Rabu, 15 Agustus 2012

Perlukah Berkompetisi

Berkompetisi


Berkompetisi merupakan naluri tiap manusia yang normal. Bahkan naluri berkompetisi tak saja terdapat pada manusia tetapi dimiliki juga oleh binatang. 


Hakekat kompetisi dalam semua jenisnya hampir sama baik dalam sarana ‘yakni dengan menguras segenap kemampuan dan tenaga’ dan tujuannya ‘yaitu keluar sebagai pemenang’. Tetapi motivasi yang menggerakkan seseorang berkompetisi dalam arti tujuan akhir terkadang berbeda. 

Berkompetisi merupakan hal mulia jika dilakukan dalam hal kebaikan. Dan di dunia ini teramat banyak bentuk kebaikan yang bisa dijadikan untuk medan kompetisi. Kompetisi dalam kebaikan adalah kompetisi yang diniyati hanya karena Allah semata. Dan niat itu pulalah yang membedakan antara kompetisi yang mulia dan yang bukan. Bahkan meski medan kompetisinya merupakan amal kebaikan. 

Kompetisi yang tidak mulia adalah kompetisi syaithani. Kompetisi yang berdasarkan nafsu keserakahan baik dalam motivasi sarana maupun tujuannya. Perbedaan antara dua kompetisi itu amat jelas. Kompetisi yang pertama motivasinya adalah imaniyah sarana dan jalannya semua merupakan kebaikan sedang tujuan akhirnya adalah mendapatkan keridhaan Allah dan surgaNya Kompetisi semacam inilah yang disebut Allah dalam fimanNya 

Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni’matan yg besar . Mereka di atas dipan-dipan sambil memandang kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh keni’matan. Mereka diberi minum dari khamer murni yg dilak laknya adalah kesturi dan untuk yang demikian itu hendaknya orang saling berlomba.” . 

Kompetisi yang kedua motivasinya adalah syaithaniyah sehingga melahirkan kecintaan kepada materi yang berlebihan kesenangan menguasai dan mengalahkan. Sedangkan semua sarananya adalah tipu daya konspirasi kelicikan kemarahan dan kebencian. Tujuan akhirnya menguasai dan mengalahkan bahkan menghancurkan sehingga dirinya senang dan puas juga utk menyenangkan para pendukungnya. 

Seseorang yang mengikuti sejarah dan perkembangan kehidupan sosial manusia di berbagai tempat dan pada beberapa kurun yang berbeda akan mendapatkan bahwa dua macam kompetisi itu telah meninggalkan pengaruh yang realistis baik itu dalam diri manusia maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya. 

Kompetisi di jalan kebaikan untuk mendapatkan ridha Allah akan menanamkan ketenangan dan ketetapan dalam hati kecintaan pada kebaikan serta jauh dari rasa iri hati kebencian dan segala hal yang merupakan aib dalam pandangan manusia. 

Kompetisi itu juga akan menebarkan kebaikan menyemai dan menghunjamkan akar kebaikan tersebut dalam tiap tatanan masyarakat. Ia akan membentuk jiwa tiap individu memperkokoh rasa kemanusiaannya memperbesar daya juangnya untuk memerangi kebatilan dan menghentikan kerusakan di bumi. 

Saksi sejarah tentang kompetisi dalam kebaikan berikut pengaruhnya dapat kita lihat dalam kurun kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam para sahabat dan kurun tabi’in Radhiallahu ‘Anhum. Perlombaan yang terjadi antar mereka adalah perlombaan dalam berbagai amal kebajikan tidak dalam urusan duniawi yang cepat punah dan fana. Lihatlah bagaiman kompetisi yang terjadi antara Umar bin Khathab dengan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhuma. Saat itu Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyeru para sahabatnya untuk membekali para tentara kaum muslimin yang tak mampu. Umar lalu berkata saat ini aku bisa mengalahkan Abu Bakar . Umar kemudian mengeluarkan separuh dari hartanya. Ia tak beranjak dari sisi Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena ingin mengetahui apa yang di bawa oleh Abu Bakar. Tak lama Abu Bakar yang hartawan dan dermawan datang dengan membawa semua hartanya. Keadaan tersebut menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menanyakan perihalnya.

 Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu wahai Abu Bakar?” tanya Rasul. Abu Bakar menjawab “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.” Demi melihat apa yang terjadi Umar lalu terus terang mengakui dan berkata “Tidaklah aku berkompetisi dalam kebaikan dengan Abu Bakar kecuali dia keluar sebagai pemenangnya. Mulai hari ini aku tak akan menantang-nya lagi untuk berkompetisi.” 

Dalam persoalan jihad di jalan Allah sejarah juga mencatat dengan tinta emas kompetisi yang terjadi di antara mereka Masing-masing ingin mendahului kawannya dalam keluar menuju medan jihad fi sabilillah dan mendapatkan syahadah . 

Banyak sekali teladan mulia dan contoh keagungan jiwa mereka dalam berkompetisi menuju medan jihad. Bahkan sampai terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seorang anak dengan ayahnya harus mengundi siapa yang berhak keluar ke medan jihad karena masing-masing tidak mau mengalah. 

Kisah nyata itu terjadi antara Sa’d bin Khaitsamah dengan ayahnya Radhiallahu ‘Anhuma sesaat menjelang keberangkatan kaum muslimin menuju lembah Badar. 

Undian ternyata jatuh pada Sa’d sehingga ia bersuka cita karena akan segera berangkat ke medan jihad. Sang ayah keberatan dengan nasibnya sehingga ia tetap bersikeras tidak mau tinggal di rumah. Ia lalu meminta anaknya agar mengalah dan mau tinggal dirumah. Tetapi sang putra menolak seraya berkata

 “Wahai ayah seandainya apa yang engkau inginkan itu selain surga tentu aku akan mentaatimu.

 Akhirnya sang putra tetap pergi ke medan jihad sampai menemui syahidnya dalam peperangan tersebut. Sang ayah tetap mendambakan untuk suatu ketika bisa ikut berjihad di medan perang hingga tibalah saat yang dinanti-natinya yaitu perang Uhud. Beberapa saat sebelum perang berkecamuk Khaitsamah berkata kepada Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam 

Ya Rasul tadi malam aku bermimpi melihat putraku dalam keadaannya yang terbaik ia mendapatkan ni’mat di surga. Ia berkata kepadaku wahai ayah aku telah benar-benar mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Allah kepadaku. Karena itu bergegaslah menyusulku untuk menemuiku di surga. Ya Rasul sungguh aku sudah amat rindu untuk menemani putraku dan menemui Rabbku karena itu berdo’alah untukku agar Allah memberiku kesyahidan.” 

Maka Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallampun mendoa-kannya. Khaitsamah lalu ikut bertempur dalam peperangan Uhud sampai ia menemui syahadah yang sangat ia dambakan. 

Selanjutnya marilah kita lihat bentuk kompetisi lain. Yakni kompetisi yang diselenggarakan untuk memenuhi keinginan syahwat dan hawa nafsu. Kompetisi yang menumbuhkembangkan perasaan dengki kemarahan dan kebencian. Kompetisi yang menjadikan jiwa senantiasa hidup dalam perseteruan abadi dan berkutat dari kesengsaraan yang satu kepada kesengsaraan lain. Kompetisi yang menghantarkan pada kehancuran dan kebinasaan. Kompetisi yang menyebabkan merebaknya berbagai bentuk kejahatan kezaliman dan bertambahnya pengikut kebatilan. Komptisi yang tak jarang malah menumpahkan darah orang-orang tak berdosa menteror sana sini sehingga kehidupan masyarakat selalu dihantui ancaman dan ketakutan kehidupan menjadi gelap dan kekacauan terjadi di mana-mana. 

Bentuk kompetisi seperti inilah yang marak terjadi pada zaman kita sekarang. Ambillah contoh yang paling mudah dan diketahui semua orang; perlombaan antar negara-negara maju di bidang persenjataan dan alat-alat perang modern. Negara-negara maju di dunia saat ini ‘utamanya negara adi daya’ saling berkompetisi untuk mengungguli negara-negara lain dalam perakitan pesawat tempur peluru bom nuklir bom hidrogen tank dan senjata-senjata berat lainnya. Untuk itu mereka tak segan-segan mengalokasikan dana berapapun besarnya ‘meski terkadang harus dibayar dengan kemelaratan penduduknya’ sehingga bisa menjadi negara terkuat memimpin dan mengatur serta mendikte negara-negara lain sesuai dengan kepentingannya. 

Demikianlah sebagian contoh kompetisi syaithani. Ia adalah syaithani dalam kerangka berfikir dan prinsipnya juga syaithani dalam cara prasarana dan tujuannya. 

Saat ini umat Islam boleh dikata telah kehilangan pusakanya. Mereka tidak lagi memiliki ruh jihad fi sabillillah sebagaimana yang dimiliki oleh para sahabat dan tabi’in. Akibat dari melemahnya ruh jihad tersebut adalah seperti yang dapat kita saksikan sekarang. Di mana-mana umat Islam ditindas dianiaya dan dihinakan. Beberapa wilayah dan tanah umat Islam dirampas oleh musuh-musuhnya. Bahkan tempat-tempat suci mereka harta benda dan kehormatan mereka sebagai manusiapun diinjak-injak. Sungguh benar apa yang telah disabda-kan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam 

Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad kecuali mereka menjadi terhina.” 

Meski demikian bukan berarti tak ada ruh jihad di dada tiap umat Islam. Beberapa peristiwa penjajahan terdadap umat Islam ‘di berbagai negara di dunia’ sungguh telah menyulut dan mengobarkan api jihad pada sebagian kaum muslimin. Hingga sekarang jihad fi sabilillah itu masih tetap ada dan terus berlangsung. Suatu wilayah selesai dari perjuangan fi sabilillah maka akan menyusul wilayah lain melakukan hal yang sama.

Masih tetap ada umat Islam terutama para pemudanya yang memburu salah satu dari dua keberuntungan kemenangan atau kesyahidan. Sungguh benar bahwa sunnatullah yang terjadi akan berulang kembali. Umat Islam dan para pemudanya berkompetisi di medan jihad untuk menunjukkan kekuatan terselubung yang dimiliki oleh Islam serta kekuatan jiwa para pemeluknya yang ikhlas. Mereka mengorbankan semua yang mereka miliki . Mereka pantang mundur betapapun berat perjuangan dan banyaknya pengorbanan. 

Dan hal yang sama juga dilakukan oleh umat Islam di belahan bumi yang lain. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman 

Apakah kamu mengira akan masuk surga padahal belum datang kepadamu sebagaimana telah datang kepada orang-orang sebelum kamu. Mereka ditimpa kesengasaraan bahaya dan digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya kapankah datangnya pertolongan Allah? Ketahuilah sesunggguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” 

Zaman sekarang banyak sekali kompetisi diselenggarakan bahkan hingga tingkat dunia. Ada kompetisi sepak bola balap mobil kuda hingga balap unta. Ada adu jago domba hingga adu kerbau. Di bidang seni ada lomba lagu drama mode pakaian hingga kontes kecantikan. Dan masih banyak lagi bentuk lomba-lomba lainnya. Pertanyaannya adalah apakah sama antara kompetisi untuk mencari ridha Allah dengan kompetisi untuk mencari selain ridhaNya? Jawabnya tentu tidak. Allah Ta’ala telah berfirman

 Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidaklah orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shaleh dengan orang-orang yang durhaka.” 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution