [8]: 1).
Di samping itu, karena siapa yang taat kepada Rasulullah saw, hakikatnya adalah taat kepada Allah, sebagaimana firmanNya: “Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS. An-Nisa [4]: 80).
3.
Besarnya siksaan dan hukuman bagi yang tidak beriman kepada Allah juga
kepada rasul-rasulNya, wabil khusus kepada Rasulullah saw. Dalam ayat
tersebut Allah menjanjikan kepada orang tersebut neraka yang apinya
sangat panas dan menyala-nyala. Semoga kita semua termasuk orang yang
betul-betul mengimani Rasulullah saw dan mencintainya, dengan jalan
melaksanakan segala sunnahnya, juga mencontoh segala gerak gerik, tutur
kata dan tindaknya dalam seluruh hidup dan kehidupan kita semua, amiin.
Demikian
Ibu Masykur, semoga jelas adanya. Yang benar datang dari Allah dan
RasulNya, sedangkan yang salah dan keliru datang dari setan juga
kebodohan saya sendiri, sementara Allah dan RasulNya, terbebas dari
semua itu.
Wallâhu a’lam bis shawâb.
Wallâhu a’lam bis shawâb.
Hatur nuhun
Email: aepmesir@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar