Ketika Telah Tiba Saat Menikah
MENIKAH adalah keputusan yang besar dalam hidup kita. Ini adalah
pilihan yang tidak main-main. Memilih seorang pasangan yang dengannya
kita akan membangun sebuah keluarga, menurunkan keturunan dan hidup
bersama dalam segenap suasana bukanlah persoalan yang hanya untuk satu
dua tahun saja, melainkan untuk sepanjang tahun. Untuk jangka waktu yang
selama-lamanya. Bahkan bukan hanya di dunia, tapi juga untuk hidup di
akhirat. Demikianlah, kita perlu mempertimbangkan dengan seksama dan
matang perihal ini.
Sejatinya, keputusan apapun dalam hidup kita merupakan peristiwa
besar. Dari keputusan itu, kelak rangkaian peristiwa akan terus
bergulir. Ada peribahasa lawas, langkah keseribu dimulai dengan langkah
pertama. Kita perlu hati-hati dan cermat ketika memutuskan, apapun.
Orang Cina kuno punya pepatah, rusak seinci rugi seribu batu. Maka,
pengambilan keputusan merupakan pertemuan dengan sebuah revolusi.
Ketika kita benar-benar telah memilih pasangan, maka saat itu juga
kita telah memutuskan untuk hidup bersama dengan seorang yang asing,
meninggalkan orang tua dan keluarga kita yang selama ini telah
membersamai dengan segenap kehangatannya. Pilihan untuk hidup bersama
pasangan ini sungguh-sungguh mustahil kecuali jika kita benar-benar
merasa yakin bahwa kebahagiaan bersama ibu bapak dapat juga kita raih
dengan hidup bersama pasangan. Pilihan untuk hidup bersama ini
sungguh-sungguh mustahil kecuali jika kita yakin bahwa pasangan akan
menjadi pembela dan pelindung sebagaimana saudara laki-laki dan saudara
perempuan melindungi kita. Semua ini butuh keyakinan kuat dari hati.
Karenanya, saya bisa memahami kenapa perjanjian pernikahan disebut
oleh Al-Quran sebagai mitsaqan ghalizha, perjanjian yang amat kuat. Ini
adalah perjanjian yang sakral. Sebuah perjanjian agung antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan dengan saksi Allah Tuhan seru sekalian
alam.
Semoga Allah tabaraka wa ta’ala senantiasa meluruskan dan menetapkan
niat kita bahwa menikah merupakan bagian perjuangan untuk meniti jalan
sunnah Nabi-Nya dan ibadah kepada-Nya. Tentu saja, kita ingin mengawali
perjuangan ini dengan segenggam keyakinan bahwa pilihan kita untuk
menikah dengan pasangan merupakan pilihan yang diridhai Allah dan
Rasul-Nya.
Ketika seorang lelaki hendak memilih pasangannya, ada empat perkara
yang dapat ia jumpai pada seorang perempuan: kecantikan, keturunan,
kekayaan, dan agama. Agama ini datang untuk mengajarkan bahwa kemuliaan
tertinggi adalah pada agama.
Ada sebuah kabar, kebanyakan lelaki lebih suka pada perempuan dengan
paras yang begitu ayu. Itu sah-sah saja. Tetapi kita mesti sadar bahwa
keayuan paras saja bukanlah sebab yang kelak akan mendatangkan barakah
dalam pernikahan. Demikian halnya dengan keturunan dan kekayaan. Ada
yang lebih sempurna dari itu semua, yakni akhlak mulia dalam diri
perempuan. Ada agama dalam hidupnya.
Dalam banyak riwayat, Nabi senantiasa meminta para sahabat untuk
melihat dulu Muslimah yang hendak dipinangnya. Tujuannya, agar para
sahabat itu menemukan “sesuatu” yang membuatnya tertarik dan bisa
melanggengkan pernikahannya. Dalam pemahaman inilah kita perlu
meletakkan keayuan paras, keturunan dan kekayaan. Sungguh, Nabi kita
yang agung telah berwasiat bahwa fitnah terbesar bagi lelaki adalah kaum
wanita. Semoga kita tidak jatuh pada perempuan macam begitu.
Maka, paras ayu, keningratan, dan anak orang kaya bukan menjadi sebab
utama. Seandainya kita tidak menemukan akhlak mulia dalam dirinya,
sebaiknya pilihan tidak dijatuhkan.
Ada kiasan menarik dari Al-Quran tentang pasangan Suami-Istri.
Masing-masing merupakan pakaian bagi yang lain. Sebagaimana layaknya
pakaian, ada banyak macam pakaian yang sudah genap syarat-syaratnya buat
menutup aurat sesuai tuntunan agama, tetapi untuk menjatuhkan pilihan
pada sebuah pakaian, kita perlu menimbang dengan rasa dan hati kita.
Sebaliknya, ada banyak juga pakaian yang menarik hati, tapi kalau
dengan memakainya aurat menjadi tak tertutupi, apalah guna punya pakaian
yang menarik hati.
Demikian pulalah memilih pasangan. Kalau hanya menimbang wajah yang
ayu, pernikahan hanya akan menerbitkan kehinaan. Sebagaimana kecantikan
yang akan cepat sirna, pernikahan yang demikian akan cepat layu. Tapi,
kalau hanya memilih yang baik beragama saja, takut juga bila mata dan
hati menjadi kurang terjaga. Demikianlah saya memahami anjuran Nabi
untuk melihat dulu muslimah yang hendak dipinang. Bukankah sudah
termaktub dalam Kitab suci, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum
[30] : 21)
Kalau saya tak salah ingat, Bunda Khadijah ra juga merupakan
perempuan suci yang menawan yang banyak dilirik para pembesar Quraisy.
Bunda Aisyah ra merupakan gadis muda yang jelita. Bunda Zainab binti
Jahsy ra juga memiliki wajah yang rupawan. Demikian juga Bunda Maria al
Qibthiyah ra yang berkulit putih bersih yang kecantikannya sempat
membuat Aisyah ra cemburu. Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui
hikmah dibalik paras wajah para Ummul Mukminin kita.
Maka, tentu saja, pakaian yang baik adalah yang memenuhi aturan agama
dan sesuai dengan selera hati. Sesuai anjuran Nabi, memiliki agama yang
bagus dan ada “sesuatu” yang insya Allah akan melanggengkan pernikahan.
Saya rasa, pasangan yang demikian sudah cukup sempurna bagi kita.
Semoga “sesuatu” itu membawa keberkahan yang berujung sampainya istri
shalihah kepada kita. Kata Nabi, inilah sebaik-baik perhiasan dunia dan
harta yang paling berharga.
Tatkala kita sudah yakin, semoga keyakinan yang kita genggam seturut
dengan jalan Nabi dan mendapat taburan ridha Allah Yang Mahasuci.
Maka, tak ada lagi yang menghalangi kita untuk bersegera meminangnya dengan segenap puja-puji bagi Allah Yang Mahatinggi.
Pada saat kita menimbang untuk memilihnya, kita sadar ini bukanlah
untuk hidup diri kita semata, melainkan juga untuk kedua ibu bapak,
keluarga dan anak-anak kita kelak.
Kata Nabi, Istri shalihah adalah perhiasan paling indah. Saban hari,
Istri shalihah akan menjadi puisi yang senantiasa menghiasi. Puisi itu
tak terumuskan oleh bahasa dan tak terucapkan oleh kata apa saja. Yang
jelas, puisi itu begitu indah. Serasa dibuai diayun-ayun. Dan bagi
anak-anak kelak, Istri yang demikian akan menjadi madrasah utama bagi
mereka. Kelembutannya akan menjernihkan hati anak-anak. Dan bukankah
jika segumpal darah (hati) itu baik maka baiklah seluruh dirinya?
Saya sepenuhnya sadar bahwa mencari Istri yang shalihah itu seperti
berburu mutiara di dasar laut. Nun di sana, di dalam cangkang itu istri
shalihah senang berada dan menjaga diri. Dan untuk menemukannya, kita
harus menyelam di kedalaman, tapi kita akan tahu seberharga apa dia
ketika kita sudah mendapatkannya.
***
Sebuah pernikahan didahului oleh pilihan bebas yang penuh kesadaran
dan tanggung jawab. Masa awal-awal pernikahan merupakan masa dimulainya
perjuangan untuk memupuk rasa simpati dan menyuburkannya menjadi cinta.
Al-Quran menyebut cinta antara Suami-Istri dengan kata afdha.
Maknanya, seperti keterbukaan angkasa raya. Dalam cinta yang demikian,
tak ada lagi sikap yang penuh pura-pura. Suatu kali, mungkin kita akan
mendatangi istri dengan setumpuk masalah dan kita tak sedikitpun ragu
untuk mengeluhkan beban dan bahkan mungkin menangis di pangkuannya.
Meski, ketika kita di luar rumah, kita tetap tegar dengan air muka yang
selalu ceria. Suatu ketika, Nabi agung Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallam mendatangi Bunda Khadijah radhiallahu ‘anha dalam keadaan gelisah
dan ragu seusai mendapat wahyu pertama. Dengan kelembutannya, Bunda
Khadijah ra menenangkan dan menguatkan hati Nabi.
Saya tercengang dengan kalimat Umar ibn Khattab ra. Katanya, seorang
laki-laki akan menjadi anak-anak ketika ia hanya berdua bersama
Istrinya.
Sebaliknya, Nabi juga memiliki sikap yang sangat hangat kepada setiap
Istrinya. Saat itu Nabi bersama beberapa sahabat. Seorang utusan datang
membawa nampan makanan. Ketika mengetahui nampan itu berasal dari Ummu
Salamah ra, Aisyah ra langsung menampakkan kecemburuannya yang luar
biasa. Nampan itu ia lempar sehingga pecah. Nabi tersenyum dan beliau
hanya bilang sekedarnya saja pada para sahabatnya, “Ibu kalian sedang
cemburu”. Ada teladan luar biasa dalam setiap jengkal hidup Nabi.
Suatu ketika, ada sahabat yang mengadu pada Umar ra perihal Istrinya
yang marah-marah kepadanya. Sahabat itu mendapatkan jawaban Umar ra yang
tak disangka. “Istriku juga marah kepadaku, tapi aku diam saja. Ia yang
mengurus rumahku, mencuci pakaianku, memasak makanan untukku dan
merawat anak-anakku. Ia berhak untuk marah kepadaku kalau aku juga tak
menurut kepadanya.” Ada teladan yang tak biasa dalam setiap jengkal
hidup para sahabat.
Setiap pasangan tentu selalu mendambakan lahirnya cinta sejati.
Demikian juga kita, saya yakin pasti juga merindukannya. Bagi saya,
teladan cinta sejati adalah cinta yang dimiliki dan disuguhkan oleh
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam pada Bunda Khadijah radhiallahu
‘anha. Bukan putri Cinderella dan pangerannya. Bukan pula Romeo dan
Juliet. Atau kisah-kisah asmara dalam buku dan sandiwara-sandiwara
picisan.
Tentu saja, cinta pasangan Nabi dan Ibu kaum mukminin itu terlalu
sempurna buat kita. Barangkali jaraknya sejauh bumi dan langit. Tapi,
setidaknya kita punya cermin utama bagaimana kelak kita harus mengambil
sikap, melahirkan cinta itu dan kemudian merawatnya dengan hangat. Jika
Allah menghendaki Nabi sebagai uswah hasanah manusia, maka teladan itu
pasti bisa diraih. Sesulit dan sesusah apapun pasti bisa digapai. Dari
sini perjuangan untuk melanggengkan pernikahan dimulai. Dari sini
perjuangan untuk tetap setia pada mitsaqan ghalizha menjadi nyata. Dari
sini, semoga doa Nabi untuk mempelai bisa terwujud, ada ketenangan,
cinta kasih dan rahmah. Ada sakinah, ada mawaddah, dan ada rahmah.
Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, memantaskan
kita untuk dikejutkan dengan hadiah dari langit, pasangan yang shalih
dan shalihah. Amin.
Oleh Rachmad dikutip dari eramuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar