Filosofis Maaf Dalam Islam
Setiap manusia pernah melakukan kesalahan.
Kesalahan, kekhilafan
adalah fitrah yang melekat pada diri manusia. Rasulullah saw bersabda:
“Setiap manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik pelaku
kesalahan itu adalah orang yang segera bertaubat kepada Allah SWT”. Ini
berarti bahwa namusia yang baik bukan orang yang tidak pernah berbuat
salah, sebab itu mustahil kecuali Rasulullah SAW yang ma’shum
(senantiasa dalam bimbingan Allah SWT).
Tetapi, manusia yang baik adalah
manusia yang menyadari kesalahannya dan segera bertaubat kepada-Nya.
Dalam Islam, mampu memaafkan kesalahan orang lain merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa (muttaqin). Allah SWT berfirman:
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, Allah menyediakan syurga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik diwaktu
lapang atau sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
kesalahan orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Al-Imran: 133-134).
Belajar Memaafkan Dari Rasulullah
Setelah pembebasan Makkah (Fardhu Makkah), di hadapan orang-orang yang selama ini gigih memusuhinya, Rasulullah berkata : “Wahai orang-orang Quraisy. Menurut pendapat kamu sekalian apa kira-kira yang akan aku perbuat terhadapmu sekarang? Jawab mereka: “Yang baik-baik. Saudara kami yang pemurah. Sepupu kami yang pemurah.” Mendengar jawaban itu Nabi kemudian berkata: “Pergilah kamu semua, sekarang kamu sudah bebas.” Begitu luruh jiwa Nabi, karena dengan ucapan itu kepada kaum Quraisy dan kepada seluruh penduduk Makkah, beliau telah memberikan amnesti (ampunan) umum. Padahal saat itu nyata mereka tergantung hanya di ujung bibirnya dan kepada wewenangnya atas ribuan bala tentara Muslim yang bersenjata lengkap yang ada bersamanya. Mereka dapat mengikis habis penduduk Makkah dalam sekejap hanya tinggal menurut perintah dari Nabi.
Dengan pengampunan dan pemberi maaf itu, jiwa Nabi telah melampaui
kebesaran yang dimilikinya, melampaui rasa dengki dan dendam di hati,
menunjukkan bahwa beliau bukanlah manusia yang mengenal permusuhan, atau
yang akan membangkitkan permusuhan di kalangan umat manusia. Beliau
bukan seorang tiran, yang mau menunjukkan sebagai orang yang berkuasa.
Padahal Nabi mengenal betul, kejahatan orang-orang yang diampuninya itu.
Siapa-siapa di antara mereka yang berkomplot untuk membunuhnya, yang
telah menganiayanya dan menganiaya para pengikutnya. Mereka melemparinya
dengan kotoran bahkan dengan batu saat mengajak manusia ke jalan Allah.
Begitu pemaafnya Rasulullah sekalipun itu kepada orang yang selalu
menebar permusuhan, meneror dan mengancam keselamatannya. Rasulullah
begitu pemaaf, Tuhan juga Maha mengampuni kesalahan hamba-Nya. Mengapa
kita manusia biasa susah sekali memberikan maaf?
Filosofis Maaf Dalam Islam
Ibnu Qudamah dalam Minhaju Qashidin menjelaskan, bahwa makna memberi maaf di sini ialah sebenarnya engkau mempunyai hak, tetapi engkau melepaskannya, tidak menuntut qishash atasnya atau denda kepadanya. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Quran menjelaskan: Kata maaf berasal dari bahasa Al-Quran alafwu yang berarti “menghapus” karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu didalam hati, bila masih ada dendam yang membara. Boleh jadi, ketika itu apa yang dilakukan masih dalam tahaf ‘masih menahan amarah’. Usahakanlah untuk menghilangkan noda-noda itu, sebab dengan begitu kita baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain.
Islam mengajak manusia untuk saling memaafkan. Dan memberikan posisi tinggi bagi pemberi maaf. Karena sifat pemaaf merupakan bagian dari akhlak yang sangat luhur, yang harus menyertai seorang Muslim yang bertakwa. Allah swt berfirman: “…Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah.” (Q.S.Asy-Syura : 40). Dari Uqbah bin Amir, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, “wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).
Al-Quran memang menetapkan, bahwa seseorang yang diperlakukan secara
dzalim diizinkan untuk membela diri tapi bukan didasarkan balas dendam.
Pembelaan diri dilakukan dengan penuh simpati seraya menunjukan perangai
yang luhur, bersabar, memaafkan dan toleran. Ketika Matsah yang
dibiayai hidupnya oleh Abu Bakar menyebarkan gosip yang menyangkut
kehormatan putrinya Aisyah yang juga istri Nabi. Abu Bakar bersumpah
tidak akan membiayainya lagi. Tapi, Allah melarangnya sambil
menganjurkan untuk memberika maaf dan berlapang dada.(Q.S. an-Nur : 22).
Dari ayat ini ternyata ada tingkatan yang lebih tinggi dari alafwu (maaf), yaitu alshafhu. Kata ini pada mulanya berarti kelapangan. Darinya dibentuk kata shafhat yang berarti lembaran atau halaman, serta mushafahat yang berarti yang berarti berjabat tangan. Seorang yang melakukan alshafhu
seperti anjuran ayat diatas, dituntut untuk melapangkan dadanya
sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup
lembaran lama dan membuka lembaran baru.
Alshafhu yang digambarkan dalam bentuk jabat tangan itu,
menurut Al-Raghib al-Asfahaniy ‘lebih tinggi nilainya’ dari pada
memaafkan. Dalam alshafhu dituntut untuk mampu kembali membuka
lembaran baru dan menutup lembaran lama. ‘Let’s gone be by gone’ (yang
lalu biarlah berlalu), bangun kembali masa depan dengan semangat yang
baru. Kita selalu lupa, karena kesalahan yang telah dibuat orang lain,
kita lalu melupakan semua kebaikan yang telah dibuatnya. Untuk itu, kita
juga harus memperlakukan semuanya secara seimbang. Yang terbaik buat
kita hari ini adalah bersama-sama membangun kembali dengan semangat
baru, ketulusan hati dan semangat persaudaraan.
Jangan ada yang berkata: “Tiada maaf bagimu”. Ahli hikmah mengatakan:
Ingatlah dua hal dan lupakanlah dua hal. Lupakanlah kebaikanmu kepada
orang lain dan lupakanlah kesalahan orang lain kepadamu. Wallahu a’lamu. (jurnalberita.com)
0 komentar:
Posting Komentar