Jangan Sia-siakan Kesempatan Yang Ada
Allah ta’ala menggambarkan tentang keistimewaan para Nabi dengan firman-Nya,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam
mengerjakan berbagai macam kebaikan, dan mereka senantiasa berdoa
kepada Kami dengan disertai rasa harap dan cemas. Dan mereka pun
senantiasa khusyu’ dalam beribadah kepada Kami.” (QS. Al Anbiyaa’ [21] : 90).
Bersegera dalam Kebaikan
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat tersebut,
bahwa para nabi dan orang-orang salih itu besegera dalam melakukan amal
pendekatan diri kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya (Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim, 5/273. cet al-Maktabah at-Taufiqiyah).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah memaparkan, bahwa
maknanya ialah para Nabi itu bersegera dalam mengerjakan
kebaikan-kebaikan, dan mereka juga melakukan kebaikan pada
waktu-waktunya yang utama. Mereka pun berusaha untuk menyempurnakan
amalan mereka itu dengan sebaik-baiknya. Mereka tidak mau meninggalkan
sebuah keutamaan pun pada saat mereka sanggup untuk meraihnya. Mereka
tidak mau menyia-nyiakannya, sehingga kalau kesempatan itu ada maka
mereka pun bergegas untuk memanfaatkan kesempatan itu dengan
sebaik-baiknya… (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 530)
Jangan Sia-Siakan Kesempatan!
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, ”Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah, yaitu barangsiapa yang meninggalkan apa yang bermanfaat baginya -padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya- maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya. Barangsiapa meninggalkan ibadah kepada ar-Rahman, niscaya dia akan disibukkan dengan ibadah kepada berhala-berhala. Barangsiapa meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Allah maka niscaya dia akan disibukkan dalam kecintaan kepada selain Allah, berharap dan takut karenanya. Barangsiapa tidak menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah niscaya dia akan menginfakkannya dalam mentaati syaithan. Barangsiapa meninggalkan merendahkan diri dan tunduk kepada Rabb-nya niscaya dia akan dicoba dengan merendahkan diri dan tunduk kepada hamba. Barangsiapa meninggalkan kebenaran niscaya dia akan dicoba dengan kebatilan.” (Tafsir surat al-Baqarah ayat 101-103, Tais al-Karim ar-Rahman hal. 60-61).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, ”Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah, yaitu barangsiapa yang meninggalkan apa yang bermanfaat baginya -padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya- maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya. Barangsiapa meninggalkan ibadah kepada ar-Rahman, niscaya dia akan disibukkan dengan ibadah kepada berhala-berhala. Barangsiapa meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Allah maka niscaya dia akan disibukkan dalam kecintaan kepada selain Allah, berharap dan takut karenanya. Barangsiapa tidak menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah niscaya dia akan menginfakkannya dalam mentaati syaithan. Barangsiapa meninggalkan merendahkan diri dan tunduk kepada Rabb-nya niscaya dia akan dicoba dengan merendahkan diri dan tunduk kepada hamba. Barangsiapa meninggalkan kebenaran niscaya dia akan dicoba dengan kebatilan.” (Tafsir surat al-Baqarah ayat 101-103, Tais al-Karim ar-Rahman hal. 60-61).
Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma berkata : Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku dan mengatakan, ”Jadilah
engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang singgah di
perjalanan.” Ibnu ‘Umar berkata, “Kalau engkau berada di waktu pagi
jangan sekedar menunggu datangnya waktu sore. Kalau engkau berada di
waktu sore jangan sekedar menunggu datangnya waktu pagi. Manfaatkanlah
waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan gunakanlah masa hidupmu
sebelum datang kematianmu.” (HR. Bukhari. 6053, Kitab ar-Raqaa’iq)
Asas Kebaikan dan Keburukan
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Asas seluruh kebaikan adalah
pengetahuanmu bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan
apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Ketika
itulah akan tampak, bahwa semua kebaikan adalah berasal dari
nikmat-Nya, maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas
nikmat itu, dan kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu
tidak terputus darimu. Dan akan tampak pula, bahwa seluruh keburukan
adalah akibat (manusia) dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan
bentuk hukuman dari-Nya, maka sudah semestinya kamu
bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya agar menghalangimu dari
keburukan-keburukan itu. Mintalah kepada-Nya supaya kamu tidak
dibiarkan bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan dari-Nya)
dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan
keburukan-keburukan.”
Beliau melanjutkan, ”Seluruh ahli ma’rifat pun telah sepakat bahwa
segala kebaikan bersumber dari taufik yang Allah karuniakan kepada
hamba. Dan semua bentuk keburukan bersumber dari penelantaran Allah
terhadap hamba-Nya. Mereka pun telah sepakat, bahwa hakekat taufik
adalah ketika Allah tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri.
Sedangkan hakekat al-khudzlan (ditelantarkan) yaitu ketika Allah
membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu semata (tanpa bantuan-Nya)
dalam mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala kebaikan bersumber
dari taufik, sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di tangan hamba,
maka kunci untuk mendapatkannya adalah do’a, perasaan sangat
membutuhkan, ketergantungan hati yang penuh kepada-Nya, serta harapan
dan rasa takut kepada-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
0 komentar:
Posting Komentar