ZUHUD Menjadikan Dunia Sebagai Sarana Meraih Kebahagiaan Akhirat
Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan
Ketika
kita mendengar kata zuhud, mungkin yang terlintas dalam pikiran kita
adalah kehidupan yang jauh dari gemerlapan dunia. Atau kehidupan yang
menyepi dari keramaian dan hiruk pikuk kesibukan dunia, kehidupan yang
sederhana. Padahal sebenarnya belum tentu kehidupan yang demikian
dinamakan zuhud. Dan belum tentu juga kehidupan yang akrab dengan
kemewahan dan gemerlapan dunia bisa dikatan tidak zuhud.
Secara
etimologis, zuhud berarti raghaba an syaiin wa tarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya,
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Orang-orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhhad atau zahidun.
Zahidah jamaknya zuhdan, artinya kecil atau sedikit.
Sedangkan
arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa dilepaskan dari dua
hal. Pertama, zuhud sebagai suatu yang tidak terpisahkan dari tasawwuf.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak Islam dan gerakan protes. Apabila
tasawwuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara
manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan
suatu stasiun (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat
kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti
menghindar dari kehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi atau ma
siwa Allah. Dalam kaitan ini ‘Abd Al-hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud
adalah:
“Berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk
beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan
semedi( khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak
dzikir.”
Hakikat Zuhud
Zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes, yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah danuntuk meraih keridhaan Allah swt. Bukan tujuan hidup. Dan disadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat-sifat madzmumah (tercela). Keadaan seperti telah dicontohkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya.
Al-junaid
berkata: “zuhud ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan
ambisi menguasai .” Ali bin Abi Thalib ketika ditanya tentang zuhud
menjawab:” zuhud berarti tdak perduli, siapa yang memanfaatkan
benda-benda duniawi ini, baik seorang yang beriman atau tidak.”
Sedangkan al-syibli ketika ditanya tentang zuhud, berkata:” Dalam
kenyataannya zuhud itu tidak ada. Jika seseorang bersikap zuhud pada
sesuatu yang tidak menjadi miliknya maka itu bukan zuhud, dan jika
seseorang bersikap zuhud pada sesuatu yang menjadi miliknya, bagaimana
bisa dikatakan itu zuhud, sedang sesuatu itu masih ada padanya dan dia
msih memilikinya? Zuhud berarti menahan nafsu, bermurah hati dan berbuat
kebaikan.” Hal ini seakan-akan mengisyaratkan bahwa beliau mengartikan
zuhud sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi miliknya.
Dan jika sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang, maka tidak dapat
dikatakan bahwa orang itu meninggalkannya, sebab sesatu itu memang
tertinggal; sedangkan jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka
tidak mungkin orang itu meninggalkannya. Namun, betapa pun bervariasinya
pengertian yang diberikan, tekanan utama pada zuhud adalah mengurangi
keinginan terhadap kehidupan duniawi.
Al-Ghazali berpendapat bahwa “zuhud adalah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh dari padanya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan”. tentunya hal ini disertai niat dan penuh kesadaran akan kefanaan kehidupan dunia dan kekekalan kehidupan akhirat. Karena tidak jarang orang menjauhkan dari kehidupan dunia hanya karena bosan, stress atau merasa tersiksa dan tidak diniati untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Yang
jelas zuhud merupakan salah satu sikap untuk menjaga jarak dari dunia,
artinya kita menjadikan dunia sebagai sarana untuk beribadah, menggapai
kebahagiaan di akhirat, dan bukan menjadikannya sebagai tujuan hidup.
Karena kehidupan dunia hanyalah sementara, sesuai dengan firman Allah
SWT ” Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan teraniaya
sedikitpun.(QS. 4:77).
Dari
keterangan ayat di atas dapat kita pahami bahwa menjadikan dunia
sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah demi kebahagiaan di akhirat
tidak akan menimbulkan kesengsaraan, atau diri kita teraniaya. Akan
tetapi malah sebaliknya, jika kita menjadikan dunia sebagai tujuan hidup
atau target akhir, maka hal ini sama saja kita mengabdikan diri kepada
dunia yang akan berakibat penyiksaan terhadap diri sendiri. Karena
kebahagiaan dunia laksana fatamorgana, senmakin ia kita kejar maka
semakin menjauhlah ia dan selalu lepas dari gapaiaan. Artinya ketika
kita mendapatkan sesuatu pasti akan timbul target baru yang ingin kita
raih.
Oleh
karena itu janganlah kita terlalu senang dengan apa yang kita dapatkan
dan juga tidak terlalu bersedih atas apa yang terlepas dari diri kita.
Allah SWT berfirman. “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya akmu
jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan
Allah tidakk menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(QS. 57:23).
Mejaga
jarak dengan dunia dengan zuhud juga akan menimbulkan rasa mencintai
terhadap sesama, karena tidak akan menimbulkan rasa iri dan dengki di
dalam diri kita atau merasa tertekan akibat kesuksesan yang diraih oleh
orang lain. Dalam sebuah hadits disebutkan “Zuhudlah kamu kepada dunia,
niscaya Allah mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yangada di tangan
manusia, niscaya orang mencintaimu.”
Menurut
pandangan orang-orang sufi, dunia dansegala kemewahan serta kelezatan
adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan
dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih
dahulu menjadi zahid. Sikap zuhud ini erat sekali hubungannya dengan
taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya
masih terikat kepada kesenangan duniawi.
Ada
yang berpandangan bahwa meninggalkan harta kekayaan dan pakaian mewah,
adalah zuhud. Tetapi sebaliknya, mungkin motivasi untuk meninggalkan
harta dan pakaian mewah tersebut agar dipuji orang dan dikatakan sebagai
seorang zahid atau sufi. Oleh karena itu, Ibnu Mubarak berkata:”
Seutama-utama zuhud adalah menyembunyikan kehidupan zuhudnya itu”.
Karena, orang yang zuhud sebenarnya hanya dikenal dari sifat yang ada
pada dirinya. Diantara ciri-cirinya adalah: Pertama,tidak merasa bangga
terhadap sesuatu yang ada padanya dan tidak pula tidak merasa sedih di
kala kehilangan nikmat itu dari tangannya. Keuda, tidak merasa bangga
dan gembira mendengar pujian orangdan tidak pula merasa sedih atau marah
jika mendengar ceaan orang lain. Ketiga, selalu mengutamakan cintanya
kepada Allah dan mengurangi cintanya kepada dunia
Salah
satu imam madzhab, Ahmad bin Hanbal, membagi zuhud menjadi tiga macam.
Pertama meninggalkan yangharam, inilah zuhud orang awam. Keduas
meninggalkan segala yang berlebih-lebihan dari yang halal, inilah zuhud
orang khawas. Ketiga meninggalkan segala yang menyibukkan dirinya
sehingga karena kesibukan itu, ia lupa kepada Allah, inilah zuhud orang
arif.
Dengan
demikian, secara umum, dapat dikatakan bahwa tekanan utama dalam zuhud
adalah mengurangi keinginan terhadap kehidupan duniawi, karena kehidupan
ini, di sini bersifat sementara dan apabila manusia teroda olehnya, ia
akan jauh dari Tuhannya. Dunia inipenuh dengan permainan dan senda gurau
yang dapat menyilaukan pandangan.
Oleh karena itu jangan rela
diperbudak olehnya dan mari kita utamakan cinta kepada Allah . Karena
cinta kepada Allah dan cinta kepada dunia tidak dapat disatukan, laksana
udara dan air dalam tempayan, kala air bertambah maka udara akan
berkurang dan sebaliknya.
Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar